Jembatan Pelangi bagi Kesejahteraan
René L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
20 September 2015
Ada perubahan
mengkhawatirkan terhadap kebijakan Beijing atas diaspora Tionghoa, yang kini
jumlahnya mencapai sekitar 40 juta orang dan tersebar di seluruh dunia. Ada
upaya para penguasa RRT untuk kembali menghidupkan, bahkan mengaburkan
terminologi huaqiao (diaspora
Tionghoa) dan huaren (orang Tiongkok), menghidupkan kembali isu
kewarganegaraan yang menjadi polemik di kebanyakan negara Asia Tenggara.
Pekan depan, akan
diselenggarakan Shijie Huashang Dahui (Konferensi
Wiraswasta Tionghoa Dunia, WCEC) ke-13 di Pulau Bali. Konferensi ini
didirikan oleh tiga Kamar Dagang dan Industri masing-masing dari Singapura,
Bangkok, dan Hongkong, dan melaksanakan konferensi pertamanya di Singapura
pada tahun 1991.
Kita selalu menyambut
konferensi WCEC sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan pembangunan
ekonomi dan perdagangan kawasan, khususnya Asia Tenggara. Wilayah Asia
Tenggara dengan konsentrasi diaspora Tionghoa terbesar di dunia-mencapai
lebih 70 persen dari total 40 juta orang-selama dua abad terakhir selalu
mengandalkan orang-orang Tionghoa sebagai perantara dari generasi ke
generasi.
Semakin baik hubungan
para diaspora Tionghoa di sejumlah negara ASEAN, antara lain disebabkan
semakin tumbuh pengertian dan penerimaan orang-orang Tionghoa sebagai bagian
dari mesin pertumbuhan nasional dan regional. Pengalaman selama dua abad
sebagai perantara, baik dengan kekuatan kolonial negara Barat maupun di
tengah kebangkitan reformasi dan keterbukaan ekonomi RRT, menjadikan
organisasi diaspora Tionghoa seperti WCEC sebagai jaringan kerja
ekonomi-perdagangan diaspora Tionghoa yang bergerak mengikuti
pasokan-permintaan beragam sumber daya.
Kedudukan unik
diaspora Tionghoa dari masa ke masa memang menghadirkan peluang, sekaligus
ancaman, dan tantangan bagi banyak negara di Asia Tenggara. Masyarakat
diaspora Tionghoa sejak lama menjadi sumber penting kerja sama
ekonomi-perdagangan, dalam lingkup nasional maupun regional. Dan tidak bisa
dimungkiri, peran mereka dahulu, sekarang dan yang akan datang.
Terminologi kacau
Dalam konteks ini,
secara bersamaan kita memperhatikan adanya perilaku perubahan kebijakan RRT
terkait diaspora Tionghoa di kawasan Asia Tenggara. Memang, sudah lama
eksistensi lembaga di bawah Perdana Menteri RRT yang disebut Guowuyan Qiaowu Bangongshi (Kantor
Urusan China Perantauan, OCAO) dipimpin seorang direktur setingkat menteri,
bisa menjadi potensi untuk menjadi ancaman bagi para diaspora Tionghoa di
seluruh dunia.
Di Taiwan juga ada
lembaga sejenis, yang disebut Dewan Masalah Komunitas Perantauan.
Struktur OCAO yang
sekarang dipimpin oleh Qiu Yanping, perempuan kelahiran provinsi Zhejiang,
RRT, tahun 1953, bekerja untuk membantu PM Li Keqiang mengelola
persoalan-persoalan orang-orang China (qiaowu) di luar daratan RRT.
Selama ini, persoalan
diaspora Tionghoa khususnya di Asia Tenggara, menjadi isu tarik menarik
antara RRT dan negara tempat kelahiran dan bermukimnya jutaan orang keturunan
Tionghoa. Terminologi yang kacau-balau tentang diaspora Tionghoa, China
perantauan, huaqiao (hua mengacu pada orang China dan qiao mengacu pada
pendatang menetap sementara), serta sejarah panjang kehadiran orang-orang
Tionghoa di kawasan ini, sering kali menyebabkan persoalan sosial-politik
berkepanjangan, termasuk status kewarganegaraan.
Berbeda dengan negara
lain, diaspora Tionghoa di Asia Tenggara pun memiliki terminologi sendiri. Di
Filipina, mereka yang memiliki orangtua campuran pribumi-Tionghoa disebut
mestizos, di Thailand Luk-Chin, di Malaysia dipanggil sebagai Baba-Chinese,
dan di Indonesia perkawinan campuran menghadirkan terminologi peranakan.
Mereka semua adalah diaspora Tionghoa yang menyatu dengan negara mereka
tinggal.
Celakanya, RRT seperti
melakukan perubahan kebijakan atas diaspora Tionghoa dengan tujuan politis.
Seperti misalnya pada Juli lalu, mereka melakukan inaugurasi berdirinya Shijie Huaqio Huaren Qiye Jia
(Konferensi Industrialis dan Wiraswasta Keturunan China dan Tionghoa
Dunia/WOCE). Penggunaan istilah huaqiao mengacu pada warga RRT yang tinggal
di luar negeri dan huaren mengacu pada keturunan diaspora Tionghoa yang warga
negara asing.
Jembatan pelangi
Kini ada dua
organisasi kekuatan ekonomi dan perdagangan Tionghoa, WCEC dan WOCE, yang
mulai menjadi rancu sebagai diaspora Tionghoa warga non-RRT atau menjadi
bagian dari lingkup politik kawula para penguasa Beijing. Pidato sambutan PM
Li Keqiang pun menyebutkan peranan huaqiao dan huaren ini sebagai caihong
qiao (jembatan pelangi) untuk mempromosikan inisiatif "satu sabuk satu
jalan" (OBOR) sebagai perantara mempromosikan pembangunan dan ekonomi
RRT kepada dunia.
Sejauh itu yang ingin
dilakukan RRT, tidak terlalu dipersoalkan. Karena selama lebih dari dua
dekade terakhir, para pengusaha dan wiraswasta diaspora Tionghoa telah
dianggap sebagai bagian integral pembangunan ekonomi nasional negara Asia
Tenggara.
Namun, jika Beijing
secara diam-diam ingin memanfaatkan para diaspora Tionghoa sebagai agen
kepentingan nasional, maka persoalannya berbeda. Keberpihakan pada diaspora
Tionghia non-RRT akan selalu berdasarkan prinsip kemanusiaan untuk bergotong
royong membangun kesejahteraan bersama, bukan mengejar kekayaan seperti
cita-cita RRT.
Kita mencatat
pernyataan pejabat RRT di Jakarta, April 2012, yang menyebutkan kalau belajar
bahasa mandarin dan mengerti kebudayaan Tionghoa adalah upaya untuk
memperluas kohesi kebangsaan Tiongkok (Zhonghua minzhu) untuk memperkuat
identitas nasional RRT (minzu rentong gan) dan orang muda diaspora Tionghoa.
Pernyataan ini jelas
meremehkan nasionalisme dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sejak reformasi,
kita susah payah membangun keharmonisan sistem sosial berbangsa dan bernegara
secara tepat, berdasarkan asas kemanusiaan dan gotong royong membangun
Indonesia yang lebih baik.
Oleh karena itu, kita
berharap konferensi WCEC di Bali pekan depan, yang juga akan membahas
pembangunan kerja sama maritim, bisa menghasilkan gagasan untuk saling
bekerja sama yang menguntungkan bagi kesejahteraan bersama. Sudah tidak
zamannya, persoalan diaspora Tionghoa di kawasan Asia Tenggara terganggu
kepentingan politik nasional negara mana pun. Stabilitas dan perdamaian di
kawasan ini membuktikan kerja sama menjadi inti kesejahteraan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar