Kretek
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
19 September 2015
Di negeri yang banyak masalah ini, bukan hanya
urusan asap dan gaji presiden yang membuat gaduh. Sebentar lagi sebuah kata
akan ramai diperdebatkan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kata itu
adalah "kretek".
Yang unik, "kretek" tak ada dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Yang ada "keretek". KBBI
memberi tiga arti: (1) bunyi daun terbakar, (2) rokok yang tembakaunya
dicampuri serbuk cacahan cengkih, (3) kereta berkuda beroda dua, dokar.
Kata "kretek" muncul dalam Rancangan
Undang-Undang (RUU) Kebudayaan yang sebentar lagi—kalau DPR bekerja normal
setelah tunjangannya dinaikkan—akan dibahas. RUU ini sangat penting untuk
bangsa yang dulu pernah berbudaya luhur. Semangat RUU ini adalah mari kita
warisi dan lestarikan budaya asli Nusantara.
Pasal 36 berbunyi, "Pemerintah dan
pemerintah daerah bertanggung jawab, menghargai, mengakui, dan/atau
melindungi sejarah dan warisan budaya." Lalu pasal 37 disebutkan apa-apa
yang perlu diberi penghargaan, pengakuan, dan/atau perlindungan itu. Ada 14
poin dan salah satunya: "kretek tradisional". Tak ada penjelasan,
apa yang dimaksud "kretek tradisional" itu.
RUU Kebudayaan merinci ke-14 poin warisan
budaya itu. Dalam pasal 49 disebutkan bagaimana memberi penghargaan,
pengakuan, dan/atau perlindungan sejarah dan warisan budaya terhadap
"kretek tradisional". Caranya: (a) inventarisasi dan dokumentasi,
(b) fasilitasi pengembangan kretek tradisional, (c) sosialisasi, publikasi,
dan promosi kretek tradisional, (d) festival kretek nasional.
Ihwal "kretek tradisional" berhenti
di pasal-pasal itu, pertanyaan besar yang akan bikin gaduh, apa
"kretek" itu? Jika yang dimaksudkan adalah "keretek" dan
mengambil arti dalam kamus, "bunyi daun terbakar", tentu
mengada-ada. Meski kita tahu DPR sering bikin ulah, membuat undang-undang
tentang "daun yang terbakar" (dan bukan hutan yang terbakar) tentu
kebangetan. Maka para pemerhati pun beralih ke arti yang lain dalam kamus:
berurusan dengan rokok.
Lantas RUU ini "diduga" mau mengatur soal
rokok kretek yang sengaja kata "rokok" dihilangkan untuk kamuflase.
"Undang-undang ini pasti permainan raja-raja rokok untuk kepentingan
bisnisnya," begitulah mungkin aktivis kesehatan bereaksi.
Supaya tulisan ini juga berpotensi bikin
gaduh, anggap saja benar yang dimaksud dalam RUU Kebudayaan itu adalah soal
rokok-merokok yang dibalut dengan keretek. Apakah itu pantas menjadi warisan
budaya? Pada masa tembakau belum ditanam, leluhur kita mewariskan kebiasaan
makan sirih dicampur buah pinang. (Di Bali lantas dinamai
"nginang"). Ketika tembakau didatangkan dari Eropa, dan Belanda
"memaksa" petani tanam tembakau, leluhur kita menggunakan tembakau
sebagai "penutup makan sirih".
Munculnya tembakau yang dibakar dan kemudian
disebut rokok justru dianggap sebagai budaya yang menyimpang. Para perokok
digolongkan "pemberontak budaya" setidak-tidaknya "imannya
meragukan", begitulah kisah sejak Roro Mendut, perokok (non-kretek)
sejati. Kini, di abad modern, rokok disebut pembunuh (di bungkusnya ada
peringatan "Rokok Membunuhmu"). Pembatasan merokok dilakukan di
banyak tempat. Bukankah itu menjadi aneh kalau ada undang-undang yang
menyebut kretek (meski tak ada kata rokok) harus dilindungi, dipromosikan,
difestivalkan, dan seterusnya?
Akhirnya, mari berpikir adem, mudah-mudahan
"kretek" dalam RUU Kebudayaan ini dimaksudkan "keretek"
yang berarti kereta berkuda yang memang layak difestivalkan. Semoga DPR
bijak, jelaskan dulu apa arti "kretek" dalam RUU itu sebelum ada
yang berniat gaduh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar