Negara tanpa Bank
Bambang Setiaji ; Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta
|
JAWA
POS, 14 Juli 2015
NEGARA tanpa bank. Gagasan nyeleneh tersebut merupakan
wacana untuk mengevaluasi masih perlukah lembaga perbankan seperti model yang
ada selama ini di masa depan. Hal itu bukan disebabkan tidak pentingnya dunia
perbankan, akan tetapi saking pentingnya dunia perbankan. Perannya sangat
sentral dalam ekonomi. Bahkan, sulit dibayangkan transaksi yang begini
kompleks bisa dijembatani perbankan dewasa ini. Bukan saja transfer dana
antarbank, tapi juga sistem ATM yang dapat diambil antar-bank lokal, bahkan
diambil di luar negeri, di mana bank-bank sudah terkoneksi internet seluruh
dunia. Saat mengambil uang di ATM di suatu negara yang jauh, saldo di bank
lokal di suatu daerah langsung berkurang pada waktu yang sama.
Bank sekarang sudah merupakan barang publik. Perannya
seperti jalan dan jembatan atau seperti sekolah di mana sekolah negeri dan
swasta mendapat support dari pemerintah. Mengapa bank merupakan barang
publik? Sebab, perannya sangat vital, misalnya dalam menyediakan lapangan
kerja bagi rakyat. Bank, lebih-lebih di Indonesia, masih merupakan lembaga
pendanaan modal yang paling dominan. Bank juga vital dalam pembiayaan
konsumsi besar, khususnya perumahan dan kendaraan bermotor. Bahkan, melalui
kartu kredit sistem bank membiayai konsumsi kecil-kecil seperti berbagai alat
rumah tangga, alat bekerja, handphone, dan komputer, bahkan membiayai sekadar
makan malam di restoran.
Pada saat krisis, terasa sekali bank menjadi barang
publik. Saat seperti itu negara harus membailout dan menjadi tanggungan
rakyat semua melalui beban pajak. Negara kita merasakan betul hal itu pada
1998 dan dampaknya masih terasa sampai sekarang. Demikian juga Amerika, negara
liberal yang paling besar bersandar kepada swasta dan kebebasan swasta
akhirnya memutuskan, karena peran publik bank yang demikian luas dan vital,
negara akhirnya memberikan bailout.
Ketidakadilan Biaya Modal
Dengan membiarkan menjadi atau berperilaku secara swasta,
ketidakadilan biaya modal merupakan masalah yang sangat serius. Di bankbank
dengan fee based income yang besar, yaitu pendapatan di luar layanan kredit
atau pembiayaan, seperti jasa ATM, jasa transaksi, kartu kredit, biaya
provisi, bank-bank ini bisa memberikan biaya modal yang rendah. Ditambah lagi
peraturan pemerintah di mana dana pemerintah yang belum digunakan diregulasi
hanya untuk diparkir di bank BUMN menyebabkan biaya dana antar perbankan
menjadi timpang.
Dalam hal penciptaan lapangan kerja yang menjadi concern
negara, lebih banyak menjadi tugas usaha-usaha kecil. Usaha mikro umumnya
untuk memperoleh lapangan kerja mandiri dan keluarga. Pengangguran di negara
maju menjadi concern negara, terbukti dengan diberikannya tunjangan pengangguran
supaya negara bisa membantu. Di negara kita pengangguran yang ingin
mengentaskan dirinya sendiri dibebani biaya dana sampai 48 persen setahun.
Hal ini merupakan ketidakadilan, lebih lagi kebutuhan modalnya hanya Rp 1
sampai 5 juta. Layak memperoleh biaya dana nol. Itu pun negara sudah
seharusnya sangat berterima kasih karena rakyatnya bisa mengentaskan dirinya
sendiri dan tidak memerlukan biaya tunjangan pengangguran. Masalah ini bisa
teratasi apabila perbankan berubah menjadi barang publik seperti sekolah,
baik sekolah negeri maupun swasta, di mana siswa memperoleh BOS.
Sekolah memang menjadi concern negara karena dianggap
penting supaya rakyat memperoleh pengetahuan dasar tertentu untuk bisa
menopang negara modern. Meski demikian, pekerjaan jauh lebih penting untuk
menopang negara. Pekerjaan akan menopang kualitas hidup bersama, martabat
rakyat, dan menopang pajak negara. Pekerjaan apabila tidak terjadi akan
membuat kualitas kehidupan bersama merosot. Mereka akan menjadi beban
keluarga dan negara.
Usaha membuat keadilan adalah inti dari keberadaan negara.
Pajak, misalnya, diadakan untuk tujuan redistribusi dan keadilan. Di sisi
pengeluaran negara juga selalu berorientasi keadilan, misalnya pengeluaran
negara untuk kemiskinan, daerah tertinggal, dan masalah-masalah sekitar ini.
Campur tangan negara untuk keadilan harga modal sungguh legitimated untuk
diintervensi.
Jika negara kita memutuskan mengubah bank yang berperilaku
swasta seperti yang terjadi sekarang menjadi bank berperilaku publik yang
beroperasi seperti keberadaan sekolah, kemudian bagaimana bentuknya? Tentulah
harus dipikirkan menjadi kenduri nasional bagaimana menciptakan regulasi yang
mengubah peran perbankan menjadi barang publik seperti keberadaan sekolah.
Bank adalah alat kelengkapan dan kebutuhan vital dengan tujuan utama
menyediakan lapangan pekerjaan dan pekerjaan mandiri bagi rakyat.
Tentu saja pemerintah tidak perlu mengakuisisi saham-saham
seluruh perbankan, tetapi diperlukan peran lebih aktif negara. Seperti dana
BOS di sekolah, negara bisa menanggung biaya modal seluruhnya atau sebagian.
Dengan demikian, biaya dana yang dihadapi unit bisnis akan menurun.
Sistem ini tidak melepaskan negara dari globalisasi
moneter. Bank-bank tetap terkoneksi internet seluruh dunia dan suku bunga
tetap berfluktuasi mengikuti irama dunia. Tetapi, fluktuasi itu diredam
negara dan rakyat dibiarkan memperoleh angsuran tetap yang rendah supaya
bisnisnya bergairah, ada kepastian, dan yang paling penting menghilangkan
pengangguran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar