Fatayat NU dan Tantangan Kontemporer
Anggini Armiarini ; Sekretaris umum PP Fatayat NU
|
JAWA
POS, 18 September 2015
DI usia ke-65 tahun, organisasi Fatayat NU
dituntut untuk terus berbenah. Kiprahnya dibutuhkan bukan sebatas menyangkut isuisu
kesetaraan dan pemberdayaan perempuan. Lebih dari itu, Fatayat NU juga harus
tampil lebih menarik dan hadir dalam isu-isu kontemporer yang lebih luas.
Dengan jumlah anggota mencapai enam juta orang
yang mengakar di tingkat grassroots, Fatayat NU yang akan menggelar kongres
di Surabaya mulai hari ini sampai Minggu lusa (20/9) adalah garda depan
pergerakan perempuan yang sangat potensial. Komitmen dan kerja nyatanya yang
terkait dengan upaya membangun kesadaran kritis kaum perempuan, mewujudkan
kesetaraan, serta mengadvokasi korban perdagangan anak hingga buruh migran
sudah cukup dibuktikan.
Berbagai masalah dan ketertinggalan perempuan
NU, terutama di desa-desa, jelas masih banyak serta menjadi pekerjaan rumah
bersama. Namun, kerja keras Fatayat NU, terutama dalam dua dekade terakhir,
setidaknya telah berhasil meng- upgrade banyak hal. Contoh sederhana, kalau
dulu sebatas konco wingking (teman di belakang), kini perempuan NU bahkan
sudah tak asing dengan, taruhlah, pilihan politik yang berbeda dalam keluarga.
Kesadaran politik itu, di level berikutnya
seiring demokratisasi, berlanjut ke perebutan ruang-ruang publik. Melalui
kader-kadernya yang terdistribusi di pemerintahan, di lembaga legislatif, dan
lembaga tinggi negara lainnya, keterlibatan Fatayat NU dalam memperjuangkan
hak-hak perempuan di pentas politik juga sudah bisa dirasakan. Saat ini lebih
dari seratus kader Fatayat NU duduk sebagai anggota legislatif, baik di pusat
maupun daerah di seluruh Indonesia.
Namun, itu belum apa-apa. Tantangan kontemporer
sesungguhnya jauh lebih kompleks daripada semua itu. Saat ini tantangan besar
Fatayat NU dalam menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan berhadapan
langsung dengan liberalisasi atau bahkan imperialisasi jenis baru di berbagai
bidang.
Periode globalisasi ekonomi yang ditandai era
perdagangan bebas ASEAN (MEA), mau tidak mau, menciptakan tantangan baru yang
simultan. Mulai tantangan ekonomi, tantangan hukum, tantangan politik,
tantangan ilmu pengetahuan, hingga tantangan agama.
NU tentu tidak bisa sendirian menghadapi
derasnya fundamentalisme dan radikalisme agama yang infiltrasinya melalui
dunia maya kian masif saja memengaruhi anakanak muda kita. Demikian juga
liberalisasi agama di sisi lain, yang kalau mau jujur, pahamnya justru
digandrungi banyak kalangan muda. Kalau dibiarkan, dua hal itu bukan saja
bisa mengancam eksistensi NU secara organisasi dan jamaah, tetapi juga
keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa.
Syukur, Muktamar Ke-33 NU di Jombang telah
meneguhkan Islam Nusantara sebagai instrumen besar untuk membangun peradaban
Indonesia dan dunia. Secara paradigmatis, tema itu mampu mengenalkan ciri
Islam yang damai dan toleran dengan lebih mudah ke khalayak luas. Bagaimana
tema besar itu makin membumi, Fatayat NU perlu ambil bagian langsung di ruang
tersebut.
Tugas Fatayat NU sebagai bagian terdepan NU ke
depan adalah bagaimana berpikir dan bertindak lebih progresif. Bagaimana
kader aktif Fatayat NU yang tersebar di 34 pengurus wilayah (PW), 423
pengurus cabang (PC/PCI), 2.013 pengurus anak cabang (PAC), 21.225 pengurus
ranting (PR), dan lebih dari 90 ribu pengurus anak ranting (PAR) menjadi
kekuatan ideologis yang dapat memainkan peran menghadapi arus kuat
globalisasi.
Harus diakui, globalisasi adalah sebuah
kecenderungan yang sulit dihindari. Perkembangan teknologi membuat arus
informasi dengan derasnya memasuki semua sektor publik dan domestik. Itu,
percaya atau tidak, telah mengubah sebagian besar kebiasaan hidup kita dari
mekanis ke digital. ”Dunia maya” yang beberapa waktu lalu sebatas angan-angan
kini seolah menjadi ”realitas sebenarnya”.
Di sinilah, Fatayat NU perlu menata,
merancang, dan mengagregasi sebuah gerakan yang bisa menjadi acuan bagi
setiap perempuan. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga dunia. Fatayat NU
harus mampu menunjukkan diri kepada dunia sebagai entitas perempuan yang
memiliki bekal kepemimpinan kuat, berkeadaban tinggi, dan mengerti Islam
secara luas.
Untuk mengarah ke output tersebut, beberapa
hal sudah dilakukan Fatayat NU. Sebagai fondasi, misalnya, Fatayat NU terus
meningkatkan pelatihan-pelatihan kepemimpinan dasar di tingkat PC.
Jika dulu target pelatihan cenderung
menyiapkan kader Fatayat untuk menata organisasi secara internal, sekarang
dalam panduan yang baru pelatihan Fatayat NU juga serius menyiapkan calon-calon
pemimpin perempuan yang selain mampu memimpin di internal, juga siap memimpin
organisasi publik di level yang lebih luas serta plural.
Di luar peningkatan kaderisasi formal, Fatayat
NU juga penting untuk mengoptimalkan sumber daya manusia (SDM) kader yang
ada. Kalau diidentifikasi, resource
kader Fatayat NU sebenarnya luar biasa.
Saat ini ada puluhan kader Fatayat NU yang
bergelar doktor dan ratusan lainnya lulusan strata 2. Mereka tentu mempunyai
keahlian dan bidang profesi beragam. Manajemen pengelolaan SDM itu juga
penting untuk lebih memanggungkan lagi Fatayat NU di pentas global.
Betapa cantiknya tatkala dari rahim Fatayat NU
lahir perempuanperempuan pemimpin, intelektual, dan kalangan profesional yang
sanggup memberikan pengaruh positif bagi pembangunan karakter bangsa, bagi
teguhnya Islam Nusantara, dan tentu saja bagi peradaban dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar