Alat Transportasi Politik
Bandung Mawardi ;
Pengelola Jagat Abjad Solo
|
JAWA
POS, 30 Juli 2015
DI Indonesia, demokrasi itu tontonan. Peristiwa
berdemokrasi mesti dijadikan tontonan ”unik” dan picik. Ekspresi demokrasi
tak usah serius atau bermutu. Kita bisa menonton ekspresi tersebut saat para
calon kepala daerah mendaftar ke KPU. Peristiwa pendaftaran sudah dianggap
menentukan peruntungan. Pendaftaran jadi agenda politik memuat komedi murahan
dan ironi. Kita menonton demokrasi untuk tertawa dan mengejek. Kita pun
merasa kasihan meski tak lekas berdoa demi keinsafan dan ejawantah adab
demokrasi.
Di berbagai kota dan kabupaten, kita menonton kelucuan
pilihan alat transportasi bagi pasangan calon penguasa. Mereka terlalu
berharap agar alat transportasi memberikan pesan simbolis ke mata publik. Di
Depok, pasangan asal PDI Perjuangan mendatangi KPU dengan menggunakan delman
dan becak. Di Surabaya, Tri Rismaharini dan Whisnu Sakti Buana naik becak
untuk menjalani proses pendaftaran ke KPU. Di Solo, jagoan PDI Perjuangan
mengendarai sepeda onthel. Alat transportasi politik itu digenapi pengenaan
baju surjan bermotif lurik dan caping. Di Semarang, cawali-cawawali asal PDIP
menuju ke KPU dengan naik delman. Diikuti rombongan pendukung naik becak, motor
gede, dan mobil. Kita memang diajak menonton, bukan mengartikan demokrasi
secara reflektif.
Kejutan beraroma komedi dan ironi muncul di Sragen,
Wonogiri, dan Solo. Di Sragen, pasangan cabup-cawabup (PDIP, Partai Demokrat,
dan Partai Nasdem) memilih mengendarai setum wales alias alat berat untuk
menghaluskan aspal jalan. Di belakang setum, pawai becak dan sepeda motor. Di
atas setum, dua lelaki berdandan rapi mengenakan baju berwarna putih. Kita
tentu tak usah serius memberikan makna politis. Di Wonogiri, pasangan asal
Koalisi Wonogiri Sukses menggunakan angkutan kota. Cabup jadi sopir dan
cawabup jadi kernet. Kita agak bingung mengartikan adegan itu pengambilan
gambar sinetron atau drama di jalan.
Kejutan simbolis ada di Solo. Agenda pendaftaran sunggguhsungguh
dijadikan pergelaran teater. Pada 28 Juli 2015, pasangan cawalicawawali asal
Koalisi Solo Bersama bergerak ke KPU dengan naik kuda. Mereka berdandan mirip
Pangeran Diponegoro dan Sentot Prawirodirdjo. Publik digoda untuk menonton
sambil memotret, tertawa, dan bingung. Nuansa sejarah dipaksakan hadir di
jalan. Pangeran Diponegoro ikut pilkada?
Kebiasaan mengendarai mobil mewah perlahan ditinggalkan
demi pameran simbolis. Di pelbagai kota dan kabupaten, para calon penguasa
mungkin ingin meraih sukses dengan meniru ekspresi politik Joko Widodo saat
berikhtiar menjadi gubernur DKI Jakarta dan presiden Republik Indonesia. Kita
masih ingat adegan-adegan politik Joko Widodo di bus dan bajaj. Pilihan alat
transportasi itu manjur menjelaskan misi politik. Publik diajak memberi
tafsir tentang kerja dan kebersahajaan. Pesan politik diproduksi melalui alat
transportasi. Siasat itu sukses! Pengaruh masih bersambung saat pengusaha
jamu membeli bajaj setelah digunakan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam ekspresi
berdemokrasi. Bajaj itu dibeli untuk ditaruh dan dipamerkan di hotel,
beralamat di Jogjakarta. Konon, bajaj itu bersejarah. Pihak pengelola hotel
beranggapan, keberadaan bajaj bakal meningkatkan kunjungan tamu.
Tahun demi tahun berlalu. Demokrasi itu semakin jadi
tontonan, belum mengarah ke pemikiran dan aksi bermutu. Kita justru
mengetahui selebrasi demokrasi cenderung kemeriahan dan gerombolan. Kumpulan
ribuan orang alias massa itu penjelasan paling utama. Pembuatan peristiwa
meriah bermisi produksi simbolsimbol dan slogan-slogan. Pilihan tempat harus
strategis demi menjadi tontonan. Ekspresi demokrasi sebagai tontonan disokong
imajinasi (kekuasaan) tradisional. Di rombongan para calon penguasa, kita
lazim melihat ada orang-orang berdandan punakawan atau tokoh wayang, tim
penari, pembawa alat musik tradisional, atau rombongan berbusana adat.
Di jalan, demokrasi diangkut menggunakan berbagai alat
transportasi. Kita mendapatkan kontradiksi. Orang-orang bersaing memiliki dan
menggunakan alat transportasi canggih bernama sepeda motor atau mobil. Para
pencari amanah publik justru mundur dalam pilihan alat transportasi. Mereka
memilih delman, becak, sepeda onthel, dan setum. Pilihan naik kuda juga
semakin mengejutkan. Mereka menggunakan pelbagai alat transportasi itu di
jalan beraspal. Kecepatan dan kementerengan digantikan produksi simbolis
meski klise. Mereka melupakan rutinitas jalan itu dilintasi mobil, sepeda
motor, bus, dan truk. Jalan sering ramai dan macet. Kehadiran alat
transportasi politik mirip ejekan atas situasi jalan dalam realitas
keseharian. Mereka terlalu berharap ada makna dan propaganda politik melalui
alat transportasi ”tak lazim” di jalan beraspal. Mereka pun memilih
jalan-jalan utama.
Di Indonesia, segala hal bisa jadi politis. Alat
transportasi politik semakin menambah daftar kebebalan berdemokrasi. Publik
tak dirangsang mengikuti selebrasi demokrasi dengan pemikiran-pemikiran alias
visi dan misi. Demokrasi gampang dipamerkan di jalan. Kita pun diajak
membohongi realitas alat transportasi dan jalan. Selama puluhan tahun,
pemerintah kerepotan mengurusi keramaian dan kemacetan di jalan. Pemilik
sepeda motor dan mobil selalu bertambah setiap hari. Aksi ”oposisi” dari para
pendamba jabatan menguak ”politik picik” dan kegagalan meng ekspresikan demokrasi
bertaut realitas-realitas. Demokrasi telanjur dijadikan tontonan sensasional.
Di jalan, berbagai alat transportasi difungsikan sebagai tontonan demi
politik.
Kita pastikan mereka tak mungkin mengendarai pelbagai alat
transportasi itu sebagai kendaraan dinas. Kesuksesan sebagai pemimpin tentu
diganjar mobil dinas mewah. Kita bakal sulit menerima keputusan bahwa
gubernur, wali kota, atau bupati mendapat fasilitas dari negara berwujud
delman, becak, setum, sepeda onthel, atau kuda. Di jalan, kebohongan telah
disajikan. Pendaftaran sebagai calon penguasa saja sudah memamerkan
kedangkalan mengartikan demokrasi. Ironis! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar