Negara Psychocapitalism
Fikri
Suadu ; Peneliti pada Pusat Studi Otak dan Perilaku
Sosial
Universitas
Sam Ratulangi; Direktur LKMI PB HMI 2011-2013
|
KORAN SINDO, 03 Juli 2015
Pelan tapi pasti,
kiprah globalisasi terus merasuki berbagai wacana kebangsaan, baik ekonomi,
politik, pendidikan, kesehatan, maupun kebudayaan. Globalisasi berhasil
menghadirkan kecenderungan besar dunia (kapitalisme Barat) untuk mendikte
berbagai skema politik nasional yang tujuannya adalah menurunkan kapasitas negara
dalam melindungi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Tak terhitung banyaknya perusahaan-perusahaan
transnasional raksasa yang berinvestasi dalam jumlah besar di
Indonesia.
Belum lagi gabungan kekuatan jaringan keuangan global yang membuat kondisi ekonomi negara semakin rentan terhadap krisis. Kondisi ini tentu membatasi kontrol negara, bahkan negara dipaksa untuk kalah bersaing dalam memperebutkan kekuasaan politik dan kedaulatan ekonomi. Tak berhenti di situ, kiprah globalisasi dan kapitalisme Barat bahkan telah berhasil menghubungkan jutaan pikiran rakyat Indonesia ke dalam komunitas global yang terdiri dari miliaran pikiran manusia secara online melalui internet. Hal ini berhasil menghadirkan sebuah tatanan masyarakat baru yang bersifat erosif terhadap tatanan budaya, agama, masyarakat, dan keluarga yang sebelumnya sudah mapan. Psychocapitalism Dalam dunia kedokteran, sindrom dikenal sebagai kumpulan dari beberapa ciri-ciri klinis yang dapat meyakinkan dokter dalam menegakkan diagnosis. Sementara itu, istilah psycho merupakan gejala psikologis berupa sikap manipulatif, egosentris, pembohong, frustrasi, hipokrit, dan munafik. Lantas, apa yang dimaksud dengan sindrom psychocapitalism ? Istilah ini mencoba menjelaskan berbagai gejala baru berkaitan dengan gerakan reaksioner dan gaya hidup radikal masyarakat yang marak terjadi sebagai akibat langsung dari kesenjangan yang diakibatkan oleh hegemoni kapitalisme Barat. Jika globalisasi diibaratkan sebagai ledakan, globalisasi telah menghasilkan puing-puing kekuatan ekonomi, budaya, politik, dan ideologi kapitalisme Barat, berserakan ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Puing-puing globalisasi yang awalnya ditujukan untuk pembebasan, kemerdekaan, dan kemanusiaan, secara perlahanberubah menjadi tirani yang berujung isolasi, pembodohan, imobilisasi, dan ancaman disintegrasi bangsa. Hal ini secara jelas bisa dibaca melalui proyek otonomi daerah yang banyak melahirkan kesenjangan masyarakat melalui praktik oligarki kekuasaan politik korup ditingkat kabupaten/kota. Tak tanggung-tanggung, di daerah dengan kekayaan alam melimpah telah mengarah pada upaya makar. Sementara itu, pada saat yang sama puing-puing globalisasi telah secara radikal membatasi berbagai kemungkinan terwujudnya demokrasi yang progresif, redustributif, dan substantif dalam berbagai level pelaksanaan pesta demokrasi baik di level nasional, regional, maupun lokal, melalui keterlibatan berbagai perusahaan-perusahaan transnasional raksasa yang berinvestasi dalam jumlah besar di Indonesia.
Tujuannya jelas, untuk
mengintervensi proses demokrasi dan politik agar dapat memastikan jaminan
keamanan kegiatan bisnis mereka, tanpa memedulikan berbagai akibat buruk dari
intervensi yang mereka lalukan. Intervensi terhadap proses demokrasi ini telah
berhasil memicu konflik sosial di masyarakat akibat sengketa pemilu dan
pilkada. Tak terkecuali telah berhasil membumikan praktik politik uang dalam
setiap pesta demokrasi di berbagai daerah di Indonesia.
Logikanya sederhana,
ada perselingkuhan perusahaan-penguasa untuk membeli suara rakyat, membeli
demokrasi itu sendiri. Rakyat terus dieksploitasi dan dibodohi agar kelak
dengan mudah bisa dibeli. Di sisi lain, puing-puing globalisasi sangat
bersifat erosif terhadap tatanan kehidupan yang telah mapan di masyarakat.
Baik dari aspek budaya, agama, masyarakat, maupunkeluarga.
Sikap individualistik
tanpa memikirkan orang lain telah menjadi gaya hidup baru di masyarakat. Hal
ini tentu saja rentan terhadap berbagai sikap yang bersifat egosentris
seperti perilaku narsistik, agresif, reaksioner, dan radikal. Gejalanya sudah
mulai tampak dari perilaku masyarakat melalui media sosial. Tak
tanggung-tanggung, media sosial bahkan telah menjadi ajang untuk saling
menumpahkan kebencian (caci maki, umpatan) di antara sesama anak bangsa. Ada
yang sampai berujung perkelahian satu lawan satu.
Kembali ke Pancasila
Gejala diatas secara
gamblang telah menjelaskan berbagai krisis kebangsaan akibat hilangnya
kontrol negara dalam berbagai proses kehidupan masyarakat. Akibatnya, masyarakat
merasa sendiri, kehilangan panutan, tanpa jaminan keamanan, terus
dieksploitasi, berujung frustrasi, dan memicu terjadi berbagai tindak
kejahatan. Tak heran jika angka kriminalitas di masyarakat terus meningkat.
Lantas, apa yang harus
kita lakukan untuk mengobati sindrom psychocapitalism di atas? Tak ada
pilihan lain kecuali mengeliminasi berbagai nilai kapitalisme Barat yang secara
kronis dan sistemik telah menginfeksi seluruh proses penyelenggaraan negara.
Mulai dari banyak undang-undang ”bodong” pesanan asing, peraturan presiden
hingga ke peraturan daerah yang menyimpang dan kontraproduktif dengan
semangat Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945.
Harus dipastikan bahwa
setiap proses penyelenggaraan negara, baik di eksekutif, legislatif, yudikatif,
civil society, maupun media selalu
sejalan dengan ideologi Pancasila. Keteladanan nilai yang ada dalam Pancasila
harus diamalkan di seluruh Bumi Nusantara tercinta ini. Tak ada jalan lain,
takadapilihanlain, dantakadaalternatif lain untuk mengantisipasi ledakan
sindrom psychocapitalism kecuali kembali ke Pancasila secara benar dan total.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar