Jokowi dan Pelambatan Ekonomi
Herdi Sahrasad ; Peneliti Senior PSIK Universitas
Paramadina;
Pengajar Paramadina Graduate
School
|
KOMPAS,
03 September 2015
Presiden Joko Widodo menyatakan, penyebab melambatnya
pertumbuhan ekonomi saat ini lebih dominan faktor eksternal, yakni kondisi
ekonomi global (Kompas, 26/8/2015). Benarkah demikian?
Saat ini posisi utang luar negeri Indonesia terus melonjak.
Tercatat hingga April 2015 posisi utang luar negeri 302,292 miliar dollar AS.
Angka itu didominasi utang swasta (termasuk BUMN) hingga 56 persen atau
168,740 miliar dollar AS. Terus meningkatnya utang jelas akan memperberat
perekonomian nasional.
Apalagi kinerja ekspor Juli 2015 menurun 15,53 persen
dibandingkan Juni 2015, yaitu dari 13,5 miliar dollar AS (Rp 186 triliun)
menjadi 11,41 miliar dollar AS (Rp 157 triliun). Dibandingkan Juli 2014,
kinerja ekspor menurun 19,23 persen, yaitu 14,12 miliar dollar AS (Rp 195
triliun). Penurunan ekspor Juli 2015 akibat menurunnya ekspor migas 1,26
persen, dari 14,38 miliar dollar AS (Rp 198 triliun) menjadi 14,21 miliar (Rp
196 triliun). Demikian juga ekspor nonmigas turun 17,23 persen, yaitu dari
12,06 miliar dollar AS (Rp 166 triliun) menjadi 9,9 miliar dollar AS (Rp 136
triliun). Ini sungguh memberatkan perekonomian kita.
Terkait utang swasta yang biasanya bertenor jangka pendek,
pemerintah perlu membuka nama-nama konglomerat yang memiliki utang luar
negeri dengan jumlah besar. Hal ini penting karena rakyat yang menanggung
bebannya jika terjadi krisis moneter lagi. Setidaknya publik tahu siapa yang
bertanggung jawab.
Utang swasta
Belakangan ini, depresiasi rupiah dan pelambatan ekonomi kerap
dihubungkan dengan peningkatan ekonomi Amerika (AS) dan pemberlakuan
kebijakan bank sentral AS (The Fed) untuk menaikkan suku bunga acuan sehingga
berdampak pada berbaliknya aliran dana ke Washington dan keluar dari
Indonesia.
Di sisi lain, menghadapi kuatnya mata uang dollar AS beberapa
negara cenderung mendepresiasi mata uangnya agar ekspor produknya bersaing. Perang
nilai tukar, kecenderungan deflasi (penurunan harga jangka panjang),
penurunan harga minyak, juga melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia termasuk
RRC (Tiongkok) yang mengarah pada pertumbuhan normal 7 persen, adalah
gejala-gejala awal krisis ekonomi, yang juga memukul ekonomi Indonesia.
Padahal, bagi Indonesia, hemat penulis, sesungguhnya faktor
eksternal tidaklah dominan. Justru yang paling dominan adalah faktor domestik
di mana posisi utang swasta terus menekan rupiah secara luar biasa. Beban
utang swasta adalah masalah pokok dan mendasar.
Ada kenaikan persentase jumlah pertumbuhan utang per tahun sejak
2012 hingga 2014, masing-masing 19 persen, 13 persen, 13 persen. Apalagi,
pada 2013 dan 2014 terjadi peningkatan utang untuk refinancing masing-masing
51 persen dan 60 persen. Indikasi ini mengarah pada kinerja pengutang yang
tidak berhasil memenuhi kewajiban secara penuh sehingga perlu refinancing.
Kondisi demikian juga mengarah pada kegagalan dalam pemanfaatan utang karena
untuk kegiatan non-produktif bahkan menjurus spekulatif (asset bubbling) dan
hal ini sangat berbahaya karena bisa mengakibatkan debt-default dengan
berbagai implikasi ekonomi-politiknya.
Tahun ini, kebutuhan untuk memenuhi kewajiban utang luar negeri
rerata per bulan lebih dari 4 miliar dollar AS dan surplus perdagangan kurang
dari 1 miliar dollar AS. Situasi ini bakal terus menekan rupiah. Kekurangan
akan kebutuhan mata uang dollar AS terpaksa ditutup dengan tambahan utang
atau refinancing. Kondisi ini memicu efek spiral yang membawa tekanan
finansial (financial depression)
semakin besar dan mengarah pada debt-default, kebangkrutan.
Harus dicatat, utang swasta rentan terutama terhadap risiko
nilai tukar (currency risk), risiko
likuiditas (liquidity risk), dan
risiko beban utang yang berlebihan (overleverage
risk).
Spekulatif
Apalagi, sebagian penggunaan utang untuk hal yang tidak
produktif dan menuju pada tindakan spekulatif. Ini berdampak pada
penggelembungan aset secara tidak wajar (asset bubble) dan pada saatnya
terjadi ”ledakan’’ (asset bursting) diikuti krisis keuangan yang bisa memicu
anarki sosial dan gejolak politik.
Pada triwulan pertama tahun ini, sekadar ilustrasi, dengan masa
jatuh tempo kurang atau sama dengan satu tahun, posisi utang swasta yang
jatuh tempo 48.693,45 juta dollar AS. Maka, kebutuhan dollar AS per triwulan
12.173 juta atau per bulan 4.058 juta dollar AS atau per hari 185 juta dollar
AS, dengan asumsi hari-usaha per bulan 22 hari.
Bandingkan dengan surplus perdagangan Januari dan Februari 2015
masing-masing 710 juta dollar AS dan 740 juta dollar AS atau secara
keseluruhan 1.450 juta dollar AS. Jelaslah bahwa ketersediaan dollar AS masih
sangat kurang dari kebutuhan.
Dengan mencermati realitas depresiasi mata uang, beban dan
tekanan utang luar negeri, serta penurunan ekspor dan kondisi global,
pemerintah harus bersiap mengantisipasi kondisi depresiasi nilai tukar rupiah
yang hampir pasti berlangsung lama dan berkelanjutan.
Hari-hari ini, merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS
sudah menembus Rp 14.000 dan menyebarkan kepanikan. Pernyataan Presiden
Jokowi di atas tidak sepenuhnya benar karena sebagian besar akibat beban
utang swasta yang amat memberatkan perekonomian. Hal ini bisa menimbulkan
”gejala” krisis kepercayaan masyarakat pada pemerintahan Jokowi-JK.
Maka, tantangan ke depan bagi pemerintahan Jokowi-JK adalah
bagaimana membalikkan gejala muram yang sudah kita bahas menjadi asa
bercahaya di ujung terowongan. Penting bagi pengelola pemerintahan agar tidak
menunjukkan sinyal ”inkompetensi” kepada publik dengan pernyataan yang tidak
tepat atau menyesatkan karena hanya akan mengikis kepercayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar