KA Cepat: Jepang atau Tiongkok?
BS Kusbiantoro ; Pemerhati Transportasi
|
KOMPAS,
01 September 2015
Sangat menarik! Selama
tiga hari berturut-turut, 10-12 Agustus 2015, Kompas mengangkat pentingnya
peran kereta api sebagai transportasi masa depan.
Namun, peran kereta
api (KA) dalam tiga ulasan tersebut sangat berbeda jenis dan
karakteristiknya, yakni KA Indonesia (10/8), KA kota (11/8), dan KA cepat
(12/8). Mengingat ketiga jenis KA ini sangat berbeda karakteristiknya,
termasuk pola pendanaan terkait, tulisan ini akan dibatasi pada pembahasan KA
cepat.
KA cepat memiliki
keunggulan dengan tingginya kapasitas dan kecepatan, yang pada gilirannya
membangkitkan kebutuhan pergerakan baru. Keunggulan ini terutama untuk
kota-kota besar. Keunggulan lain adalah penghematan waktu perjalanan,
pengurangan biaya operasi kendaraan, pengurangan kemacetan, peningkatan
keselamatan, pengurangan kecelakaan,peningkatan akses ke tenaga kerja serta
sumber daya lainnya, dan juga manfaat untuk pariwisata (Pickton dkk, 2007).
Sistem jaringan KA
cepat juga berdampak besar terhadap alih moda. Misalnya, pengalaman di Jepang
menunjukkan penumpang Shinkansen meningkat, sebaliknya penumpang transportasi
udara turun antara Fukuoka dan Kagoshima. Demikian juga antara Kusamoto dan
Kagoshima: penumpang KA naik, sebaliknya penumpang bus turun.
Di wilayah pelayanan
Shinkansen ini, pergeseran moda adalah 20% penumpang transportasi udara dan
25% pemakai mobil beralih ke Shinkansen. Berdasarkan tujuan, 33% penumpang
bisnis beralih dari udara ke Shinkansen dan untuk tujuan rekreasi 35%pemakai
mobil beralih ke Shinkasen.Sistem jaringan Kyushu Shinkansen juga
membangkitkan pergerakan baru, yakni 17,8% adalah bangkitan baru. Demikian
pula emisi CO2 turun dari 78t/hari menjadi 62t/hari, ini karena turunnya
transportasi udara(Tanaka dan Monji, 2009).
Pada umumnya sistem
jaringan KA cepat tidak untuk transportasi barang. Jadi tidak banyak
berdampak terhadap relokasi industri, tetapi berdampak besar pada relokasi
pusat-pusat perwakilan bisnis dan jasa ke kota-kota besar, seperti yang
terjadi antara Paris-Lyon, Madrid-Barcelona, dan Lisabon-Porto. Sistem
jaringan KA cepat terkait dengan pergerakan antarpusat kegiatan besar itu
umumnya hanya melewati pusat-pusat kegiatan kecil, pada gilirannya tidak
mendorong tumbuhnya pusat- pusat kegiatan baru, tetapi memperkuat aglomerasi
pusat-pusat kegiatan besar (OECD, 2008).
Dengan keunggulan
sistem jaringan KA cepat di atas, sistem kegiatan yang paling memperoleh
manfaat adalah wilayah-wilayah dengan jumlah dan kepadatan tinggi penduduk
beserta kegiatannya. Sistem kegiatan ini umumnya terpusat pada kota-kota
besar, metropolitan, dan megapolitan.
KA cepat Jakarta-Bandung
Sistem jaringan KA
cepat menghubungkan pusat-pusat kegiatan itu untuk melayani dan atau memicu
perkembangan wilayah perkotaan tersebut. Sebaliknya, dengan keterbatasan
sistem jaringan KA cepat di atas, perlu adanya sistem jaringan KA serta moda
lain untuk melayani atau memicu perkembangan pusat-pusat kegiatan kecil
sepanjang koridor cepat tersebut. Termasuk adanya sistem jaringan kereta
barang untuk melayani atau merangsang perkembangan pusat-pusat kegiatan
industri.
Salah satu keunggulan
KA cepat adalah besarnya penghematan waktu perjalanan. Dibanding moda lain,
hal ini untuk KA cepat Jakarta-Bandung relatif kecil. Dengan kecepatan 300
km/jam untuk jarak 150 km, ditambah 30 menit untuk waktu berhenti di 6
stasiun, misal masing-masing lima menit, maka waktu tempuh Jakarta-Bandung
adalah 1 jam.
Pada sisi lain, waktu
tempuh KA teknologi lama bahkan sempat kurang dari 2,5 jam. Artinya, hanya
menghemat waktukurang dari 1,5 jam. Bandingkan bila kita membangun KA cepat
Jakarta-Surabaya berjarak sekitar 750 km. Dengan asumsi ada 10 stasiun
pemberhentian (masing- masing lima menit), maka waktu tempuh KA teknologi
lama yang lebih dari 12 jam dapat dipangkas jadi tiga jam. Waktu tempuh baru
ini sangat kompetitif dan pasti berdampak besar alih moda yang sangat
berarti, baik dari angkutan darat maupun udara beserta berbagai manfaat
ikutannya.
Jika rencana
pembangunan KA cepat Jakarta-Surabaya dianggap terlalu jauh, diharapkan
rencana pembangunan KA cepat ”segitiga” Jakarta-Bandung-Cirebon-Jakarta
mungkin akan memberikan manfaat lebih ketimbang hanya Jakarta-Bandung. Jika
KA cepat Jakarta-Bandung tetap akan dilaksanakan, yang akan berkembang
terutama adalah penguatan aglomerasi Jakarta Raya dan Bandung Raya. Mengingat
masih banyak wilayah terutama di luar Jawa yang butuh bantuan pemerintah,
seyogianya pembiayaan KA cepat ini tak melibatkan dana pemerintah.
Selanjutnya, untuk memberikan manfaat lebih, seyogianya pembangunan tersebut
dibarengi penyiapan, penataan, dan pengintegrasian sistem jaringan dengan
sistem kegiatan sepanjang koridor KA cepat.
Sistem kelembagaan
Salah satu aspek yang
memengaruhi keberhasilan pembangunan infrastruktur transportasi adalah sistem
kelembagaan. Sebagai contoh, di Jawa rencana pembangunan ribuan kilometer
jalan tol umumnya mandek. Sebaliknya, dalam waktu relatif singkat ratusan
kilometer jalur ganda KA berhasil dibangun (Kompas, 16/3/2013).
Salah satu faktor yang
ikut memengaruhi ”keberhasilan” pembangunan sistem jaringan KA ketimbang
sistem jaringan jalan adalah relatif terbatas serta tidak kompleksnya
pihak-pihak terkait yang terlibat dalam pembangunan sistem jaringan KA.
Misal, sebagian besar lahan pembangunan KA dimiliki pemerintah/PT KAI
ketimbang oleh berbagai kelompok masyarakat untuk jalan raya. Operator sistem
jaringan KA juga umumnya adalah PT KAI ketimbang banyak serta sangat
beragamnya operator sistem jaringan jalan raya.
Dampak dari sistem
kelembagaan juga terjadi pada pembangunan sistem jaringan KA cepat di
Tiongkok yang relatif lebih berhasil ketimbang di AS. Pemerintah yang
bersifat sentralistik di Tiongkok memungkinkan mereka mengambil keputusan
secara cepat dalam mobilisasi berbagai sumber daya yang dibutuhkan. Termasuk
mengatasi benturan kepentingan antarlembaga. Hal serupa lebih sulit dilakukan
di AS dengan sistem pemerintahan berbeda.
Sebaliknya, Tiongkok
juga dapat belajar dari AS dalam mempertimbangkan aspek lingkungan secara
menyeluruh serta melibatkan publik dalam pengambilan keputusan. Kelalaian
dalam mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial dapat jadi bom waktu dalam
jangka panjang (Chen & Zhang, 2009).
Kembali pada judul
tulisan ini, pertanyaan KA cepat Tiongkok atau Jepang dapat diubah menjadi
pertanyaan apakah KA cepat Jakarta-Bandung atau KA cepat Jakara-Surabaya,
atau KA cepat ”segitiga” Jakarta-Bandung-Cirebon-Jakarta, atau bahkan yang
lain. Namun, jika pemerintah tetap akan memutuskan KA cepat Jakarta-Bandung,
yakni dengan menyertakan berbagai ketentuan terkait pemakaian kandungan
lokal, alih teknologi, aspek lingkungan dan sosial, maka sistem kelembagaan
akan jadi sangat kompleks dan makin krusial.
Pertimbangan akan
melibatkan banyak dan beragam pihak yang berkepentingan. Pada sisi lain,
sistem koordinasi antarlembaga merupakan salah satu kelemahan terbesar negara
kita. Dibutuhkan kepemimpinan kuat, yang tidak hanya punya visi jauh ke
depan, juga berani tak populer serta melawan arus. Semoga kita memiliki
kepemimpinan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar