Deregulasi dan Kebijakan Industri
A Prasetyantoko ; Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
15 September 2015
Ekonom terkemuka
Universitas Harvard, Dani Rodrik, menulis artikel kembalinya kebijakan
industrial pasca krisis hebat 2008. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown
menyebutnya sebagai cara menciptakan pekerjaan berketerampilan tinggi,
sementara Presiden Perancis kala itu, Nicolas Sarkozy, memaknainya sebagai
upaya untuk mempertahankan pekerjaan di tengah perlambatan perekonomian.
Dalam konteks negara
berkembang, Kepala Ekonom Bank Dunia Justin Lin menyebut kebijakan industrial
sebagai upaya mempercepat perubahan struktural. Argumen Rodrik, kebijakan
industrial kembali saat ekonomi dilanda resesi. Kebijakan industrial pernah
dianggap usang seiring menguatkan Konsensus Washington yang mengharamkan
segala macam campur tangan pemerintah dalam mempromosikan pertumbuhan melalui
percepatan transformasi struktural.
Di Indonesia, argumen
sejenis dikenal dengan istilah Hukum Sadli. Sederhananya, saat terjadi
resesi, relaksasi kebijakan industri diperlukan agar dinamika ekonomi
terangkat kembali. Atas argumen inilah, kebijakan pemerintahan Joko Widodo
sering dianggap bercorak anomali; tatkala perlambatan ekonomi terjadi, justru
diikuti dengan serangkaian pengetatan kebijakan industri. Namun, anomali
tersebut berubah haluan pasca diumumkannya paket kebijakan deregulasi, minggu
lalu.
Pilar kebijakan
Paket kebijakan
ekonomi yang diumumkan Presiden Jokowi, Rabu (9/9), mencakup tiga pilar utama,
yaitu mendorong daya saing nasional, mempercepat proyek strategis nasional,
dan meningkatkan investasi sektor properti. Ketiganya diarahkan untuk
mengerakkan ekonomi nasional yang tengah lesu.
Angka pertumbuhan
ekonomi kuartal II-2015 sebesar 4,67 persen mencerminkan kelesuan
perekonomian. Bahayanya lagi, memasuki semester II tahun ini, situasi global
dan regional justru makin tak bersahabat. Berbagai manuver kebijakan
Tiongkok, khususnya devaluasi nilai tukarnya, hanyalah cerminan betapa
beratnya persoalan domestik mereka. Dan, jika kinerja perekonomian Tiongkok
terus menurun, pertumbuhan global juga makin menyusut.
Majalah terkemuka The Economist (29/8/2015) menyebutkan,
perkiraan masuk akal bagi pertumbuhan Tiongkok sekitar 5 persen saja. Dalam sebulan,
tak kurang 5 triliun dollar AS telah keluar dari pasar modal negara tersebut.
Jika Tiongkok mengalami hard landing, bisa dipastikan perekonomian global
akan suram, hanya tumbuh sekitar 3 persen. Situasi ini akan memengaruhi
kinerja perekonomian domestik kita sehingga perekonomian diperkirakan hanya
akan tumbuh 4,7-4,9 persen.
Dalam situasi semacam
ini, paket kebijakan ekonomi menjadi relevan dalam dua hal, meredam gejolak
serta menghentikan perlambatan perekonomian. Pada tahap pertama tentu meyakinkan
agar stabilitas makro terjaga, melalui serangkaian kebijakan serta koordinasi
antara pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan. Tahap
berikutnya, mendorong daya saing perekonomian serta yang terakhir meyakinkan
kelompok masyarakat paling rentan memiliki bantalan melalui kebijakan yang
berfokus pada wilayah pedesaan.
Perangkat pemerintah
dalam memengaruhi situasi selalu hanya dua; kebijakan fiskal dan regulasi.
Presiden Jokowi punya komitmen mendorong pengeluaran anggaran mencapai 93
persen hingga akhir tahun dan kini paket kebijakan deregulasi diluncurkan
dengan nama September 1. Setelah ini, akan ada paket lanjutan, dengan paket
lanjutan pada akhir bulan ini. Dengan demikian, pada dasarnya semua perangkat
yang dimiliki sudah dikeluarkan.
Beberapa hari setelah
diumumkan, pemerintah telah berhasil melakukan konsolidasi terhadap 134
kebijakan. Dari total kebijakan tersebut, terdapat 17 peraturan pemerintah,
11 peraturan presiden, dua instruksi presiden, 96 peraturan menteri dan 8
peraturan lainnya. Terlihat, titik beratnya berada pada level kementerian dan
lembaga. Dari 96 peraturan menteri, urutan terbanyak dipegang Kementerian
Perdagangan (30 peraturan), disusul Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah sebanyak 29 peraturan dan Kementerian Perindustrian sebanyak 14
peraturan.
Kementerian
Koordinator Perekonomian menjadi simpul penting guna meyakinkan semua tabel
kebijakan yang sangat komprehensif ini bisa segera dijalankan. Baik soal
penyerapan anggaran maupun paket deregulasi, kuncinya ada pada implementasi.
Kebijakan industrial
Dari kerangka
kebijakan yang sudah dikeluarkan, akan ada banyak implikasi teknis yang
berpengaruh pada relasi antara pemerintah dan dunia usaha. Dalam konferensi
pers, Menko Perekonomian Darmin Nasution, menyusul presentasi Presiden,
terlihat ada banyak hal teknis yang menjadi titik perhatian pemerintah.
Pertama, penguatan
pembiayaan ekspor melalui National Interest Account yang melibatkan Lembaga
Pembiayaan Ekspor Nasional, eksportir dan perbankan pada umumnya. Kedua,
penetapan harga gas untuk industri tertentu di dalam negeri. Ketiga,
kebijakan pengembangan kawasan industri di bawah koordinasi Menteri
Perindustrian. Keempat, Kebijakan memperkuat fungsi ekonomi koperasi yang
akan ditindaklanjuti dengan keputusan menteri Koperasi dan UKM.
Berikutnya mencakup
kebijakan simplifikasi perizinan perdagangan, kebijakan simplifikasi visa
kunjungan dan aturan pariwisata, kebijakan elpiji untuk nelayan, dan
stabilitas harga komoditas pangan, khususnya daging sapi. Sementara dua
kebijakan terakhir berorientasi pada kelompok nelayan dan pedesaan, melalui
kebijakan melindungi masyarakat berpendapatan rendah dan menggerakkan ekonomi
pedesaan. Terakhir, kebijakan pemberian raskin atau beras kesejahteraan untuk
bulan ke-13 dan ke-14.
Paket kebijakan ini
begitu komprehensif. Namun, karena cakupannya begitu luas, risikonya menjadi
tidak fokus sehingga punya dampak yang bisa dirasakan. Karena itu, pada tahap
pertama ini perlu ditemukan simpul pokoknya. Sebagaimana disebutkan, paket
kebijakan gelombang pertama bertumpu pada upaya mendorong daya saing
perekonomian domestik. Kata kunci daya saing domestik pun masih begitu luas
sehingga perlu penajaman lebih lanjut. Pada titik ini, ada ruang cukup lebar
bagi pemerintah untuk masuk pada level industri. Dan, di situlah kerangka
kebijakan industrial menjadi penting.
Pada fase tertentu,
kebijakan industrial tidak diminati karena bersifat menunjuk pemenang
(picking winners) dan menyelamatkan yang kalah (saving losers). Implikasinya
justru tak membuat perekonomian menjadi lebih efisien, sebaliknya akan
memunculkan pemburu rente ekonomi.
Oleh karena itu,
seperti yang pernah diingatkan majalah The Economist (5/8/2010), paling tidak
ada tiga hal yang harus dihindari dalam kebijakan industrial. Pertama, fokus
pada sektor industri yang memang memiliki keunggulan kompetitif, khususnya di
industri dasar dan penghasil bahan baku. Kedua, kebijakan lebih bersifat
ramah pasar sehingga kemungkinan gagal rendah. Ketiga, pemerintah harus tahu
diri dengan membatasi pada area yang memang dikuasainya. Jangan masuk pada
industri yang kompetensinya dimiliki dengan baik oleh pelaku swasta sebab
hanya akan menimbulkan distorsi.
Melihat cakupan
peraturannya, paket September 1 sudah memadai. Kuncinya tinggal apakah pelaku
swasta berperilaku sesuai harapan pemerintah. Di situlah kredibilitas
pemerintah masih akan diuji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar