Gagasan Kebangsaan NU
Anna Luthfie ;
Alumni Pondok Pesantren Al-Amin Gaprang Blitar
|
KORAN
SINDO, 31 Juli 2015
Nahdlatul Ulama (NU) dan gagasan tentang kebangsaan
bagaikan dua keping mata uang yang tidak terpisahkan. Bagaimana tidak, NU
lahir sebagai upaya merajut kepentingan umat yang tetap tidak terpisahkan
dari kepentingan kebangsaan. Dari mulai era prakemerdekaan sampai era digital
saat ini komitmen kebangsaan tetap melekat dalam organisasi kemasyarakatan
terbesar tersebut. Sumbangsih NU dalam merajut nilai-nilai kebangsaan tentu
telah tercatat dengan apik dan rapi di dalam sejarah negeri ini, meskipun
kemudian di sejarah perjalanan Orde Baru NU seakan menjadi anak tiri yang
terasingkan dalam proses sosial politik.
Namun, sejarah kebangsaan di negeri ini tidak bisa
mengingkari, bahwa NU adalah anak kandung dari kebangsaan itu sendiri. Untuk
itu, tema besar Islam Nusantara dalam Muktamar NU tahun ini mestinya tidak
dipandang sebagai gagasan baru. NU hanya berupaya meneguhkan kembali cita
kebangsaannya yang melekat sejak organisasi ini dilahirkan.
Bahkan, pada Muktamar tahun 1936 telah dibicarakan gagasan
terkait pendirian negara Indonesia di tengah masih kuatnya praktik
kolonialisme. Gagasan ini juga diperkuat dengan pembentukan gabungan politik
Indonesia sebagai embrio keparlemenan di Indonesia untuk mewadahi perjuangan
bangsa melalui mejameja perundingan politik. Tentu, yang paling fenomenal
dalam sejarah adalah Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH Hasyim Asyari pada
Oktober 1945.
Pendiri NU tersebut mengeluarkan fatwa bahwa mati syahid
bagi mereka yang tewas melawan tentara Sekutu. Fatwa ini memicu ribuan pemuda
dari seantero Jawa Timur saat itu untuk masuk ke Kota Surabaya dan
mempertahankan kota itu dengan melawan kembalinya Belanda setelah Jepang
hengkang. Ribuan santri pun turut berjuang melawan tentara NICA di bawah
pimpinan Brigjen AWS Mallaby.
Harun, salah satu santri pondok pesantren Tebuireng,
adalah penaruh bom di mobil Mallaby yang membuat pemimpin tentara sekutu
tersebut tewas. PBNU mengusulkan peristiwa tewasnya Harun pada 22 Oktober
sebagai Hari Santri. Usul ini merupakan upaya memberi tanda bagaimana
kontribusi santri dalam membangun kebangsaan melalui perjuangan yang
dilakukan Harun dan kawan-kawan santri lainnya di era perjuangan kemerdekaan.
Umat dan Bangsa
Resolusi jihad ini menjadi potret apa yang dipandang oleh
NU selama ini adalah demi kepentingan umat dan bangsa. Persoalan keumatan
adalah persoalan kebangsaan, demikian pula sebaliknya. Hal ini cukup mewarnai
gerak langkah NU. Di era Orde Baru, misalnya, pada Muktamar NU Ke-27 di
Situbondo tahun 1984, NU menghasilkan dua keputusan.
Pertama, menerima Pancasila sebagai satusatunya asas.
Kedua, mengembalikan NU menjadi organisasi sosial keagamaan sesuai dengan
Khittah NU 1926. Peneguhan pada Pancasila adalah sikap kebangsaan NU. Hal ini
kemudian diteguhkan kembali pada muktamar-muktamar berikutnya, sampai pada
tahun 1992, di tengah rapat akbar.
Di sini NU berkomitmen untuk meneguhkan kehidupan
kebangsaan dengan pelaksanaan UUD 1945 secara baik dan benar. Upaya
kebangsaan lainnya adalah dengan pembentukan Laskar Aswaja yang dilakukan untuk
merespons keresahan atas radikalisme berbasis agama sekaligus untuk
membentengi ideologi transnasional yang tidak sesuai dengan konteks
keindonesiaan dan menolak radikalisme berbasis agama. Hal ini adalah
contoh-contoh bagaimana komitmen NU dalam kebangsaan dan keumatan.
Islam Nusantara
Gagasan Islam Nusantara yang menjadi tema besar muktamar
NU tahun ini sebenarnya tidak lepas dari gagasan besar organisasi ini
terhadap nilainilai kebangsaan. Mengangkat tema Islam Nusantara adalah upaya
NU menguatkan kembali toleransi antarumat beragama yang akan berujung pada
kemaslahatan bersama, bagi umat, dan bagi bangsa.
Gagasan ini dipahami sebagai peneguhan sekaligus
mempromosikan Islam yang penuh toleransi kepada yang berbeda keyakinan atau
paham. NU menyadari ada upaya dari kelompok tertentu untuk merusak Islam
dengan paham kekerasan. Islam di Indonesia adalah Islam yang penuh toleransi.
Nilai-nilai inilah yang diupayakan NU untuk tetap melekat dalam wajah Islam
di Indonesia.
Tentu, tanpa menafikan polemik dan prokontra yang
berkembang terkait Islam Nusantara, gagasan NU tentang kebangsaan dan
keindonesiaan tidak bisa dimungkiri lagi tetap akan menjadi gagasan bersama
untuk memperkuat kebersamaan sebagai bangsa.
Tentu publik menyandarkan harapannya pada muktamar NU
tahun ini agar organisasi ini tetap setia menjadi garda depan untuk merawat
sekaligus menjadi nilai-nilai kebangsaan yang sudah ditanamkan oleh para
pendirinya. Bagaimanapun, NU telah inheren dalam nilai-nilai kebangsaan itu
sendiri. Wallahu alam bishshawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar