Islam Indonesia Berkelanjutan
Azyumardi Azra ;
Guru Besar UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta;
Ketua Asian Muslim Action Network
(AMAN), Bangkok, Thailand
|
KOMPAS,
03 Agustus 2015
Bahwa Islam Indonesia dipandang kian banyak kalangan mancanegara
lebih memberikan harapan agaknya semakin sulit terbantahkan. Berbeda dengan
Islam Arab atau Islam Asia Selatan yang terus bergolak dalam konflik,
kekerasan dan perang, Islam Indonesia tetap damai. Ekstremisme dan
radikalisme yang terus meruyak di berbagai kawasan dunia Muslim lain tidak
menjadi gejala signifikan di Indonesia.
Oleh karena itu, tidak heran jika hal ini menjadi
pemikiran Perdana Menteri Inggris David Cameron. Dalam kunjungan ke Jakarta,
berdialog dengan lima figur Islam Indonesia (Ketua Umum PP Muhammadiyah Din
Syamsuddin, tokoh NU Alwi Shihab, Direktur Eksekutif Wahid Institute Yenny
Wahid, Ketua Pengurus Masjid Sunda Kelapa Aksa Mahmud, dan penulis artikel
ini), Cameron menyatakan ingin mempelajari kenapa Islam Indonesia menolak ekstremisme
dan radikalisme.
PM Cameron menyebut, dari 255 juta
penduduk Indonesia, ada sekitar 500 orang yang ikut Negara Islam di Irak dan
Suriah (NIIS). ”Sementara Inggris yang memiliki hanya sekitar 2,5 juta
Muslim, lebih dari 1.000 orang bergabung dengan NIIS. Apa kunci keberhasilan
Indonesia mengatasi paham (dan gerakan) radikalisme; meredam meluasnya
pengaruh dan keterlibatan warga Indonesia dengan paham NIIS?” (Kompas, 29/7/2015).
Islam Nusantara, Islam Indonesia
Tak ragu lagi, salah satu kunci utama keberhasilan itu
adalah eksistensi dan hegemoni ormas-ormas Islam wasathiyah (”jalan tengah”)
yang tersebar di seluruh Indonesia. Dua ormas Islam Indonesia terbesar,
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, kini sedang melaksanakan hajatan
besar; NU dengan muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur (1/8/2015), dan
Muhammadiyah dengan muktamar ke-47 di Makassar (3/8/2015). Muktamar NU dan
Muhammadiyah tak lain merupakan momentum penguatan Islam wasathiyah untuk
Islam berkemajuan dengan peradaban Islam rahmatan
lil ’alamin—rahmat bagi alam semesta.
Islam wasathiyah yang jadi paradigma dan praksis pokok
Muhammadiyah dan NU telah menjadi tradisi panjang Islam Nusantara. Istilah
”Islam Nusantara” dalam dunia akademis mengacu kepada ”Southeast Asian Islam”
yang terdapat di wilayah Muslim Indonesia, Malaysia, Brunei, Patani (Thailand
selatan), dan Mindanau (Filipina selatan).
Wilayah Islam Nusantara dalam literatur prakolonial
disebut ”negeri bawah angin” (lands below the wind). Lebih spesifik dalam
literatur Arab sejak akhir abad ke-16, kawasan Islam Nusantara disebut ”bilad
al-Jawi”, negeri ”Muslim Jawi”—yaitu Asia Tenggara. Umat Muslimin Nusantara
biasa disebut sebagai ”ashab al-Jawiyyin” atau ”jama’ah al-Jawiyyin”.
Wilayah Islam Nusantara atau bilad al-Jawiyyin adalah
salah satu dari delapan ranah religio-cultural Islam. Tujuh ranah
agama-budaya Islam lain adalah Arab, Persia/Iran, Turki, Anak Benua India,
Sino-Islamic, Afrika Hitam, dan Dunia Barat. Meski memegangi prinsip pokok
dan ajaran yang sama dalam akidah dan ibadah, setiap ranah memiliki karakter
keagamaan dan budayanya sendiri.
Validitas Islam Nusantara tidak hanya secara
geografis-kultural. Keabsahannya juga pada ortodoksi Islam Nusantara yang
terdiri atas teologi Asy’ariyah, fikih Syafi’i, dan tasawuf Al-Ghazali.
Kepaduan ketiga unsur ortodoksi ini membuat Islam Nusantara jadi wasathiyah;
teologi Asy’ariyah menekankan sikap moderasi antara wahyu dan akal, fikih
Syafi’i bergandengan dengan tasawuf amali/akhlaqi membuat ekspresi Islam jadi
inklusif dan toleran.
Ortodoksi Islam Nusantara dengan kepaduan ketiga unsur
tersebut terbentuk menjadi tradisi yang terkonsolidasi, mapan dan dominan
sejak abad ke-17, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah ahlus sunnah
wal-jamaah (Sunni). Meski praktis hampir seluruh Muslim Indonesia adalah
pengikut ahlus sunnah wal-jamaah,
terdapat perbedaan tekanan. NU dengan penekanan pada tradisi ulama menyebut
diri pengikut ”Aswaja”; istilah ini kemudian jadi brand name NU. Sementara
Muhammadiyah sebagai pengikut ahlus
sunnah wal-jamaah lebih menekankan pada aspek modernisme-reformisme dan
ijtihad.
Pasca Perang Dunia II, baik secara istilah maupun
substansi, Islam Nusantara agaknya hanya valid untuk Indonesia. Islam
Nusantara kini harus dipahami sebagai Islam Indonesia. Perbedaan posisi dan
hubungan Islam dengan negara dan politik membuat ekspresi Islam di
negara-negara Asia Tenggara menjadi berbeda; apakah tetap inklusif atau malah
menjadi eksklusif, misalnya.
Dalam konteks itu, Islam tidak menjadi agama resmi atau
agama negara di Indonesia. Oleh karena itu, Islam Indonesia bukan menjadi
bagian dari politik dan kekuasaan. Sementara di Malaysia, Islam menjadi agama
resmi negara dan karena itu ia menjadi bagian integral kekuasaan.
Karena itu, di Malaysia, hanya Islam yang boleh disiarkan
di ranah publik dan bahkan nama ”Allah” hanya boleh digunakan kaum Muslim.
Sementara di Indonesia semua agama dapat tampil di ranah publik dan, selain
kaum Muslimin, umat Kristiani juga memakai ”Allah” untuk menyebut Tuhan.
Berkemajuan bagi peradaban
Islam Indonesia, seperti diwakili antara lain oleh NU dan
Muhammadiyah, memiliki hampir seluruh potensi untuk berkemajuan guna
mewujudkan peradaban rahmatan lil alamin. Modal terbesar untuk berkemajuan
adalah sifat dan karakter ormas-ormas Islam yang independen vis-a-vis negara
dan kekuasaan. Mereka punya tradisi tak tergantung pada—apalagi menjadi—alat
kekuasaan dengan membiayai dan mengatur diri sendiri.
Modal besar lain adalah kekayaan dan keragaman lembaga
yang dimiliki NU dan Muhammadiyah mulai dari masjid dan mushala, sekolah,
madrasah, pesantren, perguruantinggi, rumah sakit dan klinik, panti
penyantunan sosial, koperasi, hingga usaha ekonomi lain. Tak ada bagian dunia
Muslim lain yang memiliki ormas dengan karakter dan kekayaan lembaga seperti
Muhammadiyah dan NU.
Banyak kalangan asing sejak akhir 1980-an, semisal Fazlur
Rahman, Guru Besar Universitas Chicago, AS, melihat potensi besar Islam
Indonesia untuk berdiri terdepan memajukan peradaban Islam global. Dengan
peradaban Islam wasathiyah, Islam Indonesia dapat memberikan kontribusi bagi
peradaban dunia lebih damai danharmonis.
Harapan semacam itu pada Islam Indonesia kian meningkat di
tengah berlanjutnya konflik di negara-negara Muslim di dunia Arab, Asia
Selatan, Asia Barat, dan Afrika. Untuk itu, NU dan Muhammadiyah beserta
ormas-omas Islam wasathiyah lain tidak hanya perlu meningkatkan pemikiran dan
amal usaha di dalam negeri, tetapi juga mesti lebih ekspansif menyebarkan
Islam wasathiyah ke mancanegara. Dengan begitu, Islam Indonesia dapat berdiri
paling depan dalam mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar