Ekspresi Seni dan Jalan Rekonsiliasi
Marselli Sumarno ; Pemerhati Film
|
KOMPAS,
10 September 2015
September ini, tragedi
nasional 1965 genap 50 tahun. Namun, rekonsiliasi nasional sebagai bentuk
penyelesaian mengenai tragedi itu tampaknya belum segera dapat terwujud.
Sejumlah karya
audio-visual yang telah dibuat dalam usaha mendorong rekonsiliasi nasional
justru mengundang kontroversi dan berhadapan dengan beberapa persoalan baru.
Sebagai catatan, kontroversi tragedi 1965 belakangan ini dipicu munculnya dua
film dokumenter garapan sutradara Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer: Jagal
(The Act of Killing, 2013) dan Senyap (Look of Silence, 2014). Di satu pihak,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menjadikan film Senyap
sebagai titik tolak untuk mendiskusikan rekonsiliasi nasional atas tragedi
nasional 1965. Di lain pihak, Lembaga Sensor Film (LSF) telah melarang
pemutaran film Senyap untuk umum.
"Kata yang tak terucap"
Deklarasi Universal
HAM diterima dan diumumkan Majelis Umum PBB, 10 Desember 1948. Tentang
kebebasan berekspresi termaktub dalam Pasal 19: "Setiap orang berhak
atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk
kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima,
dan menyampaikan keterangan-keterangan dari pendapat dengan cara-cara apa pun
dan dengan tidak memandang batas-batas."
Selanjutnya PBB telah
meratifikasi berbagai kovenan ataupun konvensi yang merupakan turunan dan
penjabaran Deklarasi Universal HAM. Pada 28 Oktober 2005, Pemerintah
Indonesia mengesahkan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
menjadi UU No 11/2005 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik jadi UU
No 12/2005.
Dewasa ini di
Indonesia terdapat UU No 33/2009 tentang Perfilman. Sementara LSF yang
dibentuk dengan Peraturan Pemerintah No 18/2014 melakukan penyensoran dengan
berpedoman pada asas, tujuan, dan fungsi perfilman sebagaimana dimaksud dalam
UU Perfilman.
Menjelang akhir 2014,
mulailah "perang" antara Komnas HAM dan LSF. Komnas HAM mendukung
pemutaran film Senyap di seluruh Indonesia, dengan alasan ini bagian dari
kerja pendidikan HAM sebagai dukungan terhadap program prioritas pemerintah
saat ini, yang dikenal luas sebagai program Nawacita, terutama agenda ke-9,
yaitu "Memperteguh kebinekaan dan
memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan
kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga."
Di pihak lain, LSF
tetap bersikukuh bahwa keputusannya terkait film Senyap sudah final, yaitu
menolak film tersebut dipertunjukkan kepada khalayak umum, tetapi tak menolak
untuk kalangan terbatas. Sebenarnya tawaran LSF tersebut masih menyisakan
ruang kebebasan bagi film yang kontroversial ini, yaitu untuk diputar di
kampus-kampus ataupun komunitas-komunitas tanpa memungut bayaran.
Namun, kenyataannya,
pemutaran bagi kalangan terbatas pun dibayang-bayangi pelarangan karena
argumen-argumen yang diajukan LSF mengesankan adanya film yang terlarang.
Padahal, argumen LSF itu tak sepenuhnya valid, semisal, "yang melakukan
wawancara kepada pelaku adalah anak kandung PKI." Tentu kalau orangtua
sang tokoh yang mencari keadilan bagi kakaknya itu juga terlibat PKI, mereka
pasti sudah ikut terbunuh.
Dalam film Senyap dikisahkan sosok lelaki 40-an tahun
bernama Adi Rukun, yang hidup dan dibesarkan di daerah Deli Serdang, Sumatera
Utara. Kakak kandungnya, Ramli, tewas terbantai karena dituduh komunis dalam
pergolakan 1965, sewaktu Adi belum lahir. Adi yang kini berprofesi sebagai
ahli pembuat kacamata kir mendatangi satu per satu para penjagal yang
kebanyakan adalah pasiennya.
Profesi Adi itu telah
menciptakan metafor agar para pembunuh itu, dalam usia lanjut mereka, dapat
"melihat dengan lebih fokus" atas peristiwa-peristiwa mengerikan
masa silam yang telah melibatkan mereka. Pertanyaan-pertanyaan Adi terhadap
orang-orang yang diajaknya berbincang mengalami eskalasi kegeraman pada diri
mereka yang tidak tertuju kepada Adi, melainkan tudingan tangan dan sebutan
"Joshua" yang tidak tampak dalam layar.
Ini menimbulkan
pengandaian yang serius yang bersifat etis, yaitu apakah Adi ini murni
berkehendak sebagai seorang pencari keadilan, ataukah ia sekadar
"boneka" bagi sutradara? Bagaimanapun, Senyap memiliki
keunggulan-keunggulan. Tanpa memperlihatkan tetesan darah dan tulang-belulang
ataupun tengkorak manusia, film ini cukup menggetarkan. Adegan-adegan
kekerasan hanya sebatas "kata yang terucap".
Soal pilihan dan tindakan
Kebebasan berekspresi
dijamin oleh UU HAM. Titik-titik ketegangannya antara kebebasan dan kepastian
hukum. Kebebasan adalah ciri hakiki manusia sebagai manusia rasional dan
berkehendak. Pada manusia, kebebasan tak pernah mutlak. Oleh karena itu,
kebebasan dan tanggung jawab terkait satu sama lain. Kebebasan tanpa tanggung
jawab akan menjurus ke anarki.
Memang, pada akhirnya
kebebasan menyangkut soal pilihan dan tindakan. Dalam hal ini, sarana untuk
melakukan pilihan tindakan itu adalah ekspresi seni berupa film Senyap.
Uniknya, baik LSF maupun Komnas HAM sama-sama lembaga dalam pemerintahan.
Apakah negara berperan dalam memecahkan persoalan ini, atau justru memilih
diam alias absen?
Sementara UU HAM,
Pasal 70, telah menentukan batas-batas HAM secara padat: "Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan oleh UU dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis."
LSF telah menolak film
Senyap, sedangkan Komnas HAM justru ingin menggunakan film tersebut sebagai
dukungan terhadap program pemerintah tentang masalah rekonsiliasi. Menurut
saya, persoalan timbul karena LSF menerapkan prinsip utilitarisme (yang dikembangkan
John Stuart Mill) dalam perspektif HAM, sekurang-kurangnya demi
"ketertiban dalam masyarakat", yang mengatasnamakan orang banyak,
sungguhpun belum tentu menjamin penghormatan terhadap HAM.
Maka, dalam penerapan
hukum untuk memberikan batas-batas kebebasan berekspresi seni, khususnya
dalam studi kasus film Senyap, muncul dilema: positivisme hukum (diwakili
oleh LSF) dan idealisme kehendak (diwakili oleh Komnas HAM). Pertanyaannya,
apakah batas-batas kebebasan ekspresi itu ditentukan oleh model atau kualitas
etika atas bentuk estetisnya? Konsepsi etika manakah yang paling relevan
untuk mendekati film Senyap? Menurut saya, itu adalah etika "wajah orang
lain" dari Emmanuel Levinas. Inti pendekatan fenomenologisnya adalah
ingin menunjukkan bahwa pembentukan identitas "saya" selalu sudah
berdasarkan suatu peristiwa asali yang terjadi setiap kali bertemu dengan
orang lain.
Apakah
"fenomenologi orang lain" Levinas meyakinkan? Memang menjadi
masalah jika yang etis bagi Levinas ini menyangkut orang banyak, karena itu
memaksa kita untuk bersikap adil terhadap mereka. Dan justru dalam peristiwa
keseharian, apakah selalu mudah untuk bersikap adil terhadap banyak orang?
Akan tetapi, dalam
peristiwa yang lebih serius seperti dalam tindakan kekerasan sampai tingkat
pembunuhan bahkan genosida, etika kepekaan Levinas mencapai tataran
"kemanusiaan untuk orang lain". Dengan gagasan-gagasan demikian,
film Senyap akan terbuka lebar bagi wacana perikemanusiaan yang adil dan
beradab, bahkan untuk tujuan rekonsiliasi nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar