Indonesia di Antara Arab dan Iran
Smith Alhadar ; Direktur Eksekutif Institute for Democracy
Education (IDE)
|
KORAN
TEMPO, 18 September 2015
Pada 11-15 September,
Presiden Jokowi Widodo berkunjung ke tiga kerajaan Arab yang penting di Teluk
Persia: Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Qatar. Ketiga negara ini
merupakan anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) bersama Oman, Bahrain, dan
Kuwait. Di tiga kerajaan ini, Jokowi disambut hangat. Raja Salman bin Abdul
Aziz bahkan terbang dari Ibu Kota Riyadh untuk menemui Jokowi di Kota Jeddah.
Selain itu, Raja menyematkan penghargaan medali Star of the Order of Abdul
Aziz al-Saud.
Nan tak kalah penting,
perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco, berkomitmen menginvestasikan US$ 10
miliar di bidang pembangunan kilang, storage, dan sistem distribusi. Semua
ini menunjukkan tingginya apresiasi Raja Arab Saudi kepada pemimpin
Indonesia. Di UEA dan Qatar pun Jokowi mendapat sambutan tak kurang
hangatnya. Sejumlah kerja sama sosial, politik, dan khususnya ekonomi pun
disepakati. Walhasil, hasil kunjungan ini melebihi target, kata Jokowi.
Bagaimanapun, sulit
untuk tidak mengaitkan keramahan para pemimpin Arab ini dengan isu politik
regional, terutama perihal Iran. Dicabutnya sanksi ekonomi dan rujuknya Iran
dengan Barat menyusul dicapainya kesepakatan program nuklir Iran pada 14 Juli
lalu menciptakan dinamika baru di Timur Tengah. GCC sangat kecewa dengan
kesepakatan itu, yang menetapkan pengayaan uranium dari program nuklir Iran
hanya dibatasi selama sepuluh tahun. Dengan perkembangan ini, Iran akan
mendapat pemasukan besar dari pencarian aset-asetnya yang dibekukan di
bank-bank luar negeri dan dari ekspor minyak dan gasnya, sehingga lebih
leluasa membantu Irak, Suriah, Libanon, Hamas dan Jihad Islam, serta milisi
Houthi di Yaman. Yang tak kurang mengkhawatirkan adalah kemungkinan Iran
memprovokasi komunitas Syiah di dalam GCC.
Apalagi ada gelagat
Iran menarik-narik Indonesia untuk berpihak kepadanya dalam isu Yaman. Pada
29 April, Wakil Presiden Iran Bidang Manajemen dan Perencanaan Mohammad
Bagher Nobakht menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantornya di Jakarta
untuk membicarakan krisis Yaman. Seusai pertemuan, Kalla menyatakan Indonesia
dan Iran bersepakat tidak menggunakan kekerasan ataupun perang dalam
menyelesaikan konflik internal Yaman. Posisi Indonesia ini berseberangan
dengan GCC, yang memilih jalan perang, tapi juga tak sama dengan Iran, yang
berkepentingan di Yaman dengan mendukung milisi Houthi. Sebagai negara
berpenduduk muslim terbesar di dunia, posisi politik Indonesia dalam konflik
di dunia Islam tentu sangat penting.
Hubungan
Indonesia-Iran memang cukup baik. Di sela-sela Konferensi Asia-Afrika di Jakarta
dan Bandung pada April silam, pembicaraan Presiden Jokowi dan Presiden Iran
Hassan Rouhani menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang kebudayaan dan
kerja sama ekonomi. Sebagai negara besar (jumlah penduduknya 80 juta jiwa),
kaya energi (minyak dan gas), dan letaknya yang sangat strategis sebagai
akses ke Turki, Kaukasia, dan Asia Tengah, Iran punya daya tarik ekonomi yang
kompetitif. Di bidang politik, Iran sedang bersaing dengan GCC dalam
perebutan pengaruh di kawasan panas itu. GCC menggunakan identitas etnis,
sementara Iran menggunakan agama (Syiah). GCC khususnya sedang berjuang
mendepak Iran dari Irak, Suriah, Libanon, Palestina, dan Yaman. Dalam semua
kasus ini, Indonesia mengambil sikap netral. Sebelum GCC menyerang milisi
Houthi, Arab Saudi mengajak Indonesia ikut serta, tapi Jakarta menolak. Di
Suriah, Indonesia bersama Iran, Irak, dan Libanon masih membuka kedutaan
besar saat seluruh kedubes anggota GCC
telah ditutup. Dalam konteks ini, tampaknya Saudi, Qatar, dan UEA ingin
menarik Indonesia ke kubu mereka.
Sekarang tinggal
bagaimana kepintaran Indonesia memainkan perannya agar tujuan-tujuan nasional
bisa dicapai tanpa merusak hubungan baik dengan semua negara di atas. Mesti
dikatakan juga bahwa kendati berada dalam satu organisasi kerja sama militer
dan ekonomi, GCC tidak satu suara dalam sejumlah isu. Pada akhir Agustus
lalu, UEA berbalik-bersama Mesir dan Yordania-mendukung rezim Bashar
al-Assad. Menghadapi krisis Yaman, Oman menolak bergabung dengan GCC.
Sedangkan Qatar berselisih dengan Saudi dalam soal Al-Ikhwan al-Muslimun (IM)
di Mesir.
Namun, dalam konteks
Iran, mereka satu suara. Pada Desember tahun lalu, dalam KTT di Dhoha, Qatar,
GCC sepakat membentuk angkatan laut bersama dalam rangka menghadapi Iran.
Dengan muslim Indonesia yang moderat dan toleran serta tak memiliki beban
sejarah dengan Iran yang Syiah dan punya hubungan baik dengan seluruh anggota
GCC, Irak, Suriah, Palestina, dan Yaman, alangkah baiknya bila Indonesia-yang
bersama Iran, anggota GCC, Irak, Suriah, dan Yaman adalah anggota Organisasi
Kerja Sama Islam-memainkan peran pendamai. Kedudukan aman dan damai serta
kerja samalah yang dapat membuat dunia Islam berkembang menuju masa depan
yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar