Pilkada Calon Tunggal
Khairul Fahmi ;
Dosen Hukum Tata Negara;
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)
Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
KOMPAS,
07 Agustus 2015
Sampai batas akhir perpanjangan
pendaftaran pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah, sembilan dari
269 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada hanya diikuti calon tunggal.
Kondisi ini memantik silang pendapat ihwal bagaimana menyikapinya. Opsi yang
tersedia, menunda pilkada hingga tahun 2017 sebagaimana diatur KPU atau tetap
melaksanakan pilkada dengan calon tunggal.
Dua pilihan tersebut sama-sama tak
memiliki landasan hukum yang kuat. Sekalipun opsi menunda pilkada telah
dimuat dalam peraturan KPU, hal itu sesungguhnya masih bermasalah secara
hukum karena UU Pilkada tidak mengatur demikian. Begitu juga pilihan
melaksanakan pilkada dengan calon tunggal, UU Pilkada pun tak mengaturnya.
Kondisi tersebut sesungguhnya menuntut hadirnya produk hukum darurat guna
mewadahi penyelesaian masalah yang ada.
Pemerintah memang telah
menginisiasi lahirnya peraturan pemerintah pengganti UU (perppu). Saat yang
sama, KPU dan Bawaslu juga telah memberi sinyal perlunya pemerintah segera
menerbitkan perppu. Hanya saja, sampai saat ini produk hukum darurat itu
belum muncul. Salah satu soal yang menghambat, belum tuntasnya pilihan sikap
dan kebijakan yang nantinya akan diintroduksi ke dalam perppu.
Tunda
atau lanjut
Opsi menunda pilkada hingga tahun
2017 kiranya perlu ditinjau kembali. Segala dampak hukum dan kerugian yang
akan timbul akibat penundaan haruslah dipertimbangkan matang. Setidaknya,
enam catatan berikut dapat mengonfirmasi sisi lemah kebijakan penundaan
pilkada dengan calon tunggal.
Pertama, UU Pilkada tegas
menentukan limitasi waktu penundaan tahapan pencalonan jika hanya ada satu
pasangan calon, yaitu tiga hari. Apabila limitasi tersebut dipelajari lebih
jauh, ketentuan maksimal perpanjangan waktu menghendaki agar penyelenggara
pilkada sudah harus menetapkan pasangan calon ketika batas waktu dilampaui.
Dengan demikian, berakhirnya batas waktu akan linear dengan munculnya
kewajiban hukum KPU untuk menetapkan pasangan calon, sekalipun hanya satu
pasangan.
Kedua, UU Pilkada juga mengatur,
pemilihan hanya dapat ditunda apabila terjadi kegagalan dalam melaksanakan
proses pemilihan di daerah atau bagian daerah yang melangsungkan pilkada.
Secara a contrario dipahami, selain ihwal gagalnya pelaksanaan pemilihan,
tidak ada kondisi lainnya yang dapat dijadikan dasar penundaan pilkada,
termasuk calon tunggal.
Ketiga, Pasal 201 UU Pilkada tegas
menentukan, bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2015
dan Januari hingga Juni 2016, pemilihan dilaksanakan pada Desember 2015,
bukan 2017. Norma tersebut secara tegas menutup ruang diundurnya pilkada bagi
daerah yang jatuh tempo pada 2015.
Keempat, kebijakan penundaan dapat
mengganggu berjalannya desain pilkada serentak nasional 2027. Dengan potensi
calon tunggal yang akan selalu muncul pada sejumlah pilkada dalam rentang
2015-2027, eksistensi pilkada serentak nasional akan terancam. Bukankah calon
tunggal juga mungkin muncul di Pilkada 2027 nanti? Lalu, apakah juga harus
dilakukan penundaan?
Kelima, penundaan diyakini akan
memunculkan kerugian, baik bagi calon yang telah mendaftarkan diri maupun
daerah. Calon (apalagi petahana) akan kehilangan peluang memperpanjang masa
jabatannya secara berkelanjutan melalui pilkada. Di pihak lain, kondisi
tersebut justru akan menjadi bola liar yang tidak sehat bagi proses politik
daerah.
Keenam, bagi daerah, jeda waktu
kekosongan jabatan kepala daerah akan menyebabkan terganggunya proses
pembangunan yang sedang berjalan. Sebab, berbagai kebijakan strategis
pembangunan dipastikan tidak akan dapat diambil seorang penjabat kepala
daerah.
Alternatif
lain
Berbagai alasan sebagaimana dikemukan
di atas merupakan kondisi yang mengharuskan pengambil kebijakan meninggalkan
opsi penundaan pilkada. Pilkada tetap harus dilaksanakan di daerah yang
sampai saat ini masih dengan calon tunggal. Untuk menyikapinya, beberapa
alternatif kebijakan berikut perlu dipertimbangkan untuk diadopsi ke dalam
perppu.
Pertama, membuka perpanjangan
pendaftaran tahap kedua yang dilengkapi kewajiban partai politik mengajukan
pasangan calon. Hanya saja, pilihan ini tetap mengandung sejumlah risiko,
seperti terganggunya tahapan pilkada serentak atau hadirnya calon boneka dari
perselingkuhan kepentingan pragmatis parpol.
Kedua, melaksanakan pilkada calon
tunggal dengan sistem bumbung kosong. Pilihan ini memiliki titik lemah yang
amat krusial. Jika yang menang bumbung kosong, pilkada dengan biaya yang
demikian mahal harus berakhir sia-sia.
Ketiga, pilkada calon tunggal
tanpa pemilihan. Dalam sistem ini, calon tunggal disahkan sebagai calon
kepala daerah terpilih tanpa harus dipilih. Tentu akan muncul pertanyaan,
bukankah esensi pilkada adalah pemberian suara? Ya, tetapi hadirnya calon
tunggal bukanlah kehendak penyelenggara, melainkan kehendak masyarakat
politik yang merepresentasikan kemauan politik rakyat secara umum.
Dalam konteks itu, tidak
dilakukannya tahap pemungutan suara bukan karena kegagalan pelaksanaan,
melainkan tersebab kondisi alamiah pilkada yang menghendaki. Jika memang
kehendak umum daerah yang membiarkan calon tunggal, lalu bagaimana mungkin
hukum memaksanya menjadi dua calon?
Dari tiga pilihan tersebut, opsi
memperpanjang pendaftaran tentu dapat digabung dengan opsi kedua atau ketiga.
Guna memberikan kesempatan lebih luas untuk mengajukan calon, kiranya perppu
perlu mengatur perpanjangan pendaftaran dengan waktu yang lebih panjang dan
tetap memperhitungkan tahapan pilkada yang telah diatur secara nasional. Pada
saat yang sama, perppu juga harus memilih apakah melaksanakan pilkada calon
tunggal dengan bumbung kosong atau tanpa pemilihan. Dengan perkembangan yang
ada, pilkada tanpa pemilihan dengan tingkat risiko yang lebih kecil tentu
akan lebih tepat guna menyelesaikan kegagalan partai politik dalam proses
pencalonan Pilkada 2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar