Sekolah Indonesia dan Diplomasi RI
Djoko
Susilo ; Dubes
RI di Swiss 2010–2014
|
JAWA
POS, 08 Juli 2015
KBRI Yangon bukanlah kantor perwakilan RI yang besar,
meski mewakili pemerintah di salah satu negara ASEAN. Hanya ada enam home
staff, termasuk Duta Besar Ito Sumardi dan seorang atase pertahanan. Meski
demikian, KBRI Yangon mempunyai kontribusi besar bagi perjuangan diplomasi RI
karena memiliki: Sekolah Indonesia.
Berbeda dengan sekolah Indonesia di beberapa negara lain,
khususnya di Eropa yang banyak ditutup atau di negara lain di kawasan ASEAN
yang kondisinya seperti mati segan tapi hidup pun tak mau, Sekolah Indonesia
makin berjaya dan menjadi sekolah favorit di Myanmar. Sekolah itu memiliki
hampir 600 murid yang hampir 90 persen bukan WNI alias warga Myanmar dan
warga asing lain di Yangon. Di antara lebih dari separo murid Sekolah
Indonesia yang merupakan warga Myanmar, hampir separonya adalah anak keluarga
pejabat tinggi negara itu.
Sekolah Indonesia Myanmar mempunyai jenjang pendidikan
mulai tingkat TK sampai SMA. Sekolah tersebut menjadi favorit karena –selain
belajar dalam bahasa Myanmar, Inggris, dan Indonesia– pelajar diberi
pendidikan agama. Yang beragama Islam, baik WNI maupun Myanmar, juga diberi
pendidikan agama Islam. Yang beragama Buddha atau Kristen juga diberi
pelajaran sesuai dengan agama yang dianut mereka. Hal tersebut sangat
menggembirakan orang tua murid di Myanmar. Meski mayoritas penduduk negara
itu beragama Buddha, tidak ada pelajaran agama di sekolah negeri dan swasta
lainnya.
Itulah yang membuat warga Myanmar percaya dengan
menyekolahkan anak mereka di Sekolah Indonesia. Selain pendidikan umum yang
baik, mereka mendapat pelajaran agama yang baik. Karena itu, setiap awal
tahun seperti ini, sekolah terpaksa menolak sejumlah calon murid karena daya
tampung yang tidak mencukupi.
Untuk meningkatkan kualitas dan fasilitas, Dubes Ito
Sumardi terus berusaha memberikan dukungan maksimal, baik melalui jalur
pemerintahan maupun swasta. Salah satu rencana besarnya adalah mendirikan
masjid di lingkungan kompleks sekolahan, selain untuk warga masyarakat
Indonesia, juga untuk pelajar yang beragama Islam atau warga lain.
Dengan demikian, sekolah maupun masjid akan menjadi sarana
diplomasi publik yang efektif. Para pelajar setingkat SMP umumnya sudah
lancar berbahasa Indonesia. Bahkan banyak yang suka menyanyikan lagu-lagu
Indonesia ala Slank atau penyanyi pop lain. Tentu saja tarian klasik seperti
tari saman dan tari Jawa atau Bali dikuasai dengan baik.
Bisa dikatakan, Sekolah Indonesia telah menjadi pusat
pendidikan dasar para calon intelektual, bisnis maupun pemimpin bangsa
Myanmar, yang punya hubungan khusus dan bersahabat baik dengan Indonesia.
Beberapa perguruan tinggi seperti UGM atau UI sudah memiliki kerja sama yang
baik. Lulusan sekolah Indonesia di Yangon bisa mendaftar karena dijamin sudah
bisa berbahasa Indonesia dan mempunyai kemampuan akademik yang memadai.
Menurut Gufron, kepala Sekolah Indonesia di Yangon, kualitas pendidikan yang
dimiliki sekolah yang dipimpinnya setara atau bahkan lebih unggul dari
sekolah milik asing di Myanmar, meski SPP-nya sangat murah.
Bagi mantan diplomat atau anggota Komisi I DPR seperti
saya, Sekolah Indonesia itu ibarat oase di tengah keringnya diplomasi publik
RI. Bisa dikatakan, selama ini diplomasi publik RI kering dengan terobosan
gagasan maupun kegiatan. Bahkan, di banyak negara, karena minimnya dukungan
dana, kegiatan diplomasi publik macet atau tidak bisa berkembang sama sekali.
Diplomasi RI tidak hanya terhambat kurangnya dana, tetapi juga
kurangnya perhatian kepada masalahmasalah nonpolitik. Bisa dimaklumi,
masalahnya, diplomat RI sudah lama dikurung dalam kotak sempit urusan
politik. Sangat benar jika pada awal masa pemerintahannya, Presiden Jokowi
sempat mengingatkan para diplomat agar tidak terlalu berfokus pada urusan
politik saja, tetapi juga harus mengembangkan dan mendukung kepentingan
ekonomi dan sosial budaya bangsa.
Harapan presiden itu, tampaknya, masih agak lama bisa
diwujudkan. Sebab, yang menjadi ’’bintang’’ di Kementerian Luar Negeri
(Kemenlu) umumnya adalah mereka yang bertahun-tahun berkecimpung di dunia
politik. Mereka akan merasa menggapai puncak jika ditempatkan di PTRI New
York atau PTRI di Jenewa. Baik di level duta besar atau level junior
setingkat sekretaris III. Para diplomat merasa bangga kalau ditempatkan di
dua pos tersebut. Penempatan di direktorat yang membidangi ekonomi atau
diplomasi publik dianggap kurang bergengsi.
Persoalan di Kemenlu menjadi makin akut karena selain
kekurangan dana, para pejabat tinggi Kemenlu tidak mempunyai political
leverage atau bargaining politic dengan instansi lain. Penyebab utamanya,
pejabat tinggi Kemenlu, termasuk para duta besarnya, terdidik sebagai
birokrat PNS yang sudah biasa tunduk pada perintah. Mereka sudah biasa nrimo
ing pandum dan tidak berusaha memperjuangkan hak serta nasib dengan maksimal.
Bahkan, pada masa kepemimpinan Marty Natalegawa, seluruh pejabat tinggi
dilarang berhubungan dengan DPR atau Kementerian Keuangan dengan tujuan lobi.
Meski Menlu Retno telah berusaha memperbaiki keadaan,
karena kerusakan yang terjadi sudah sangat parah, dibutuhkan kerja
ekstrakeras untuk memulihkan kemampuan diplomasi Kemenlu selevel di masa
kepemimpinan Hassan Wirajuda. Diplomasi publik, budaya, dan ekonomi yang dulu
menjadi andalan harus dipulihkan dan didukung habis-habisan.
Hanya dengan cara demikian, kerja keras Dubes Ito Sumardi
serta para guru di Sekolah Indonesia Myanmar akan membuahkan hasil lebih
baik. Dubes Ito akan mengakhiri tugasnya dengan bangga karena Indonesia makin
berjaya dan dikagumi bukan karena kiprah politiknya saja, tetapi juga karena
peran pendidikan serta budayanya. Seyogianya Mendikbud Anies Baswedan juga
menaruh perhatian terhadap masalah diplomasi pendidikan dan budaya ini.
Jangan biarkan KBRI Yangon berjuang sendiri tanpa dukungan memadai dari
pemerintah RI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar