Pengampunan Pajak Sekali Lagi
Irwan Wisanggeni ;
Dosen Trisakti School Of Management
|
KOMPAS,
27 Juli 2015
Tahun 2015, topik pengampunan pajak masih menjadi
pembahasan menarik di masyarakat. Baik di lokakarya, seminar, kelas
perpajakan, mau pun pembicaraan di antara para wajib pajak.
Pengampunan pajak dalam pengertian yang umum dijabarkan
sebagai penghapusan pokok pajak, sanksi administrasi, dan atau pidana pajak
atas ketidakpatuhan pembayaran pajak pada masa lalu. Biasanya program
pengampunan pajak berlangsung dalam kurun waktu dua bulan sampai dengan satu
tahun.
Program ini memiliki istilah formal reinveting
tax administration atau lebih dikenal dengan istilah sunset policy jilid 2. Tujuan dari program ini jika
disederhanakan adalah untuk memperbaiki basis pajak agar penerimaan pajak
dapat terdongkrak naik secara berkesinambungan. Dari program pengampunan
pajak ini Direktorat Jenderal Pajak menargetkan mendapat Rp 220 triliun.
Sejarah perpajakan Indonesia mencatat program pengampunan
pajak-dengan berbagai sebutan umum
yang beredar dimasyarakat seperti pemutihan, pengampunan dan sunset
policy-telah berlangsung 3 kali, yaitu tahun 1964, 1984 dan 2008. Tahun 2015
dicanangkan sebagai tahun pembinaan wajib pajak.
Berbanding lurus dengan tahun pembinaan tersebut,
diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 91/PMK.03/2015 tentang
Pengurang atau Penghapusan Sangsi Administrasi Atas Keterlambatan Penyampaian
Surat Pemberitahuan (SPT), Pembetulan SPT, dan Keterlambatan Pembayaran atau
Penyetoran Pajak. PMK ini menjadi bagian dari program pembinaan wajib pajak.
Penulis pernah merasakan dan ikut serta dalam program sunset policy tahun 2008.
Antusiasme masyarakat saat itu cukup besar, tetapi yang dihasilkan dari
program itu hanya Rp 8 triliun sementara targetnya Rp 60 triliun. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa program ini kurang efektif.
Pengampunan diperluas
Atas dasar pengalaman tersebut, mungkin pemerintah perlu
mengubah strategi pengampunan di tahun yang akan datang (2016 atau 2017)
dengan melakukan obyek pengampunannya diperluas, yang pada awalnya hanya
urusan pidana perpajakan, diperluas pada pengampunan di bidang korupsi, illegal logging, illegal fishing
kecuali dari narkoba dan terorisme. Dengan demikian, pengampunannya bersifat
menyeluruh, diperluas sampai pada urusan pidana umum dan pidana khusus.
Tujuan dari pengampunan universal ini agar uang yang
diparkir di luar negeri kembali ke Tanah Air karena ditengarai ada Rp 3.000
triliun lebih dana yang diparkir di luar negeri yang berasal dari kegiatan
apa pun (uang halal dan uang haram). Jika program ini berhasil menarik
setengahnya uang yang diparkir diluar negeri, pemerintah akan mendapatkan
pajak atas uang yang ditarik dari luar negeri yang cukup besar. Kalkulasinya
50 persen dikalikan Rp 3.000 triliun lalu dikalikan 10 persen yang merupakan
tarif pajak pengampunannya, pemerintah akan mendapatkan penerimaan pajak Rp
150 triliun. Program ini memiliki potensi penerimaan pajak yang sangat
signifikan.
Namun, jika kita cermati yang rajin membahas pengampunan
universal ini datang dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Direktorat
Jenderal Pajak sehingga sulit untuk diwujudkan. Seharusnya Presiden Joko
Widodo dan DPR yang membahas hal ini dengan bersemangat dan mencanangkannya
dalam bentuk Undang-Undang Pengampunan sehingga memiliki dasar hukum yang
kuat, mendapat dukungan dari semua instansi pemerintah terkait.
Dengan begitu, program ini pasti akan berjalan sukses
sesuai dengan yang diharapkan.
Belajar dari Afrika Selatan
Dalam pengampunan ini pemerintah perlu becermin pada
Afrika Selatan. Metode
pengampunan pajak di Afrika
Selatan bisa menjadi inspirasi di mana aset yang disimpan di luar negeri setelah permohonan tax amnesty diterima
kena tarif diskon 50 persen, dibanding aset tersebut tetap disimpan di luar
negeri.
Menarik untuk dikemukakan, pengalaman latar belakang
suksesnya Afrika Selatan dalam melakukan program pengampunan. Dikisahkan,
seorang perempuan kulit hitam yang semua anggotanya keluarganya mati dibunuh
oleh pejabat kulit putih semasa berlangsungnya politik apartheid di Afrika
Selatan. Ketika presiden Nelson Mandela mencetuskan program rekonsiliasi
nasional dan pejabat itu mengakui kesalahannya, ibu tua tersebut bersedia
mengampuni orang yang telah membunuh suami dan anak-anaknya karena pengaruh
karisma dan jiwa besar Nelson Mandela.
Mandela hampir 20 tahun mendekam dalam penjara, ketika
Mandela memimpin Afrika Selatan ia mau mengampuni semua lawan dan musuh
politiknya. Atas dasar tersebutlah pengampunan pajak di Afrika Selatan
berjalan sukses. Jika kita analogikan kisah di atas, ibu tua itu adalah ibu
pertiwi dan pejabat kulit putih adalah pengemplang pajak, koruptor ataupun
para pelanggar yang perlu diampuni.
Bergerak ke depan
Memang beberapa pakar hukum ada yang beranggapan korupsi
yang lampau jika diakomodasi untuk diampuni akan menjadi preseden buruk dalam
penegakan hukum. Namun, jika kita dalam bernegara selalu melihat ke masa
lalu, kita akan sulit bergerak ke depan, khususnya untuk menarik dana di luar
negeri. Dana yang diparkir di luar negeri memiliki nilai yang signifikan
jika dana tersebut bisa kembali ke
Tanah Air, ini akan menjadi modal berinvestasi di dalam negeri sehingga perekonomian kita dapat tumbuh
dengan cepat. Ditambah lagi adanya pemasukan dari sektor pajak atas program
tersebut.
Program pengampunan ini harus berjalan. Presiden dan DPR
seyogianya menjadi motor penggerak utama dalam menyukseskan program
pengampunan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar