HAM
dan Keadilan Transisional
Artidjo Alkostar ; Hakim
Agung/Ketua Kamar Pidana Mahkamah
Agung;
Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta
|
KOMPAS,
30 Juli 2015
Sudah menjadi hukum sejarah bahwa setiap terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia, genosida,
kejahatan perang, pergantian rezim kekuasaan otoriter menjadi pemerintahan
yang demokratis melalui revolusi atau reformasi selalu muncul permasalahan
krisis kemanusiaan dan keadilan.
Koeksistensi kekuasaan otoriter dengan korupsi politik
menuntut adanya tindakan apa saja yang dapat memproteksi kelangsungan
kekuasaan politik yang korup dan konglomerasi ekonomi yang mendukungnya.
Segala upaya untuk mempertahankan kekuasaan otoritarian berkelanjutan
senantiasa berkorelasi dengan harga diri penguasa, loyalitas para pendukung,
dan aset sosial ekonominya sehingga tindakan melanggar hak asasi manusia
(HAM) oleh penguasa otoriter dengan berbagai corak dan variasinya akan
menjadi jalan yang tidak bisa dielakkan.
Konsekuensi logisnya, turbulensi kejahatan HAM yang
terjadi menjadi masalah hukum dan kemanusiaan yang kompleks. Kejahatan berat
HAM merupakan musuh seluruh umat manusia (hostis
hominis generis) sehingga menjadi tanggung jawab bersama (erga omnes obligation) bagi rakyat,
negara, dan masyarakat beradab internasional. Kejahatan berat HAM merupakan
krisis martabat kemanusiaan yang merobek nurani kemanusiaan bangsa manusia,
bukan hanya bangsa Jerman, Jepang, Amerika Latin, Serbia, Afrika Selatan,
Indonesia, Kamboja, dan lainnya.
Utang sejarah
Kejahatan berat HAM selalu menjadi mendung dan sisi gelap
perjalanan bangsa. Memori kolektif masyarakat internasional dapat muncul dan
mengasosiasikan kejahatan HAM oleh Hitler dengan Jerman, jugun ianfu dengan Jepang, genosida antara Tutsi versus Hutu di
Rwanda, Serbia versus Herzegovina di bekas Yugoslavia, apartheid di Afrika
Selatan, pembunuhan massal di Kamboja, dan lain sejenisnya. Untuk itu, utang sejarah dalam krisis
kemanusiaan harus diselesaikan melalui keadilan transisional (transitional justice). Dalam upaya
realisasi keadilan transisional selalu ada dua lembaga kembar yang lahir,
yaitu Pengadilan HAM Ad Hoc atau tribunal dan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) atau Truth and
Reconciliation Commission (TRC).
Harus dicatat bahwa hubungan dua lembaga kembar tersebut
bersifat pelengkap (complement),
bukan pengganti (substitute). Dengan demikian, proses hukum di Pengadilan
HAM Ad Hoc tidak menegasikan proses rekonsiliasi dan sebaliknya. Sebenarnya
negara kita Indonesia telah pernah memiliki UU No 27 Tahun 2004 tentang KKR
(Kompas, 18/5/2015), tetapi ironisnya undang-undang tersebut dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi.
Pada Pengadilan Ad Hoc Nuremberg Tribunal yang mengadili
petinggi Nazi, Tokyo Tribunal, International
Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY), International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dan sesudahnya,
tanggung jawab berada pada individu pelaku, bukan pada negara seperti yang
berlaku sebelumnya. Jika tanggung jawab dibebankan kepada negara, akan
terjadi impunity (kebebasan dari hukuman) para pelaku kejahatan HAM. Dengan
demikian, jelas bahwa tanggung jawab yuridis kasus HAM masa lalu ada di pundak individu pelaku, bukan pada
negara.
Mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) menjadi salah satu instrumen penyelesaian
kasus HAM masa lalu. Untuk itu,
diperlukan mediator andal dan kompeten dalam memproses mediasi penal.
Mediator harus terjun langsung berkomunikasi dengan para korban dan pelaku
tanpa melalui perantara. Mediator dituntut memiliki dasar keilmuan, seperti
psikologi, komunikasi, dan lain sejenisnya, sehingga bukan hanya sekadar
tukang protes atau pengeluh yang kronis atau orang yang tak representatif
mengatasnamakan korban. Predikat Indonesia sebagai bangsa yang besar harus
dijawab dalam kemampuan menyelesaikan kasus HAM masa lalu yang dihadapi
pemerintahan saat ini. Kejahatan HAM membuat kita, bangsa Indonesia, yang
memiliki nurani keadilan menjadi malu. Beban sejarah kasus HAM masa lalu
mencederai predikat negara berkeadaban
dan berperikemanusiaan.
Penyelenggaraan Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan upaya
pencerahan atas sisi gelap perjalanan bangsa agar pembangunan negara tidak
tersandera oleh masa lalu. Penyelesaian kejahatan HAM yang berkualifikasi
most serious crimes melalui penuntutan ke pengadilan sering mengalami
keterbatasan untuk mewujudkan keadilan. Namun, hal itu harus tetap
dilaksanakan untuk menegakkan martabat bangsa. Belajar dari apa yang telah
dilaksanakan di Afrika Selatan, Amerika Latin, Sierra Leone, Kamboja, dan
lain sejenisnya, negara kita Indonesia dituntut untuk mencerahkan mendung
kasus HAM masa lalu. Untuk itu, kelahiran Pengadilan HAM Ad Hoc biasanya yang
memberlakukan ex post facto law
atau hukum yang bersifat retroaktif, harus dipahami secara kolektif bahwa
keadilan transisional adalah demi keadilan dan kemanusiaan, bukan legalistik
semata.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Keberadaan TRC ditujukan untuk mewujudkan restorative justice atau total justice
guna membangun kembali ekuilibrium metafisik dan relasi sosial kehidupan korban
kejahatan HAM dan/atau keluarganya, lingkungan masyarakatnya, para pemangku
kepentingan, juga pelaku kejahatan. Dengan adanya upaya restoratif tersebut,
gairah kehidupan sosial akan berpendar kembali dan dapat membangun
peradabannya.
Secara konstitusional dan yuridis negara Indonesia terikat
untuk mematuhi ketentuan tentang HAM. Di samping telah dengan tegas jaminan
perlindungan HAM dalam Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab,
dan UUD 1945 dengan amandemennya, juga ada UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM,
UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengadopsi Statuta Roma, dan
konvensi internasional lain.
Negara Indonesia juga telah meratifikasi International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR) atau kovenan hak-hak sipil dan politik dengan UU
No 12 Tahun 2005 yang dalam Pasal 2 Ayat (3)a menentukan: setiap negara pihak
kovenan ini berjanji: a) untuk menjamin bahwa setiap orang yang hak-haknya
atau kebebasan-kebebasannya yang diakui kovenan ini dilanggar harus
memperoleh ganti rugi yang efektif meskipun pelanggaran dilakukan oleh
orang-orang yang memegang jabatan resmi.
Penyelesaian perkara HAM melalui jalur prosekutorial
menuntut adanya pemenuhan prosedur hukum acara, mulai dari penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan proses di pengadilan tingkat pertama, banding,
kasasi, dan peninjauan kembali. Dengan demikian, penyelesaian perkara pidana
atau kejahatan HAM melalui KKR merupakan konsekuensi etis dari adanya
keterbatasan hukum per se. Dari banyak faktor yang memberi kontribusi
adanya keterbatasan hukum, terutama dalam penegakan hukum HAM, masalah
political will menjadi determinan.
Apalagi dalam konteks proses peradilan HAM ad hoc di
Indonesia yang menuntut adanya ketersediaan profesionalisme para penegak
hukum, baik penyidik, penuntut umum, hakim, maupun penasihat hukum. Dalam hubungan ini belum ada yang membantah
secara resmi buku Prof David Cohen tentang
Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia yang menyatakan Intended To Fail yang intinya menyatakan Pengadilan
Ad Hoc dalam kasus Timor Timur gagal.
Secara yuridis, pengadilan HAM adalah pengadilan khusus
terhadap pelanggaran berat terhadap HAM. Pelakunya adalah setiap orang yang
mencakup pengertian orang perorangan, kelompok orang, baik sipil, militer,
maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual. Dalam praktik sering
timbul perbedaan penafsiran terhadap penerapan Pasal 42 UU No 26 Tahun 2000
tentang pertanggungjawaban komando atau atasan. Dengan demikian, timbul
perbedaan tafsir karena ada yang menyatakan, untuk mengadili dan menyatakan
bersalah seorang komandan atau atasan, harus ada bawahan dulu yang diadili
dan dinyatakan bersalah, sedangkan pendapat lain menyatakan tak perlu harus
ada bawahan dulu yang dipidana.
Sebagai orang yang ikut mengadili kasus-kasus pelanggaran
HAM yang berat di tingkat kasasi dalam kasus Timor Timur dan Tanjung Priok,
saya merasakan adanya keterbatasan hukum untuk mencapai keadilan substantif
dalam proses pengadilan. Selain faktor keterbatasan bunyi teks pasal aturan
hukum, proses pengadilan tak lepas dari ideologi atau sistem nilai yang
dimiliki para penegak hukum.
Penegakan hukum kasus HAM sejatinya merupakan pencerahan
terhadap sisi gelap perjalanan peradaban bangsa suatu negara dan peradaban
bangsa manusia. Untuk itu, diperlukan
adanya kesadaran kolektif dari stakeholder agar penegakan hukum
melalui Pengadilan Ad Hoc dapat berproses secara independen di samping upaya
non-penal demi tegaknya martabat bangsa manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar