Memahami Islam Nusantara
Husein Ja'far Al Hadar ;
Penulis
|
KORAN
TEMPO, 06 Agustus 2015
Islam Nusantara yang sebenarnya
secara praktis telah ada sejak Islam awal di Indonesia, kian harus muncul ke
permukaan sebagai sebuah konsep untuk merespons besar dan kuatnya ancaman
terhadap Islam di Indonesia, berupa kecenderungan keberislaman yang jumud (terbelakang) dan takfir (gemar mengkafirkan yang
berbeda). Namun, di samping itu, ini juga peluang bagi Islam Nusantara untuk
menjadi kiblat bagi Islam dunia yang tengah dirundung krisis ekstremisme,
dengan tawaran keberislaman yang moderat, toleran, dan sadar kebudayaan.
Itulah peran yang kian ingin dipegang oleh Nahdlatul Ulama (NU) dengan
menjadikan Muktamar NU ke-33 pada 1 Agustus ini sebagai titik tolaknya.
Konseptualisasi Islam Nusantara
itu harus berhadapan dengan tantangan besar. Sebab, pengonsepan secara rigid
bisa justru menjebaknya dalam kekakuan, yang itu artinya paradoks dengan
karakter dasarnya yang dinamis. Bahkan, ia adalah sebuah "proses" (becoming) yang tak pernah usai seiring
dengan pergerakan ruang dan waktu yang melingkupinya dalam ke-Nusantara-annya.
Atau bisa jadi upaya konseptualisasi itu mereduksinya, bahkan menjebaknya
menjadi semacam mazhab atau golongan yang sebenarnya serta bertentangan
dengan karakternya, yang justru menaungi seluruh wajah dalam Islam di
Indonesia.
Terkait dengan hal itu, ada
kesalahpahaman yang patut diluruskan karena rentan membuat Islam Nusantara
seolah-seolah tercerabut dari nilai-nilai dasar Islam dan hanya mementingkan
identitas kebudayaannya.
Pertama, kesalahpahaman yang
menilai keberadaan Islam Nusantara berarti menyalahi prinsip "Islam yang
satu". Padahal, sejatinya Islam Nusantara adalah Islam yang satu itu
sendiri, sebagaimana Islam di Arab yang dibawa Nabi. Hanya, ketika ia dibawa
ke Indonesia, budaya Arab yang melingkupinya digantikan dengan budaya
Indonesia yang akan menjadi konteks barunya di sini.
Hal itu dilakukan tentu bukan
karena kita anti-Arab, melainkan agar Islam bisa sesuai dengan konteks
Indonesia, sebagaimana Nabi menyesuaikan Islam dengan budaya Arab saat
pertama kali turun dulu. Nabi memberikan kita gandum dan kita olah menjadi
roti agar sesuai dengan cita rasa Indonesia.
Islam Nusantara bahkan bukan hanya
berangkat dari kesatuan, tapi juga bervisi persatuan. Ia hendak menegaskan
bahwa Islam yang satu berarti persatuan (ukhuwah)
di bawah bendera Islam dengan merangkul seluruh perbedaan pandangan,
tafsiran, dan mazhab yang ada di dalam Islam itu sendiri.
Kedua, kesalahpahaman bahwa Islam
Nusantara keluar dari konsep Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan
dipraktekkan Nabi. Tentu, jika yang dimaksud Islam murni sebagaimana
kesalahpahaman itu, Islam murni merupakan sebuah gagasan yang bukan hanya
utopis, tapi juga salah kaprah. Pasalnya, hal itu bertentangan dengan
sunnatullah dan prinsip dasar Islam yang bisa ditemui dalam QS Al Hujurat:
13.
Islam Nusantara sejatinya menjaga
prinsip Islam murni yang berasaskan pada Quran dan hadis. Ia menjadi fondasi
dan substansi Islam Nusantara. Adapun kreasi atau ijtihad dilakukan pada
tataran yang memang dibolehkan-bahkan diwajibkan-untuk itu, yakni pada
tatanan syariat ijtihadiyyat atau syariat yang sejatinya dinamis dan memang
seharusnya dikontekstualisasi dengan ruang dan zaman untuk menjunjung prinsip
rahmatan lil 'alamin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar