Memahami Kesepakatan Nuklir Iran
Dian Wirengjurit ;
Duta Besar RI
untuk Republik Islam Iran
|
KOMPAS,
19 Agustus 2015
Kesepakatan Joint Comprehensive
Plan of Action (JCPOA) di antara negara-negara P5+1 (versi AS) atau E3/EU3+3
(versi UE) dan Iran yang dicapai di Wina, Austria, 14 Juli lalu, memang
historis.
Setelah pertemuan maraton 19 hari
yang dihadiri ke-7 Menlu plus Kepala Hubungan Luar Negeri Uni Eropa (UE),
upaya menembus kebuntuan 12 tahun pun berakhir. Banyak yang menyatakan
keberhasilan itu salah satu capaian di bidang pengawasan persenjataan dan
diplomasi yang langka. Banyak pula yang menilai sebagai keberhasilan apa yang
disebut Thomas Friedman sebagai Obama Doctrine, yaitu ”a common denominator”
kebijakan AS untuk membebaskan Myanmar, Kuba, dan Iran dari isolasi yang
berlarut-larut.
Sayangnya, hingga saat ini masih
banyak kalangan—pebisnis khususnya—yang kurang memahami Kesepakatan Wina ini.
Pertama, mereka menganggap dengan perjanjian ini, isu nuklir Iran telah
selesai. Kedua, sanksi ekonomi pun otomatis berakhir, dalam arti perdagangan
dan transaksi perbankan dengan Iran sudah diperbolehkan.
Padahal, selama bertahun-tahun
negosiasi mengenai hal ini bagaikan membahas ”ayam dan telur”. P5+1
menghendaki program nuklir diselesaikan lebih dulu baru sanksi dicabut,
sedangkan Iran menghendaki sebaliknya. Sementara kompromi realistis bahwa
masalah ini diselesaikan secara bertahap tadinya seakan ”ditabukan”.
Banyak yang masih tidak memahami
bahwa inti dari masalah ini adalah program nuklir Iran yang dicurigai
bertujuan militer untuk membuat senjata nuklir sehingga sanksi ekonomi
diberlakukan. Dengan demikian, solusinya juga sudah sepantasnya didahului
dengan penyelesaian isu nuklir, baru kemudian diikuti dengan pencabutan
sanksi. Bukan sebaliknya! Oleh karena itu, tidak aneh pula kalau Iran berada
dalam posisi yang dependen atau kurang diuntungkan dan Barat dalam posisi
independen.
Bahwa dinilai perjanjian ini sudah
langsung bisa diimplementasikan, jelas tidak benar karena perjanjian ini
harus melalui lima tahap. Pertama, tahap finalisation day, yaitu ketika
perjanjian ini disepakati dan disampaikan ke Dewan Keamanan (DK) PBB. Kedua,
adoption day, yaitu 90 hari setelah disahkan oleh DK PBB yang menandai mulai
berlakunya JCPOA ini dan semua partisipan mulai menyiapkan langkah-langkah
untuk memenuhi komitmennya.
Ketiga, implementation day, yaitu
di mana Iran harus melaksanakan kewajiban yang disyaratkan dan diverifikasi
IAEA, sementara UE dan AS akan mulai menyusun pengurangan sanksinya. Keempat,
transition day, yang dapat terjadi delapan tahun setelah adoption day atau
pada saat Dirjen IAEA telah menyimpulkan bahwa program nuklir Iran memang
bertujuan damai.
Kelima, termination day, yang
dapat disahkan oleh DK PBB 10 tahun sejak adoption day, sejauh Iran memenuhi
semua kewajibannya dan tidak ada sanksi yang diberlakukan kembali. Sejak saat
itu pula isu nuklir Iran akan dihapus dari agenda PBB.
Perlu
jadi bahan rujukan
Tahap implementation day inilah
yang sebenarnya perlu dijadikan rujukan dalam konteks kesepakatan Wina ini.
Keseluruhan tahapan implementasi ini dapat memakan waktu delapan tahun, mulai
dari modifikasi fasilitas nuklir, penurunan kapasitas pengayaan uranium,
pengurangan jumlah sentrifugal, sampai pembuktian transparansi dan pengakuan
terhadap Protokol Tambahan IAEA.
Dalam tahap inilah Iran harus
memenuhi kewajiban-kewajibannya, dengan imbalan sanksi akan dicabut secara
bertahap sesuai progresnya. Seperti dikatakan Presiden Obama, ”This relief will be phased in. Iran must
complete key nuclear steps before it begins to receive sanctions relief.”
Selain itu, ditegaskan pula bahwa ”this
deal is not built on trust, but on verification”. Karena itu, apabila
Iran dinilai ingkar akan kewajibannya, sanksi akan segera diberlakukan
kembali.
Sebagaimana diketahui, sanksi yang
diberlakukan selama ini praktis telah melumpuhkan ekonomi Iran, yang
sebenarnya memiliki potensi besar di bidang migas, petrokimia, dan teknologi.
Sanksi yang berkepanjangan ini mencakup berbagai elemen penting, seperti perdagangan,
keuangan, perbankan, asuransi, investasi, transportasi, otomotif, dan
ekspor-impor.
Meskipun dikatakan komprehensif,
kesepakatan ini juga disertai beberapa catatan. Pertama, sanksi AS terhadap
Iran dalam kaitan hak asasi manusia (HAM), misil, dan terorisme masih tetap
berlaku. Kedua, bagi Iran, isu Possible Military Dimension dinilai berada di
luar kesepakatan ini. Ketiga, kesepakatan ini hanya menyangkut isu nuklir
Iran, sementara Ayatullah Ali Khamenei secara tegas telah menyatakan
kebijakan Iran terhadap AS tidak akan berubah.
Khusus mengenai sanksi, meskipun
lebih memahami, secara umum kalangan dunia usaha di AS dan Eropa bersikap
wait and see. Jalan ke arah dicabutnya sanksi secara tuntas jelas masih
panjang. Ke depan, kesungguhan untuk mengimplementasikan kewajiban
masing-masing pihak akan menjadi sangat krusial. Sebab, kesepakatan ini bukan
berarti sikap menyerah seperti Jepang terhadap AS dalam Perang Dunia II atau
posisi simetris seperti AS dan Uni Soviet dalam Perang Dingin.
Sementara di Indonesia, pemahaman
ini dapat dikatakan masih rendah. Banyak yang menilai bahwa kini bisnis
dengan Iran sudah ”aman” dilakukan. Pandangan semacam ini jelas tidak
sepenuhnya salah meskipun peluang bisnis dengan Iran sebenarnya tetap terbuka
selama sanksi diberlakukan.
Masalahnya, kalau pebisnis
Indonesia baru akan masuk ke Iran setelah sanksi secara resmi dicabut, kita
akan ”ketinggalan kereta”. Karena itu diperlukan kebijakan pemerintah yang
jelas, keberanian, kegigihan, kreativitas, tetapi disertai kehati-hatian agar
kita tetap bisa ”masuk” saat ini, agar pada waktunya kita sudah memiliki
landasan yang solid di Iran; negara yang sebenarnya banyak berharap dari
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar