Menteri
Putu
Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
KORAN TEMPO, 05 Juli 2015
Ada dua kelompok profesional yang nasibnya tak menentu di
hari-hari mendatang ini. Pemain sepak bola dan para menteri Kabinet Kerja.
Pemain bola sudah jelas juntrungannya, induk organisasinya dibekukan
pemerintah, klub tempat bernaung sudah bubar atau siap bubar. Akan halnya
para menteri justru berada dalam ketidakjelasan apakah mereka dicopot
Presiden Jokowi atau tidak. Bagaimana menurut Romo Imam?
Romo terpingkal-pingkal sebelum menjawab.
"Panjenengan layak jadi jurnalis televisi, nadanya bertanya tapi jawaban
sudah disiapkan, tinggal bilang: betul."
"Saya serius Romo. Soal pemain bola tak usah dijawab.
Ini dalam bayang-bayang mafia. Para menteri itu Romo, memang Jokowi serius
merombak kabinet," kata saya. Romo terpancing, tampaknya serius pula.
"Perombakan kabinet juga ada mafianya, malah ini lebih hebat, maklum
mafia politik," jawab Romo. "Jokowi awalnya bernafsu merombak
kabinet karena prestasi para menterinya yang tak memenuhi harapan. Tapi kini
justru ia mengulur waktu sampai tak terbatas. Ia tak menduga respons partai
pendukungnya membuyarkan rencananya semula."
Saya pasang muka serius. "Maksud Romo partai politik
minta jatah lebih?" Romo langsung membalas: "Betul, padahal saya
kira niat awal Jokowi justru mencari menteri yang bisa diajak bekerja dengan
benar, menguasai bidang tugasnya, tak peduli dari mana asalnya, politikus
atau profesional. Kini PDIP malah minta jatah kursi ditambah karena jumlahnya
sama persis dengan NasDem. Cuma empat. Alasannya, anggota DPR dari NasDem 39,
dari PDIP 109, kan tak adil kursi menterinya sama."
Saya tepok jidat. Lalu, apa komentar Romo tentang kinerja
menteri dari partai? "Kerjanya tak memuaskan Jokowi. Coba bedah menteri
dari PDIP. Menteri Kehakiman salah melulu ambil keputusan, malah memberi
angin DPR untuk revisi UU KPK. Menko Puan Maharani, ya, begitulah, lebih
loyal ke ibunya yang ketua umum partai. Menteri Dalam Negeri tadinya bekerja
baik, tapi belakangan menjelekkan sesama menteri ke publik, kan seperti anak
kecil saja. Satu lagi siapa, ya?"
Lama Romo diam, jadi saya mengingatkan: "Menteri
Koperasi yang orang Bali itu." Romo seperti baru sadar, "Oya,
benar-benar lupa, soalnya kegiatannya tak pernah diliput media. Atau tak
melakukan apa-apa? Itu enaknya jadi menteri yang jauh dari sorotan media,
rapornya merah atau kuning, tak ada yang tahu. Jadi, saya juga tak
tahu." Romo tertawa.
"Tapi begini, bukan soal dari partai atau bukan,
orangnya berkualitas dan cocok di bidangnya atau tidak," Romo
melanjutkan. "Menteri dari PDIP itu kurang pas dengan bidangnya. Mungkin
nama yang disodorkan partai terbatas dan Jokowi saat itu memilih kucing dalam
karung. Begitu pula menteri dari NasDem, sama saja bikin Jokowi kelabakan,
malah melahirkan istilah rakyat tak jelas. Tapi kan ada menteri dari partai
yang tahu betul tugasnya dan buktinya bikin tenteram umat. Menteri Agama. Ini
Ramadan paling tenang, tak ada sweeping
dari ormas garis keras karena dari awal Menteri sudah bilang: hormati juga
orang yang tak berpuasa."
"Romo," saya menyela. "Pak Lukman Saifuddin
itu memang orang PPP, tapi kayaknya Jokowi memilihnya sebagai profesional.
Beliau tak pernah menampilkan diri sebagai orang partai setelah jadi Menteri
Agama. Ini menteri untuk seluruh umat."
"Ya, ya," Romo tertawa. "Akhirnya kita
membedah para menteri. Untung kita bukan pengamat, jadi kalau ngawur orang
pun tak sewot. Yang jelas, Jokowi butuh waktu lama untuk rombak kabinet.
Tekanan masih kuat. Yang nafsu itu kan para politikus." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar