Pertanyaan Sekitar Mudik
Bagja
Hidayat ; Wartawan
Tempo
|
KORAN TEMPO, 07 Juli 2015
Ada seorang teman bertanya, di
sekitar hari Lebaran ini: bagaimana anak-anakmu kelak memahami mudik? Sebab
bagi saya mudik adalah rukun keenam, tak afdal Ramadan tanpa menutupnya
dengan merayakan bersama kenangan. Membayangkan menempuhnya seperti menunggu
hari perkawinan.
Karena itu, bagaimana anak-anak
saya kelak memahami mudik? Ini pertanyaan yang valid. Anak-anak saya tak
mengalami apa yang saya alami. Anak saya tak belajar berenang di palung
Cisanggarung yang angker, anak saya tak punya candu penciuman terhadap bau
asap sampah dan jerami yang dibakar, anak-anak saya tak punya kenangan akan
senja dan huma bersama domba-domba di tegalan.
Pendeknya, anak saya tak punya
syarat utama mudik: kampung yang membentuk karakternya 20–30 tahun ke depan.
Mungkin mereka akan punya kenangan akan rumah, tapi bukan terhadap kampung,
sebuah lanskap di mana hubungan sosial tak dihargai dengan pamrih. Liburan
sekolah tahun lalu anak saya bengong menonton orang satu kampung mendirikan
rumah, rumah seorang tetangga.
Mereka begitu saja bergabung ikut
bekerja, membuat reng, membuat wuwung, sampai memasang genteng, tanpa
dibayar. Pekerjaan berat itu pun selesai sebelum zuhur dengan pesta makan
bersama. Di "kampungnya", dalam kenangan yang bercokol di
ingatannya, anak saya selalu melihat rumah dikerjakan tak lebih oleh lima
orang, para tukang yang dibayar, dengan upah yang ditetapkan.
Mudik sesungguhnya adalah
mengunjungi kembali kenangan-kenangan itu. Dan kenangan selalu menumbuhkan
romantisme, karena ia seperti cermin yang memantulkan bayangan masa lalu,
masa penting yang mengantarkan kita pada hari ini. Peristiwa-peristiwa,
orang-orang, dan suasana yang terbentuk dan mengiringinya senantiasa
memberikan sensasi dan déjà vu. Ikatan pada kampung itulah yang membuat mudik
selalu menggairahkan.
Sebab ada pulang kampung lain pada
bulan lain, bukan di sekitar hari Lebaran, yang berbeda "momennya"
dengan mudik setelah Ramadan. Barangkali karena mudik pada hari lain
kenangan-kenangannya tak lengkap. Teman-teman berenang dan gembala saya dulu
tak pulang jika tak Lebaran. Mereka juga merantau dan hanya pulang sekali
dalam setahun.
Deja vu karena itu menjadi
terputus. Di luar Ramadan, kampung sepi. Tak ada cengkrama di teras sehabis
asar. Di kampung, senja adalah waktu berkumpul, waktu bercengkerama, setelah
mandi, sembari menikmati wangi asap sampah yang dibakar. Dan sehabis subuh
adalah waktu yang genting: dapur-dapur menyemburkan asap tipis kayu yang
dibakar ke hawu. Orang-orang menyiapkan bekal untuk ke sawah, ke ladang, ke
hutan.
Lanskap itu tak ada dalam kenangan
anak-anak saya. Mereka bahkan tak tahu hawu. Mereka tak punya udik yang
selalu membetot untuk selalu didatangi. Apa yang mereka rasakan tiap menemani
saya mudik adalah perasaan turis yang mengunjungi sebuah tempat untuk
transit, bukan seorang anak hilang yang sedang "pulang".
Barangkali ini pikiran orang
dewasa yang sedang sentimentil membayangkan mudik. Anak-anak saya tentu punya
dunia sendiri, yang berbeda dan selamanya tak akan sama dengan saya. Dan
dunia yang berbeda itu akan membentuk mudik mereka sendiri, kenangan mereka
sendiri, "udik" mereka sendiri, yang kelak terus-menerus
membetotnya, di sekitar Lebaran atau di luar Ramadan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar