Sabtu, 08 Agustus 2015

Pilkada Tertusuk Duri

Pilkada Tertusuk Duri

Margarito Kamis ; Doktor Hukum Tata Negara;
Staf Pengajar FH Universitas Khairun Ternate
                                                  KORAN SINDO, 05 Agustus 2015 

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Memilih, bukan mengangkat dan atau menetapkan pemimpin, yang disepakati oleh sebuah bangsa sebagai cara mengisi jabatan tunggal presiden, gubernur, bupati, dan wali kota atau jamak anggota DPR dan lainnya adalah sebuah aksioma konstitusionalisme universal.

Cara itu baik memilih atau disepakati merupakan buah manis perubahan radikal atas eksistensi setiap orang. Status otonom merdeka yang semula hanya disematkan kepada segelintir orang berubah menjadi dimiliki oleh semua orang. Karena itulah, perihal siapa yang memerintah, bagaimana caranya, berapa lama, bagaimana dan siapa yang membiayainya muncul menjadi soal fundamental dalam perspektif konstitusionalisme.

Memilih, bukan mengangkat atau menetapkan, akhirnya muncul menjadi satu-satunya pilihan paling sesuai dengan hakikat baru eksistensi semua orang sebagai orang merdeka.

Tertusuk

Pada titik inilah, calon tunggal pada pemilihan kepala daerah kali ini menarik untuk dikenali. Bukan lantaran calon tunggal itu sendiri, melainkan mengapa hanya ada calon tunggal di tengah belantara partai politik. Apakah hal itu dirangsang oleh hasrat partai politik atau figur-figur kunci dalam partai politik untuk memastikan cengkeraman partai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Apakah partai politik tak memiliki jagoannya sendiri? Meminta jawaban pasti dari partai jelas mustahil. Bukan disebabkan tak ada jawaban yang tersedia, melainkan politisi selalu cerdas menemukan jawaban imajiner untuk disodorkan. Jawaban-jawaban itu, bila muncul, bukan tak mungkin tak mengharuskan setiap orang sesekali bingung nan pusing alang-kepalang.

Bukan tak ada jagoannya sendiri, melainkan mengapa ramai-ramai dukung satu orang? Tak ada yang salah dengan calon tunggal sebab hanya dia yang ada di hati pemilih. Tak ada yang salah dengan calon tunggal. Walau hukum pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota menyediakan jalan lain, jalan independen, tak ada yang menggunakannya.

Mungkin itulah sekelumit jawaban yang akan diperoleh dari jagoan-jagoan partai politik atas soal di atas. Di tengah kerumitan menemukan argumen yang tepat atas soal calon tunggal, sulit pula menemukan argumen yang tepat atas kandidat yang diusulkan oleh partai yang sedang bersengketa.

Sungguh pun konstitusionalisme Indonesia, terutama dalam soal pemilihan, umum atau tidak, terbiasa mendemonstrasikan argumen fungsional dalam membenarkan setiap kebijakan penyelesaian sebuah soal, tetap saja soal ini menusuk konstitusionalisme.

Pemilihan kepala daerah, betapa pun sering dianggap sebagai peristiwa politik, itu sama sekali tak menghapuskan sifat peristiwa itu sebagai peristiwa hukum tata negara. Sengketa partai, sejauh ini, tidak lain adalah sengketa keabsahan kepengurusan. Intinya sengketa tentang kepengurusan yang sah dan kepengurusan yang tidak sah.

Saat ini sengketa itu belum selesai karena belum ada putusan hakim terakhir. Dalam hukum berlaku prinsip judicis posteribus fides est adhibenda; kepercayaan diberikan kepada keputusan yang paling akhir. Faktanya keputusan akhir itu saat ini belum ada. Politisi di mana pun sama saja. Mereka berjanji membangun jembatan, bahkan ketika tidak ada sungai, kata Nikita Khrushchev sebagaimana dikutip KORAN SINDO (25/7/15).

Apakah kata-kata itu menandai banyak akal sebagai ciri politisi? Entahlah. Tetapi, diam seribu bahasanya partai politik atas dimungkinkannya partai yang bersengketa mendaftarkan calonnya dalam pilkada kali ini menarik. Sungguh sulit untuk tak mempertimbangkan betapa kenyataan itu menandai konstitusionalisme tertusuk duri tahu sama tahu.

Kardus

Konstitusionalisme atau demokrasi tak akan ada, mati konyol, kala pemimpin tak lagi dipilih rakyat. Sebagai antitesis dari ”pengangkatan dan penetapan” yang menjadi ciri dalam monarki absolut, pemilihan, umum atau tidak, harus diusahakan terus-menerus.

Partai politik, betapa pun sejak awal pertumbuhannya tidak banyak yang menyukainya, terus dipakai sebagai cara mengelola konflik, mengonsolidasi kepentingan-kepentingan faksionalis sembari membalutnya dengan kepentingan umum, harus memastikan bahwa ”memilih” tidak sama, baik dalam arti fungsional maupun substansial, dengan ”menetapkan.”

Mengangkat atau menetapkan, apa pun argumen praktisnya, termasuk dan tidak terbatas pada argumen bahwa rakyat menyukai yang bersangkutan, jelas membelakangi akal sehat. Menemukan jalan keluar, sebisa mungkin setara dengan akal sehat, terus terang menjadi tanggung jawab jagoan-jagoan parpol.

Andai jalan keluar paling ternalar dan pantas saat ini tetap saja dirasa tak cukup, segeralah menemukan jalan keluar lainnya. Bila jalan keluar lain itu menjadikan kardus air mineral atau kardus ember sebagai peserta pilkada, jelas menggelikan. Sama menggelikannya bila kerbau akhirnya ditemukan dan disepakati sebagai jalan keluar dalam memecahkan problem konstitusional calon tunggal itu.

Bila kardus air mineral dan ember dijadikan subjek hukum, kerbau pun layak jadi subjek hukum. Kardus air mineral atau kardus ember atau kardus dodol memang bisa saja dikreasi menjadi subjek hukum pilkada, tetapi, sekali lagi, kreasi itu tidak memiliki padanan argumen dengan kreasi menjadikan korporasi atau partai politik sebagai subjek hukum.

Korporasi jelas bukan manusia, begitu juga parpol. Tetapi, karena sekumpulan orang, yang tidak lain adalah subjek hukum-pendukung hak dan kewajiban - dalam lalu lintas hukum, cukup ternalar mengonstruksi korporasi menjadi subjek hukum. Unsur itulah yang tidak dimiliki kardus air mineral, ember, dan kerbau.

Tetapi, andai politisi membabi buta memastikan bekerjanya tesis Churchil yang terkenal dalam panggung konstitusionalisme Inggris era 30-an yakni kehilangan momentum bukan hanya akan menyebabkan anda akan berhenti, melainkan akan jatuh sehingga tetap saja menjadikan kardus-kardus sebagai subjek hukum jelas konyol. Hasilnya adalah manusia lawan kardus. Itu hanya masuk akal dalam konstitusionalisme kardus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar