Menjadi seperti Yunani
Anggoro
Budi Nugroho ;
Dosen Sekolah Bisnis dan
Manajemen
(SBM)
ITB, Bandung
|
KOMPAS,
11 Juli 2015
Yunani mulai digunjingkan oleh
masyarakat seluruh dunia. Tiap bangsa, seisi bumi, mulai berkaca seberapa
lama krisis negeri kuno yang sakit itu mulai tiba di negerinya atau dengan
cara bagaimana negerinya bisa menjadi bak Yunani.
Berikut hal-hal yang dapat
menjadikan Indonesia seperti Yunani sekaligus seberapa mungkin krisis
tersebut tiba di Tanah Air.
Menjadi
”Yunani”
Krisis Yunani didahului oleh
depresi yang memberat sejak akhir krisis kredit perumahan kelas menengah ke
bawah (subprime mortgage) di
Amerika Serikat pada 2008. Data-data menunjukkan, konsumsi global dan
pertumbuhan yang menurun akibat pola permintaan Amerika Serikat yang melemah
mulai masuk ke perekonomian Yunani melalui sektor pariwisata dan investasi
asing, dua kegiatan penunjang utama ekonomi Yunani.
Melemahnya investasi asing yang
masuk diiringi penurunan penawaran di sektor pariwisata tersebut membuat
produk domestik bruto (PDB) Yunani melambat dan berujung pada meningkatnya
angka pengangguran. Peringkat daya beli terus menurun akibat penyerapan
tenaga kerja yang turun tersebut, berakibat pada ketiadaan insentif bagi
sektor riil dan produksi untuk berekspansi dan akhirnya menurunkan kapasitas
produksi nasional.
Angka pengangguran di Yunani sejak
kuartal II-2009 meningkat tajam hingga mencapai 26,6 persen pada 2014,
mengakibatkan pemerintah harus turun tangan menaikkan stimulus perekonomian
dengan cara membuka operasi anggaran seluas-luasnya. Angka pengangguran
tersebut adalah angka yang belum pernah terjadi di AS sejak depresi besar (great depression) tahun 1930-an.
Dalam ilmu ekonomi dikenal istilah
angka rasio dependensi saat kita membincangkan tentang pembangunan. Angka
dependensi adalah rasio nisbi antara banyaknya populasi yang berada di luar
rentang usia produktif, yaitu yang dikenal sebagai klasifikasi ”angkatan
kerja”.
Dengan demikian, rasio dependensi
menunjukkan perbandingan antara jumlah mereka yang tidak produktif (sangat
muda dan sangat tua) dan total populasi penduduk yang masih produktif
bekerja. Semakin tinggi angkanya, beban usia produktifnya akan semakin berat.
Penelusuran yang dilakukan Business Risk and Finance Sekolah Bisnis
dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (BRF SBM ITB) menunjukkan, angka
rasio dependensi Yunani pada 2010-2014 meningkat 7 persen dalam kurun waktu
tujuh tahun, dari 49 persen pada 2007 menjadi 52,25 persen selama 2014.
Besarnya penduduk usia pensiun di negeri itu membuat ketergantungan warga
Yunani pada dana pensiun yang dibayarkan oleh pemerintahnya menjadi besar.
Sayangnya, besarnya tekanan pada
kebutuhan fiskal Pemerintah Yunani tersebut direspons oleh negara melalui
penambahan utang/pinjaman. Per 2006, rasio utang Pemerintah Yunani terhadap
PDB telah mencapai 100 persen. Sementara itu, pada akhir 2014, angka tersebut
menukik sampai 177,1 persen atau setara 240 miliar euro. Utang-utang ini
tersebar dalam bentuk obligasi negara ataupun dana talangan dengan bunga
murah yang disimpan pada sektor perbankan Yunani.
Tingginya rasio dependensi
demografi, besarnya peran anggaran pemerintah dalam struktur perekonomian,
dan kurangnya diversifikasi industri adalah tiga hal yang dapat dipetik
sebagai pelajaran agar krisis Yunani jangan sampai terjadi di Indonesia.
Berapa
lama?
Kita tentu bertanya-tanya, berapa
lama krisis tersebut akan tiba di Indonesia?
Penghitungan yang dilakukan oleh
tim ekonomi BRF SBM ITB menunjukkan bahwa dibutuhkan sedikitnya penyimpangan
PDB sebanyak 1 hingga 1,4 kali deviasi standar agar rambatan nilai tukar mata
uang euro akibat depresiasi nilai tukar pasca bail out oleh Uni Eropa, jika sungguh terjadi, satu bulan lebih
cepat tiba di Indonesia.
Penolakan masyarakat Yunani terhadap
opsi perbantuan dana talangan berikutnya dari Troika melalui referendum pada
7 Juli 2015 bukan solusi akhir bagi krisis Yunani. Negeri ini akan tetap
berada pada skema mencari dana talangan dan bantuan pelonggaran fiskal dari
pihak lain untuk menstimulasi pertumbuhan ekonominya.
Ada dua kanal yang dapat
menyebabkan masuknya krisis Yunani ke dalam perekonomian domestik.Pertama,
melalui neraca pembayaran. Surplus neraca pembayaran yang dipicu oleh
transaksi berjalan pada Januari dan Juni lalu belum terbukti lestari di
Indonesia. Dibutuhkan penyaksian yang lebih panjang agar dapat
sungguh-sungguh menghela napas dan sadar bahwa perdagangan kita membaik. Lalu
lintas modal masuk, yang menjadi perhatian lebih luas dari sekadar neraca
perdagangan, menunjukkan bahwa Indonesia masih kerap rawan ditinggal oleh
investor asing di pasar portofolio walau tingkat optimisme masih tinggi, yang
ditunjukkan oleh masih meningkatnya tren indeks saham.
Depresiasi rupiah terhadap dollar
AS yang terjadi sejak era pemerintahan rezim Susilo bambang Yudhoyono tidak
dibarengi dengan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terbukti
justru naik. Ini sinyalemen positif bahwa penilai kinerja perekonomian
nasional oleh asing tidak didasarkan semata pada pengawasan terhadap nilai
tukar mata uang. Ada harapan bagi tetap stabilnya neraca pembayaran.
Apabila Uni Eropa menalangi utang
Pemerintah Yunani sebagai konsekuensi zona perekonomian kolektif, kontraksi
perekonomian negara-negara anggota dapat terjadi akibat penurunan belanja
negara dalam kalkulasi PDB. Namun, seberapa masif dampaknya bagi tiap
negara-akan berbeda-beda. Yang jelas, permintaan ekspor Eropa terhadap
komoditas domestik akan menurun.
Cukup
aman
Hanya, kita cukup berlega karena
baik Yunani maupun Eropa bukan partner dagang utama Indonesia. Sampai bulan
Februari 2015, data Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional
Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa India, Singapura, Tiongkok, Jepang,
dan Amerika Serikat masih menjadi negara sasaran ekspor terbesar Indonesia.
Ancaman krisis Yunani terhadap PDB nasional belum terlihat memungkinkan.
Kedua, melalui nilai tukar.
Depresiasi euro, seandainya terjadi, akan membuat negeri-negeri Eropa
mengetatkan pengeluaran pemerintahnya dan fokus pada penjagaan agenda-agenda
ekonomi domestik. Jika Uni Eropa memutuskan mem-bail-out utang Yunani, yang
umumnya dipegang oleh Jerman, Perancis, dan Dana Moneter Internasional (IMF),
pengetatan fiskal yang bisa berujung pada pemotongan subsidi bahan bakar
minyak, listrik, dan biaya pendidikan bisa saja segera dirasakan oleh seluruh
warga Eropa.
Hal ini akan menimbulkan gejolak
sosial di negara-negara anggota dan berakhirnya investasi pemerintah pada
proyek-proyek vital yang menyerap permintaan domestik akan tenaga kerja
maupun belanja barang. Jika pemerintah negara-negara Eropa memutuskan
menggunakan utang luar negeri sebagai instrumen solusi untuk mengatasi dampak
turunan ini, nilai tukar euro akan terdepresiasi dan ini dapat sejenak
menguntungkan Indonesia.
Namun, jika peningkatan tarif,
pajak, dan bea masuk impor yang digunakan, tentu ini akan memukul permintaan
Eropa terhadap barang-barang impor termasuk dari Indonesia. Melihat besarnya
tekanan sosial yang akan sudah terjadi jika opsi ini diambil, tampaknya
langkah terakhir ini sangat kecil kemungkinannya terjadi.
Krisis selalu terjadi ibarat virus
yang selalu mencari kelemahan tubuh. Ia terjadi saat tubuh yang mempunyai
kelemahan internal, terbuka lubangnya untuk dimasuki daya tahannya, dan
menjadi sakit. Memang, krisis Yunani masih berada pada fase yang belum akan
menunjukkan dampak apa pun terhadap perekonomian RI.
Namun, dalam waktu tidak lama
lagi, jika pemerintah negeri itu telah menunjukkan langkah apa yang akan
diambil untuk mengatasi krisisnya, hal tersebut akan menjadi awal kemungkinan
adanya dampak bagi perekonomian negeri tercinta. Tetap waspada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar