Indonesia, Sudan, dan Somalia
Hasbullah Thabrany ;
Chair, Center for Health Economics and Policy Studies UI
|
KOMPAS,
26 September 2015
Ada apa dengan tiga
negara tersebut? Menurut data Bank Dunia, Indonesia memiliki pendapatan per
kapita di atas 3.650 dollar AS per tahun (2014), sebuah negara kelas menengah
bawah (low middle income country).
Angka kemiskinan
”hanya” 11,3 persen dari penduduk dan 100 persen anak usia sekolah sudah
duduk di bangku sekolah dasar (SD). Sudan juga merupakan negara kelas menengah
bawah dengan pendapatan per kapita separuh dari Indonesia (1.740 dollar AS),
tetapi 46,5 persen penduduknya tergolong miskin dan baru 70 persen anak usia
sekolah yang duduk di bangku SD. Somalia adalah negara miskin di Afrika yang
berpendapatan per kapita hanya 150 dollar AS. Hanya 29 persen penduduk usia
sekolah yang duduk di bangku SD dan angka kemiskinan lebih dari separuh
penduduknya.
Jelas sekali perbedaan
di antara ketiga negara tersebut. Apa yang menarik? Menurut Atlas Tembakau
yang baru dirilis Organisasi Kesehatan Dunia, ketiga negara itu mempunyai
warna yang sama. Hanya ada satu negara di Asia yang mempunyai warna abu-abu,
yaitu Indonesia. Di Benua Eropa dan benua Amerika (Utara dan Selatan) tidak
ada negara yang bewarna abu-abu. Di Benua Afrika, ada empat negara berwarna
abu-abu, sama dengan Indonesia, yaitu Afrika Barat, Eritrea, Sudan, dan
Somali.
Seluruh negara maju
dan berbudaya tinggi sudah berwarna merah, kecuali Amerika Serikat. Namun,
Amerika Serikat tidak berwarna abu-abu, sudah berwarna oranye, sudah ikut
tanda tangan.
Apa artinya? Sebanyak
180 negara di dunia telah menandatangani/aksesi FCTC, Framework Convention on Tobacco Control, suatu kesepakatan negara
untuk melindungi rakyatnya dari risiko konsumsi tembakau. Seluruh negara
maju, negara menengah, dan negara berbudaya tinggi telah berkominten
melindungi rakyatnya dari risiko penyakit dan pemborosan konsumsi rokok,
kecuali Indonesia. Padahal, rakyat Indonesia paling berisiko.
Fakta tembakau Indonesia
Pergelutan tentang
tembakau di Indonesia seperti perang gerilya yang tiada henti. Perebutan uang
bisnis bahan adiktif rokok menafikan risiko masa dan produktivitas bangsa.
Tahun lalu, rakyat Indonesia membakar uang secara mubazir dengan mengonsumsi
rokok sekitar Rp 300 triliun. Jika uang itu digunakan untuk mengirim putra
terbaik bangsa bersekolah master di Eropa atau Amerika, 800.000 orang dapat
dibiayai.
Jika uang itu dipakai
untuk mengirim mahasiswa guna mengikuti program doktor, uang sebesar itu
cukup untuk beasiswa 250.000 calon doktor setahun. Bisa dibayangkan dampak
masa depan bangsa akan luar biasa hebat jika begitu banyak yang bergelar
doktor. Namun, uang sebanyak itu digunakan untuk membakar sekitar 340 miliar
batang rokok setahun.
Tertinggi di dunia
Indonesia memang juara
I di dunia dalam konsumsi rokok. Sebanyak 67 persen pria dewasa merokok,
frekuensi tertinggi di dunia. Juara selanjutnya adalah Rusia (61 persen),
Banglades (58 persen), dan Tiongkok (53 persen). Kecuali Banglades, Rusia dan
Tiongkok juga juara dalam banyak persaingan kualitas pemudanya, seperti lewat
Olimpiade. Indonesia yang merupakan negara terbesar ketiga di Asia dan
terbesar di ASEAN hanya menempati urutan ke-17 ASEAN Games dan urutan kelima
SEA Games. Jelas, tidak sebagus prestasi Rusia dan Tiongkok.
Data survei tembakau
Indonesia (2011) menunjukkan bahwa 62 persen mahasiswa dan hampir 50 persen
pelajar sekolah menengah atas merokok. Mereka akan berkontribusi besar
terhadap penghasilan industri rokok pada masa depan. Apakah uang konsumsi
rokok tersebut mengalir kepada petani dan buruh industri rokok? Data
menunjukkan bahwa tahun 2000 Indonesia memproduksi 217 miliar batang rokok
dan tahun 2013 produksi rokok naik hampir dua kali lipat menjadi 341 miliar
batang.
Data Badan Pusat
Statistik menunjukkan bahwa tahun 2000 kita mengimpor 16,6 persen tembakau
yang dikonsumsi. Tahun 2011, impor tembakau naik hampir lima kali lipat
menjadi 72,5 persen konsumsi. Rata-rata upah buruh rokok tidak mengalami
perbaikan dalam 15 tahun terakhir. Dibandingkan dengan rata-rata upah buruh
di seluruh Industri, upah buruh rokok tetap saja rendah, yaitu sekitar 25
persen upah industri lain. Jadi, kenaikan konsumsi dan belanja rokok tidak
menaikkan kesejahteraan buruh rokok dan petani tembakau. Industri yang menikmati.
Sebagian Industri besar rokok kini juga dimiliki perusahaan asing.
Cukai dan harga rokok
di Indonesia juga masih sangat rendah yang memungkinkan anak-anak sekolah
membeli rokok. Sekali mereka kecanduan, untuk 40-50 tahun mereka akan
terjerat terus membeli rokok. Bukan main hebatnya bisnis barang adiktif ini.
Anehnya, anggota DPR kita kini sedang mempersiapkan RUU Tembakau yang akan
mempermudah peningkatan konsumsi rokok. Para pejabat eksekutif juga banyak
yang menolak FCTC dengan alasan akan membebani buruh rokok dan petani
tembakau. Pemerintah juga belum menarik cukai maksimum dan mematok harga
rokok tinggi sesuai dengan filosofi UU Cukai.
Keliru paham
Mengapa negara yang
begitu kontras bisa bersikap sama? Sudan dan Somalia masih bergelut dengan perang
saudara akibat kemiskinan dan kebodohan. Pantaslah jika mereka belum peduli
dengan komitmen dunia dan citra bangsa di dunia. Mengapa pemimpin bangsa ini
”buta warna”, tidak mampu melihat beda Indonesia dengan warna negara
menengah, negara maju, dan negara berbudaya tinggi di dunia?
Bisa jadi para
pemimpin dan penentu negeri ini tidak tahu fakta konsumsi rokok dan FCTC.
Bisa jadi para pembisik pejabat tersebut tidak tahu tentang fakta rokok dan
FCTC. Bisa jadi mereka tidak sempat membaca, mendalami, dan bertanya tentang
fakta konsumsi rokok dan FCTC. Bisa jadi mereka tidak sempat melihat fakta di
Thailand yang menandatangani FCTC 10 tahun lalu, tetapi jumlah konsumsi rokok
tetap, penerimaan cukai rokok naik empat kali lipat, dan semakin sedikit
pemuda yang memulai merokok.
Bisa jadi juga
pembisik atau yang punya otoritas pengaturan takut (tidak beralasan)
kehilangan bisnisnya dalam industri rokok dan tembakau. Bisa jadi sebagian
pejabat, termasuk anggota DPR, memiliki bisnis atau memiliki saham dalam bisnis
tembakau dan rokok. Bisa jadi sebagian mereka juga mengambil untung besar
dari impor tembakau. Bisa jadi sebagian mereka dalam ”mabuk” rokok. Bisa
jadi, dan banyak lagi yang bisa jadi. Yang jelas, posisi Indonesia yang
sejajar dengan Sudan dan Somalia sangat memalukan bagi penulis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar