Sentralitas ASEAN Pilihan Tiongkok
Rene L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
15 Juli 2015
Pengadilan Tetap Arbitrase
Internasional di Den Haag, Belanda, pada hari Senin (13/7) yang menangani
persoalan klaim di wilayah Laut Tiongkok Selatan antara Filipina dan
Tiongkok, memutuskan RRT untuk menyampaikan komentar secara tertulis atas
persidangan ini pada 17 Agustus 2015. Pengadilan International Tribunal for
the Law of the Sea atau ITLOS sudah selesai mendengarkan pandangan yang
disampaikan pihak Filipina.
Dari pandangan Filipina dalam
pertikaian klaim tumpang tindih kedaulatan antara Filipina dan RRT, ada dua
hal yang menarik perhatian menyangkut perilaku Tiongkok di kawasan tersebut.
Pertama, sembilan garis putus-putus yang diklaim sebagai wilayah RRT di Laut
Tiongkok Selatan tidak memiliki dasar apa pun di bawah hukum internasional
dalam menentukan batas-batas klaim Tiongkok atas dasar hak sejarah.
Kedua, Tiongkok melakukan
perusakan lingkungan yang tidak bisa dipulihkan kembali, melanggar Konvensi
PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), melakukan penghancuran terumbu karang di
Laut Tiongkok Selatan di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Filipina,
karena penangkapan ikan destruktif dan berbahaya serta mengancam spesies yang
terancam punah.
Dari sidang dengar pendapat
pengadilan yang hanya diikuti Filipina ini, banyak sanggahan dan kecaman yang
dikeluarkan Tiongkok terkait proses tersebut. Yang menarik, sidang dengar
pendapat yang seharusnya tertutup, sidang memutuskan lima negara ikut sebagai
pengamat dengar pendapat, mencakup Malaysia, Indonesia, Vietnam, Thailand,
dan Jepang.
Kita memahami, dari awal Tiongkok
tak akan melonggarkan posisinya terkait Laut Tiongkok Selatan, mencakup klaim
kedaulatannya adalah hak sejarah, tetap melakukan negosiasi secara bilateral,
dan terus memecah posisi ASEAN, khususnya terkait perundingan tata perilaku
(code of conduct) di Laut Tiongkok Selatan tanpa harus kehilangan konsesi apa
pun.
Keputusan pengadilan arbitrase di
Den Haag setelah menunggu tanggapan RRT (kalau Beijing ingin melakukannya)
pada tanggal 17 Agustus nanti, terdapat beberapa faktor yang berubah terkait
dengan persoalan klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan.
Pertama, perilaku Tiongkok membangun ”pulau palsu” di kawasan tersebut
menunjukkan ada upaya keras Beijing mengimbangi persaingan negara besar,
khususnya AS, dalam upaya internasionalisasi persoalan di kawasan tersebut
atas nama ”kebebasan navigasi.”
Kedua, berbagai pernyataan
dilontarkan Beijing selama ini harus dimengerti dalam konteks politik
kekuasaan tunggal Partai Komunis Tiongkok yang memiliki mesin-mesin agiprop
(agitasi dan propaganda) masif domestik dan internasional. Di era kemajuan
teknologi komunikasi informasi, mesin-mesin agiprop RRT mengalami transformasi
menyeluruh yang secara ekstensif menguasai dan menggunakan teknologi media.
Dan ketiga, untuk jangka menengah,
Tiongkok kini berada pada pilihan persimpangan antara kebutuhan melakukan
ekspor infrastruktur mengikuti konsep ”satu sabuk satu jalan” dan ekspansi
wilayah atas pulau dan karang di Laut Tiongkok Selatan, termasuk ”pulau
palsu”. Transformasi industri infrastruktur kelas dunia yang dimiliki
Tiongkok, khususnya padat karya dan modal, bisa menjadi ganjalan serius
mengancam strategi ”ke luar” Jalan Sutra Maritim Abad ke-21 ketika persoalan
ekspansi teritorial tidak terselesaikan secara memadai.
Pilihan Tiongkok akan tetap
bergantung pada sentralitas ASEAN yang kuat dan netral, menjadi pengimbang
penting persaingan strategis negara-negara besar di Asia. Posisi ASEAN ini
juga akan bergantung pada Indonesia apakah akan keluar dari posisi pion dalam
kesetimbangan dinamis kawasan dalam lingkup perebutan pengaruh bagi masa
depan Asia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar