Restu Petinggi Partai dalam Pilkada
Asrinaldi A ; Dosen di Jurusan Ilmu Politik, Universitas
Andalas
|
KOMPAS, 01 Juli 2015
Menjelang pembukaan
pendaftaran calon gubernur dan bupati/wali kota dalam pemilihan kepala daerah
serentak pada Desember 2015, frekuensi kunjungan calon kepala daerah ke
kantor DPP partai politik semakin meningkat. Fenomena ini bukanlah sesuatu
yang mengherankan. Tujuannya jelas agar petinggi partai di DPP mau mendukung
keinginan calon ini untuk diusung partainya dalam kontestasi pemilihan kepala
daerah (pilkada). Memang bukanlah hal yang mudah bagi calon kepala daerah
untuk bertemu dengan petinggi partai politik. Mereka harus punya jaringan ke
dalam lingkaran petinggi parpol tersebut.
Janji bertemu pun
harus dibuat beberapa minggu sebelum pertemuan dilakukan. Tentu, lewat pertemuan itu, sang calon
berharap bisa mendapatkan tiket menjadi kepala daerah. Biasanya cara ini jauh lebih efektif
ketimbang harus melalui mekanisme konvensi di tingkat daerah. Meskipun sang calon
sudah mendaftarkan diri melalui pengurus partai di daerah, tetapi mereka
meyakini bahwa kata putus siapa yang dicalonkan oleh partai tetap ada di
elite pusat. Ini bukti kuat bahwa
parpol di Indonesia masih menerapkan model oligarki dalam pengambilan keputusan
di internal.
Fenomena oligarki di
tubuh parpol bukanlah hal baru. Sejak transisi ke demokrasi dilaksanakan,
keinginan masyarakat memunculkan parpol modern yang demokratis masih sulit
terwujud.
Dalam realitasnya,
tidak sedikit aspirasi masyarakat yang dijaring pengurus partai di daerah
jarang menjadi pertimbangan utama bagi petinggi partai di tingkat pusat.
Bahkan tak jarang calon kepala daerah yang memang dijagokan oleh pengurus
partai di daerah sama sekali tidak dilirik petinggi partai di tingkat pusat
jika yang bersangkutan tidak menemui mereka.
Kolaborasi politik-bisnis
Tentu ada pertimbangan
yang diberikan petinggi parpol untuk merestui seseorang menjadi calon kepala
daerah. Selain kepentingan partai,
juga ada kepentingan pribadi para petinggi partai, yang umumnya untuk
menempatkan seseorang menjadi kepala daerah. Dengan sowan ke petinggi partai
ini, maka beberapa kesepakatan dapat dibuat di antara mereka.
Bahkan terbuka
kemungkinan dengan penetapan calon yang dilakukan secara tertutup ini
berlangsung transaksi di antara elite dan calon kepala daerah yang akan
diusung partai. Cara-cara transaksi politik seperti ini jelas menafikan
hakikat demokrasi yang melibatkan partisipasi masyarakat. Bahkan sangat bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, jika itu terkait dengan "uang
mahar" yang diserahkan calon kepada petinggi partai.
Lebih jauh dari itu,
sebenarnya apa yang dilakukan pengurus partai di daerah menjaring calon
kepala daerah sudah mencerminkan proses perekrutan kepemimpinan secara
terbuka. Ini tentunya baik bagi perkembangan demokrasi dan proses kaderisasi
kepemimpinan di daerah. Tetapi, sayang, intervensi petinggi partai di tingkat
pusat justru merusak tatanan demokrasi yang mulai dipercaya publik.
Penjaringan yang dilakukan
pengurus partai di daerah tidak lagi menjadi mekanisme utama mendapatkan
pemimpin yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Akibatnya muncul persepsi bahwa mekanisme
seleksi di tingkat pengurus daerah hanya basa-basi demokrasi dalam mencari
pemimpin di daerah.
Kuatnya restu petinggi
parpol dalam mengusulkan calon kepala daerah semakin menegaskan ada yang
keliru dalam proses demokrasi dalam parpol. Proses pengambilan keputusan di
dalam parpol cenderung didominasi sekelompok elite yang merasa memiliki partai. Dampak buruk dominasi ini adalah menguatnya
budaya paternalistik sehingga calon kepala daerah yang terpilih cenderung
akan menghamba kepada penguasa partai.
Jadi, jangan heran
jika kepala daerah yang terpilih karena restu petinggi partai ini akan sungkan
ketika berhadapan dengan mereka. Yang
patut juga dikhawatirkan adalah dampak setelah calon kepala daerah ini
terpilih. Sebab, tidak sedikit
petinggi parpol ini juga berlatar belakang pengusaha yang memang memiliki
jaringan bisnis hingga ke daerah.
Sudah tentu, jika kepala daerah ini terpilih, petinggi partai yang
juga memiliki berbagai macam usaha mulai melaksanakan politik bisnisnya di
daerah itu.
Ini menjadi ironi di saat antusiasme publik
mulai meningkat dengan pelaksanaan pilkada langsung. Kita tahu, betapa
hebatnya penolakan masyarakat menuntut pembatalan pemilihan kepala daerah
melalui DPRD. Namun, faktanya, pilkada
yang akan dilaksanakan juga tidak lepas dari intervensi elite partai yang
memang punya kepentingan lain dalam berdemokrasi.
Pesimistis
Mestinya indikasi ini sudah bisa dibaca
ketika politisi di Senayan bersepakat untuk menaikkan angka ambang batas
pencalonan dari jalur perseorangan sebesar 3,5 persen dari jumlah penduduk
suatu daerah pemilihan. Jika dalam UU
sebelumnya rentang nilai ambang batas tersebut berkisar dari 4 sampai 6,5
persen, maka dalam Pasal 41 UU No 8/2015-terkait pemilihan gubernur, bupati,
dan wali kota-kisarannya naik menjadi 6,5 sampai 10 persen. Akibatnya calon kepala daerah yang maju
melalui jalur ini akan kesulitan memenuhi persyaratan mencalonkan diri. Strategi ini ternyata cukup berhasil
menempatkan parpol pada posisi yang dominan dalam menentukan siapa yang
berhak menjadi calon kepala daerah.
Dengan melihat fenomena ini, muncul rasa
pesimistis terhadap akan munculnya pemimpin yang berkualitas sesuai dengan
keinginan masyarakat di daerah. Dengan
kata lain, tidak ada jaminan tokoh yang populer dan disukai
masyarakat-kalaupun ada-akan muncul dan ikut berkompetisi dalam pilkada. Ia
bisa tersingkir hanya karena tak dapat restu dari petinggi partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar