Rabu, 16 September 2015

Deregulasi dan Kebijakan Industri

Deregulasi dan Kebijakan Industri

A Prasetyantoko  ;  Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
                                                     KOMPAS, 15 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ekonom terkemuka Universitas Harvard, Dani Rodrik, menulis artikel kembalinya kebijakan industrial pasca krisis hebat 2008. Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyebutnya sebagai cara menciptakan pekerjaan berketerampilan tinggi, sementara Presiden Perancis kala itu, Nicolas Sarkozy, memaknainya sebagai upaya untuk mempertahankan pekerjaan di tengah perlambatan perekonomian.

Dalam konteks negara berkembang, Kepala Ekonom Bank Dunia Justin Lin menyebut kebijakan industrial sebagai upaya mempercepat perubahan struktural. Argumen Rodrik, kebijakan industrial kembali saat ekonomi dilanda resesi. Kebijakan industrial pernah dianggap usang seiring menguatkan Konsensus Washington yang mengharamkan segala macam campur tangan pemerintah dalam mempromosikan pertumbuhan melalui percepatan transformasi struktural.

Di Indonesia, argumen sejenis dikenal dengan istilah Hukum Sadli. Sederhananya, saat terjadi resesi, relaksasi kebijakan industri diperlukan agar dinamika ekonomi terangkat kembali. Atas argumen inilah, kebijakan pemerintahan Joko Widodo sering dianggap bercorak anomali; tatkala perlambatan ekonomi terjadi, justru diikuti dengan serangkaian pengetatan kebijakan industri. Namun, anomali tersebut berubah haluan pasca diumumkannya paket kebijakan deregulasi, minggu lalu.

Pilar kebijakan

Paket kebijakan ekonomi yang diumumkan Presiden Jokowi, Rabu (9/9), mencakup tiga pilar utama, yaitu mendorong daya saing nasional, mempercepat proyek strategis nasional, dan meningkatkan investasi sektor properti. Ketiganya diarahkan untuk mengerakkan ekonomi nasional yang tengah lesu.

Angka pertumbuhan ekonomi kuartal II-2015 sebesar 4,67 persen mencerminkan kelesuan perekonomian. Bahayanya lagi, memasuki semester II tahun ini, situasi global dan regional justru makin tak bersahabat. Berbagai manuver kebijakan Tiongkok, khususnya devaluasi nilai tukarnya, hanyalah cerminan betapa beratnya persoalan domestik mereka. Dan, jika kinerja perekonomian Tiongkok terus menurun, pertumbuhan global juga makin menyusut.

Majalah terkemuka The Economist (29/8/2015) menyebutkan, perkiraan masuk akal bagi pertumbuhan Tiongkok sekitar 5 persen saja. Dalam sebulan, tak kurang 5 triliun dollar AS telah keluar dari pasar modal negara tersebut. Jika Tiongkok mengalami hard landing, bisa dipastikan perekonomian global akan suram, hanya tumbuh sekitar 3 persen. Situasi ini akan memengaruhi kinerja perekonomian domestik kita sehingga perekonomian diperkirakan hanya akan tumbuh 4,7-4,9 persen.

Dalam situasi semacam ini, paket kebijakan ekonomi menjadi relevan dalam dua hal, meredam gejolak serta menghentikan perlambatan perekonomian. Pada tahap pertama tentu meyakinkan agar stabilitas makro terjaga, melalui serangkaian kebijakan serta koordinasi antara pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan. Tahap berikutnya, mendorong daya saing perekonomian serta yang terakhir meyakinkan kelompok masyarakat paling rentan memiliki bantalan melalui kebijakan yang berfokus pada wilayah pedesaan.

Perangkat pemerintah dalam memengaruhi situasi selalu hanya dua; kebijakan fiskal dan regulasi. Presiden Jokowi punya komitmen mendorong pengeluaran anggaran mencapai 93 persen hingga akhir tahun dan kini paket kebijakan deregulasi diluncurkan dengan nama September 1. Setelah ini, akan ada paket lanjutan, dengan paket lanjutan pada akhir bulan ini. Dengan demikian, pada dasarnya semua perangkat yang dimiliki sudah dikeluarkan.

Beberapa hari setelah diumumkan, pemerintah telah berhasil melakukan konsolidasi terhadap 134 kebijakan. Dari total kebijakan tersebut, terdapat 17 peraturan pemerintah, 11 peraturan presiden, dua instruksi presiden, 96 peraturan menteri dan 8 peraturan lainnya. Terlihat, titik beratnya berada pada level kementerian dan lembaga. Dari 96 peraturan menteri, urutan terbanyak dipegang Kementerian Perdagangan (30 peraturan), disusul Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah sebanyak 29 peraturan dan Kementerian Perindustrian sebanyak 14 peraturan.

Kementerian Koordinator Perekonomian menjadi simpul penting guna meyakinkan semua tabel kebijakan yang sangat komprehensif ini bisa segera dijalankan. Baik soal penyerapan anggaran maupun paket deregulasi, kuncinya ada pada implementasi.

Kebijakan industrial

Dari kerangka kebijakan yang sudah dikeluarkan, akan ada banyak implikasi teknis yang berpengaruh pada relasi antara pemerintah dan dunia usaha. Dalam konferensi pers, Menko Perekonomian Darmin Nasution, menyusul presentasi Presiden, terlihat ada banyak hal teknis yang menjadi titik perhatian pemerintah.

Pertama, penguatan pembiayaan ekspor melalui National Interest Account yang melibatkan Lembaga Pembiayaan Ekspor Nasional, eksportir dan perbankan pada umumnya. Kedua, penetapan harga gas untuk industri tertentu di dalam negeri. Ketiga, kebijakan pengembangan kawasan industri di bawah koordinasi Menteri Perindustrian. Keempat, Kebijakan memperkuat fungsi ekonomi koperasi yang akan ditindaklanjuti dengan keputusan menteri Koperasi dan UKM.

Berikutnya mencakup kebijakan simplifikasi perizinan perdagangan, kebijakan simplifikasi visa kunjungan dan aturan pariwisata, kebijakan elpiji untuk nelayan, dan stabilitas harga komoditas pangan, khususnya daging sapi. Sementara dua kebijakan terakhir berorientasi pada kelompok nelayan dan pedesaan, melalui kebijakan melindungi masyarakat berpendapatan rendah dan menggerakkan ekonomi pedesaan. Terakhir, kebijakan pemberian raskin atau beras kesejahteraan untuk bulan ke-13 dan ke-14.

Paket kebijakan ini begitu komprehensif. Namun, karena cakupannya begitu luas, risikonya menjadi tidak fokus sehingga punya dampak yang bisa dirasakan. Karena itu, pada tahap pertama ini perlu ditemukan simpul pokoknya. Sebagaimana disebutkan, paket kebijakan gelombang pertama bertumpu pada upaya mendorong daya saing perekonomian domestik. Kata kunci daya saing domestik pun masih begitu luas sehingga perlu penajaman lebih lanjut. Pada titik ini, ada ruang cukup lebar bagi pemerintah untuk masuk pada level industri. Dan, di situlah kerangka kebijakan industrial menjadi penting.

Pada fase tertentu, kebijakan industrial tidak diminati karena bersifat menunjuk pemenang (picking winners) dan menyelamatkan yang kalah (saving losers). Implikasinya justru tak membuat perekonomian menjadi lebih efisien, sebaliknya akan memunculkan pemburu rente ekonomi.

Oleh karena itu, seperti yang pernah diingatkan majalah The Economist (5/8/2010), paling tidak ada tiga hal yang harus dihindari dalam kebijakan industrial. Pertama, fokus pada sektor industri yang memang memiliki keunggulan kompetitif, khususnya di industri dasar dan penghasil bahan baku. Kedua, kebijakan lebih bersifat ramah pasar sehingga kemungkinan gagal rendah. Ketiga, pemerintah harus tahu diri dengan membatasi pada area yang memang dikuasainya. Jangan masuk pada industri yang kompetensinya dimiliki dengan baik oleh pelaku swasta sebab hanya akan menimbulkan distorsi.

Melihat cakupan peraturannya, paket September 1 sudah memadai. Kuncinya tinggal apakah pelaku swasta berperilaku sesuai harapan pemerintah. Di situlah kredibilitas pemerintah masih akan diuji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar