Rabu, 05 Agustus 2015

Pencemaran Nama Baik melalui Media Pers

Pencemaran Nama Baik melalui Media Pers

Romli Atmasasmita  ;   Guru Besar (Em) Unpad dan Unpas, Direktur LPIKP
                                                  KORAN SINDO, 03 Agustus 2015 

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Harian Kompas, Jumat, 24 Juli 2015 dan Sabtu, 27 Juli 2015 berturut-turut telah mengetengahkan topik mengenai laporan pengaduan dugaan pencemaran nama baik oleh Hakim Sarpin dan penulis ke Bareskrim Polri. Kompas tanggal 24 Juli 2015 memuat artikel yang ditulis Agus Sudibyo dan dalam Kompas tanggal 27 Juli 2015 memuat pemberitaan pers sebagai karya jurnalistik.

Ada tiga inti artikel dalam harian Kompas tersebut. Pertama, pengadu/pelapor telah keliru memahami muatan berita pers yang mencatat/mengutip pendapat/pernyataan terlapor. Kedua, pelapor “salah alamat” karena seharusnya melapor ke Dewan Pers dengan alasan bahwa muatan berita dianggap sebagai karya jurnalistik. Ketiga, Dewan Pers memiliki tugas dan wewenang untuk “turut serta” menyelesaikan pengaduan masyarakat terkait pemberitaan pers dan menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.

UU RI Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang diundangkan pada 23 September 1999 telah membuka pintu kebebasan pers seluas-luasnya, namun masih tetap dalam batas-batas norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat (1)). UU Pers 1999 merupakan UU yang sangat protektif terhadap wartawan (jurnalis), bukan terhadap setiap orang. Hak jawab dan hak koreksi hanya berlaku bagi setiap orang yang telah dirugikan kepentingannya oleh pemberitaan pers, bukan oleh pernyataan seseorang, bukan wartawan yang dikutip oleh dalam pemberitaan pers.

Yang dilaporkan penulis kepada Bareskrim Polri adalah pernyataan/pendapat/ penilaian para terlapor terhadap nama baik dan harkat martabat penulis terkait calon pansel KPK. Padahal, penulis sendiri tidak pernah tahu atau dihubungi untuk dicalonkan pemerintah serta tidak ada klarifikasi para terlapor atas informasi pencalonan tersebut kepada penulis sebagai pelapor.

Fakta tersebut memberikan petunjuk awal bahwa laporan pengaduan pencemaran nama baik penulis oleh para terlapor tidak ada relevansi dan keterkaitannya dengan UU Pers 1999 in casu fungsi Dewan Pers yang hanya menjaga dan mengawasi kode etik jurnalis dan memberikan pertimbangan jika terjadi sengketa atas pemberitaan pers. Subjek hukum UU Pers 1999 adalah jurnalis dan perusahaan pers; objek hukum UU Pers 1999 adalah pemberitaan pers. Emerson dan Adnan bukan subjek hukum UU Pers, termasuk Said Z Abidin.

Merujuk perkembangan terakhir terkait pelaporan penulis tersebut ke Bareskrim, jelas bahwa kini pemberitaan pers dan opini yang berkembang tengah diarahkan untuk “menggagalkan” harapan penulis, seorang warga negara Indonesia memperoleh keadilan sesuai dengan sistem hukum yang berlaku dalam ketatanegaraan RI di bawah UUD 1945. Upaya penggagalan tersebut dilakukan dengan mengatasnamakan kebebasan berdemokrasi sebagaimana tercantum dalam berita Kompas 27 Juli 2015: “Penggunaan delik defamasi untuk menjerat para penggiat antikorupsi merupakan ancaman baru bagi demokrasi di Indonesia”.

Dengan kata lain, upaya penulis untuk memperoleh keadilan yang dijamin oleh UUD 1945 dinilai dan “dihakimi” sebagai ancaman terhadap demokrasi dan khususnya terhadap kebebasan berekspresi dan bertukar pendapat. Tulisan wartawan Kompas 27 Juli 2015 jelas telah dengan sengaja dan direncanakan untuk “membenturkan/mengonflikkan” penulis dengan dunia pers dan sistem demokrasi menurut pandangan jurnalis. Pernyataan tersebut amat keliru dan menyesatkan sekaligus merupakan “pembunuhan karakter” yang telah menyimpang dari kode etik jurnalistik.

Namun, penulis tidak akan mempersoalkannya, tetapi tetap fokus pada kelanjutan proses pengaduan penulis atas pencemaran nama baik yang telah dilakukan oleh Emerson Yuntho, Adnan Topan Husodo, dan Said Z Abidin. Yang penting diketahui publik bahwa antara penulis dan pihak terlapor tidak ada pertukaran pendapat dan yang terjadi bahwa terlapor membuat pernyataan sepihak yang telah “menista” pelapor di muka umum.

Pernyataan terlapor telah bertentangan dengan asas dan tujuan (Pasal 3, Pasal 4 jo Pasal 6 jo Pasal 1 angka 1) UU RI Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Hukum (UU KMPU 1998) bahwa penyampaian pendapat di muka umum wajib dan bertanggung jawab untuk a.l. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan moral yang berlaku umum, dan menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam artikel Agus Sudibyo dan berita Kompas tanggal 27Juli 2015, UU KMPU 1998 tidak pernah dikutip dan dibahas UU KMPU 1998 secara rinci karena sesungguhnya di dalam UU tersebut tercermin spirit dan jiwa kebebasan menyampaikan ekspresi dan berpendapat. Berita Kompas 27 Juli 2015 juga telah menempatkan posisi penulis berhadapan dan berlawanan dengan penggiat antikorupsi. Berita tersebut provokatif dan sangat berlebihan serta naif karena penulis yang telah berpengalaman lebih dari sepuluh tahun berjuang menyusun strategi perundang-undangan antikorupsi di Indonesia dan pada level internasional sebagai expert UNDOC untuk UNCAC dan ikut serta menyusun “International Implementing Guide for the UNCAC”, serta penulis satu-satunya ahli hukum yang mewakili Indonesia pada forum ahli tersebut. Tuduhan tersebut jelas telah mendiskreditkan penulis di hadapan masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional.

Laporan pengaduan pencemaran nama baik ke Bareskrim Polri tengah berproses dan tidak ada alasan untuk menunda pemeriksaan terlapor sampai tuntas dengan alasan menunggu keputusan Dewan Pers. Jika Bareskrim tidak menindaklanjuti laporan pengaduan pencemaran nama baik tanpa bukti hukum yang jelas dan kuat, ada ancaman pidana pelanggaran Pasal 216 KUHP dan ancaman pidana yang sama juga bagi pihak-pihak yang menggagalkan proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum tidak terkecuali.

Pertimbangan Dewan Pers terkait permohonan para terlapor tidak bersifat pro-justisia dan hanya didasarkan pada bentuk MoU yang tidak mengikat secara hukum dan Bareskrim Polri dapat menindaklanjuti laporan pengaduan pencemaran nama baik penulis berdasarkan KUHP sampai tuntas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar