Kemerdekaan dan Persatuan
Azyumardi Azra ;
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta;
Penerima MIPI Awards 2014 untuk
Kategori Pemerhati Pemerintahan
dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia
|
KOMPAS,
18 Agustus 2015
Dalam pandangan pengamat Barat
atau indonesianis, Indonesia adalah miracle, mukjizat atau keajaiban. Banyak
juga dari mereka menyebut Indonesia improbable
nation, (negara) bangsa yang tidak mungkin (bertahan). Bagi mereka,
pluralitas Indonesia membuat tidak mungkin Indonesia dalam persatuan dan
integrasi.
Sebut misalnya JS Furnivall, ahli
dan administrator asal Inggris yang dalam karyanya, Netherlands East Indies: A Study of Plural Economy (1944), memperkenalkan konsep
masyarakat plural dengan Indonesia jadi salah satu contoh paling
mencengangkan. Menurut dia, masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri
atas dua unsur atau lebih tatanan sosial yang hidup berdampingan, tapi tanpa
bercampur dalam satu unit politik.
Bagi Furnivall, keadaan ini
memburuk di Hindia Belanda menjelang Perang Dunia II karena pembagian kerja
seperti kasta dengan kelompok etnis-agama memainkan peran ekonomi berbeda.
”Inilah ’segregasi sosial’ yang menghasilkan karakter politik paling tidak
terselesaikan, yaitu kurangnya kemauan politik bersama,” tulis Furnivall.
Dengan keadaan itu, menurut dia,
jika formula politik ’federalis’ gagal dirumuskan, pluralitas Indonesia
berujung pada anarki mengerikan. Namun, doomed scenario Furnivall,
alhamdulillah, tidak jadi kenyataan. Setelah Perang Dunia II, Hindia Belanda
menjadi Indonesia merdeka. Kebangkitan sentimen etnoreligius dari waktu ke
waktu di negeri ini gagal memecah belah Indonesia.
Furnivall boleh jadi terlalu
pesimistis dan agaknya tidak melihat ada sejumlah faktor pemersatu di tengah
pluralisme negeri ini. Namun, berbagai masalah yang mengancam persatuan dan
integrasi Indonesia juga selalu muncul dari waktu ke waktu.
Indonesia telah 70 tahun menempuh
kemerdekaan, melawan banyak kesulitan dan ketidakmungkinan, halangan dan
rintangan. Akan tetapi, kecemasan terhadap masa depan Indonesia bersatu di
tengah pluralitas tetap bertahan di kalangan pengamat dan banyak warga karena
melihat peningkatan problem ekonomi, politik, dan sosial budaya.
Dalam konteks itu terlihat
signifikansi sejumlah poin yang dikemukakan Presiden Joko Widodo dalam pidato
tahunan, pidato kenegaraan dalam rangka HUT Ke-70 Proklamasi Kemerdekaan RI,
dan pidato penyampaian keterangan pemerintah atas RUU APBN 2016. Presiden,
misalnya, menyatakan, kunci mengatasi (berbagai) persoalan itu adalah
persatuan. ”Sejarah telah mengajarkan kepada kita, kunci untuk mengatasi
(berbagai) persoalan tersebut adalah persatuan.”
Sayang, Presiden tidak memberikan
kerangka konseptual, visioner, dan praksis bagaimana persatuan itu dapat
diperkuat. Presiden hampir tidak menyinggung faktor fundamental yang membuat
negara-bangsa Indonesia ini tetap bersatu.
Menurut analisis diksi tiga pidato
Presiden menjelang peringatan 70 tahun proklamasi kemerdekaan, Presiden
menyebut UUD 1945 hanya dua kali, NKRI dan Pancasila masing-masing satu kali,
dan sama sekali absen menyebut Bhinneka Tunggal Ika atau kemajemukan dan
keragaman Indonesia yang diikat persatuan dan kesatuan (Kompas, 15/8, halaman
5).
Presiden lebih banyak bicara
tentang kemerosotan keadaban publik. Ia menyebut, sikap saling menghargai dan
tenggang rasa dalam masyarakat dan institusi resmi, mulai dari lembaga
penegak hukum, ormas, media massa, hingga partai politik, terus merosot.
Menurut Presiden, keadaan itu
membuat Indonesia terjebak dalam lingkaran ego masing-masing yang akhirnya
merugikan pembangunan, budaya kerja, dan karakter bangsa. ”Tanpa kesantunan
politik, tata krama hukum dan ketatanegaraan, serta kedisiplinan ekonomi,
kita akan kehilangan optimisme dan lamban mengatasi persoalan lain, termasuk
tantangan ekonomi,” ujar Presiden.
Melalui ketiga pidatonya, Presiden
mendorong kebangkitan kembali optimisme dengan kembali ke dasar fundamental
ekonomi dan sosial bangsa Indonesia yang—menurut dia—masih kokoh.
Optimisme Presiden Jokowi perlu
diapresiasi. Masalahnya, sejauh mana optimisme memiliki dasar dan alasan
kuat? Jangan-jangan optimisme itu hanya ibarat ”menggantang asap”.
Hal ini terlihat dari komentar
kalangan ahli dan pengamat yang menilai optimisme Presiden berlebihan. Itu
berdasarkan kenyataan masih lambatnya kementerian dan lembaga (K/L) menyerap
anggaran untuk realisasi pembangunan. Sampai akhir Juli 2015, penyerapan
anggaran baru 32,8 persen dari yang ditargetkan APBN-P.
Sampai Presiden menyampaikan
ketiga pidatonya, belum terlihat terobosan dari K/L yang memungkinkan
akselerasi perbaikan keadaan ekonomi Indonesia yang disebut Presiden bakal
menemukan momentum menjelang akhir tahun.
Oleh karena itu, sambil tetap
berusaha keras dan berdoa agar keadaan Indonesia secara keseluruhan kembali
membaik seperti optimisme Presiden, warga perlu meningkatkan kembali keadaban
publik. Nilai dan perilaku semacam kesantunan, tata krama, dan solidaritas
dapat mencegah Indonesia dalam doomed
scenario seperti dikhawatirkan pengamat asing semacam Furnivall. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar