Mengulang Krisis Tahun 1998?
Benny
Pasaribu ; Mantan
Ketua Komisi XI DPR RI Fraksi PDIP
|
KORAN
SINDO, 09 Juli 2015
Presiden Jokowi dengan Kabinet
Kerja telah mulai meletakkan fondasi untuk membangun perekonomian Indonesia
menatap masa depan yang lebih baik.
Keberanian mengurangi, bahkan
menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM) atas jenis premium, merupakan
langkah besar untuk menyehatkan kondisi fiskal dan neraca transaksi berjalan
yang selama tiga tahun terakhir mengalami defisit. Struktur APBN yang
didominasi pembayaran utang dan subsidi dalam sekejap diubah menjadi lebih
seimbang dengan mengalihkan subsidi BBM ke pembiayaan fisik infrastruktur.
Berbagai kebijakan ekonomi lainnya
juga telah dicanangkan. Namun, banyak kalangan yang mempertanyakan outcomenya.
Di antaranya apa manfaatnya bagi masyarakat sekarang ini? Kenapa kondisi
ekonomi akhir-akhir ini faktanya makin terpuruk, nilai rupiah melemah,
industri mulai merumahkan pekerjanya, pengangguran dan kemiskinan bertambah?
Tidak bisa dimungkiri, tanpa
komunikasi yang efektif, banyak warga yang semula simpati menjadi sinis
terhadap pemerintah, yang berakibat pada penurunan popularitas dan dukungan
warga terhadap kepemimpinan Jokowi. Barangkali inilah yang disebut fenomena
pil pahit, yang sejatinya semua kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi
adalah obat/solusi, tapi sebaliknya warga merasa kepahitan sekarang ini.
Saya pelajari ada beberapa hal
yang bisa menjelaskan persoalan ini antara lain: Pertama, memang Presiden
Jokowi lebih fokus menghalau bottleneck pembangunan daripada melanjutkan
program yang selama ini dijalankan, apalagi dengan cara business as usual. Konsep seperti ini tampak sebagian bermanfaat
langsung sebagai shock therapy
dalam jangka pendek. Sayangnya, operasi kejut yang dilakukan belum direspons
secara baik oleh aparat terkait.
Kedua, program Presiden Jokowi
juga fokus pada pembangunan yang hasilnya dapat dilihat dalam jangka menengah
dan panjang seperti pembangunan infrastruktur. Semula dana APBN digunakan
untuk subsidi BBM yang langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi sekarang
dialihkan untuk membiayai infrastruktur.
Ketiga, penyerapan APBN yang
lambat dan kecil juga menggeser manfaatnya bagi rakyat ke semester
berikutnya. Keterlambatan penyerapan APBN terjadi karena dua hal: Pertama,
ada perubahan nomenklatur dan struktur organisasi kementerian yang ternyata
membutuhkan waktu hampir enam bulan lebih untuk penyesuaian. Kedua, ada
kelambatan dalam pengisian jabatan karena harus melalui panitia seleksi yang
ternyata juga membutuhkan lebih dari dua bulan.
Keempat, kondisi ekonomi global
terutama krisis ekonomi di Eropa (terutama Yunani) dan pesatnya kemajuan
ekonomi AS telah menekan mata uang di seluruhnegara terkait, termasuk euro
dan rupiah. Lebih parah lagi, hilangnya nilai mata uang ternyata tidak
otomatis mendongkrak ekspor, seiring dengan kelesuan pasar domestik di
sejumlah negara tujuan ekspor kita, seperti di negara Eropa lainnya, China,
India, dan sebagainya.
Alasan saya menulis judul ini
adalah banyak teman-teman saya pelaku di pasar modal, perbankan, grup media
sosial, dan krim pesan singkat (SMS) yang bertanya apakah kelesuan ekonomi
sekarang menuju krisis seperti pada 1998? Terus terang jawabannya tidak
mudah. Tetapi, tidak cukup alasan untuk mengambil kesimpulan bahwa kelesuan
ekonomi saat ini akan menuju krisis ekonomi seperti pada 1998.
Kenapa? Pertama, fundamental
ekonomi memang masih kuat, pertumbuhan masih bisa 4,7%, cukup tinggi
dibanding negara lain hanya di sekitar2-4%. Sementara pada 1998 ekonomi
bahkan minus sekitar 14%.
Kedua, utang luar negeri kita
masih pada level aman karena masih di sekitar 30% dari PDB, dibanding Yunani
dan negara lain mencapai 100% lebih. Memang saya amati bahwa ada tren melemah
dari sisi kemampuan bayar utang sejalan dengan penurunan nilai ekspor.
Ketiga, produksi pangan dan
ketersediaan kebutuhan pokok lainnya di pasar dan toko-toko masih cukup
banyak sehingga harga-harga masih terkendali, bandingkan dengan kelangkaan
bahan pokok ketika krisis 1998. Impor pangan juga sangat drastis menurun
sehingga tidak banyak menguras devisa negara.
Keempat, sejumlah industri memang
ada yang sudah merumahkan pekerjanya bahkan gulung tikar. Tetapi, hal itu
masih wajar karena dalam kondisi normal juga ada yang bangkrut, apalagi dalam
kondisi pasar lagi terpuruk. Syukurlah aktivitas usaha mikro kecil dan menengah
(UMKM) masih menggeliat tumbuh, terutama yang mampu ekspor.
Kelima, pelemahan nilai rupiah
memang terjadi secara spesifik terhadap dolar Amerika saja (mencapai Rp13.300
per USD1). Tetapi, kita bisa bersyukur karena ternyata nilai rupiah terhadap
mata uang negara lain (di luar dolar Amerika) masih relatif stabil dan
cenderung menguat misalnya terhadap euro. Kalau kita impor, bisa lebih murah
dari Eropa dan ekspor bisa lebih menguntungkan ke AS dan negara pengguna
dolar Amerika lainnya.
Keenam, kondisi umum perbankan
kita masih cukup kuat dilihat dari sisi CAR dan NPL yang tetap terkendali.
Sejumlah bank bermasalah selalu ada walau dalam keadaan normal. Bank seperti
itu perlu segera ditutup oleh OJK, tanpa bailout, tentu dengan komunikasi
publik yang baik dan efektif. Memang tampaknya likuiditas perbankan perlu
ditingkatkan untuk menghindarkan suku bunga tinggi.
Lagi-lagi, kita tidak perlu
khawatir karena tidak ada indikasi kuat yang mengarah pada krisis ekonomi
seperti pada 1998. Kecuali jika pemerintah mengambil keputusan dalam keadaan
panik.
Pertanyaan berikutnya, jika
demikian halnya, mengapa banyak pengamat dan politisi merasa galau melihat
kondisi lesu sekarang ini? Siapa yang patut dipersalahkan? Pemerintah dalam
beberapa bulan sudah banyak meletakkan program untuk kepentingan jangka
menengah dan panjang.
Saatnya lebih fokus untuk jangka
pendek melakukan mitigasi terhadap dampak pelemahan kurs dan upaya
pengembangan kapasitas dan pasar domestik. Menurut saya, respons pemerintah
yang paling tepat saat ini antara lain:
Pertama, soliditas dan kerja sama antar
kementerian atau lembaga (K/L) perlu ditingkatkan. Sejalan dengan itu, peran
menko harus betul-betul efektif merumuskan semacam letter of intent untuk masing-masing K/L yang secara mingguan
dimonitor progresnya.
Kedua, seluruh instrumen
intervensi negara perlu fokus untuk memberikan tindakan afirmatif.
Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan LPS perlu segera mengambil
langkah-langkah antisipatif terhadap bank-bank yang kesulitan likuiditas. Tidak perlu
takut efek psikologis dari penutupan bank jika diikuti dengan keterbukaan
informasi dan sosialisasinya kepada masyarakat. Jika kita menutup bank pada timing yang tepat, saya yakin tidak
perlu kerugian negara sampai berdarah-darah seperti saat bailout Bank Century enam tahun yang lalu.
Ketiga, sejumlah peraturan
perundang-undangan, terutama PP, perppres, SKB, dan permen perlu segera
dikoordinasikan perubahannya agar tidak menjadi bottleneck dan tumpang tindih
peraturan dengan peraturan daerah. Pelaksanaan Nawacita membutuhkan
penyempurnaan terhadap sebagian dari peraturan perundangundangan yang ada.
Keempat, APBN perlu difokuskan
untuk mengatasi dampak kelesuan ekonomi di luar dana untuk infrastruktur dan
kebutuhan dasar masyarakat. Usulan Dana Aspirasi DPR RI wajib dipertimbangkan
ulang karena tidak sesuai dengan UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
dan UU tentang Keuangan Negara. UU MD3 perlu segera direvisi karena UU
tersebut diduga hasil ”akalakalan DPR RI” untuk ikut menjadi bagian dari
pemerintah.
Kelima, jadikan koperasi sebagai
wadah pemberdayaan ekonomi rakyat dengan mendorong kerja sama antara koperasi
dan PT Pupuk (Holding) sebagai penyalur pupuk dan benih; antara koperasi dan
BRI sebagai penyalur kredit; dan antara koperasi dan Bulog untuk membeli
pangan dari para petani.
Keenam, penggunaan dana CSR BUMN
perlu didorong lebih cepat agar likuiditas beredar di lingkungan warga
masyarakat dan kegiatan usaha kerakyatan dapat bergerak untuk pembukaan
lapangan kerja dan peningkatan pendapatan warga.
Ketujuh, khusus untuk menjaga
stabilitas nilai rupiah, pemerintah perlu mempertimbangkan ada kebijakan baru
yang mengatur pengendalian transaksi valas, khususnya pembatasan jumlah dana withdrawing perbankan dalam bentuk
dolar Amerika.
Pemerintah juga perlu mendorong
masuknya dolar Amerika dari luar negeri melalui misalnya dengan mewajibkan
dana hasil ekspor disimpan di perbankan domestik dengan insentif yang
memadai. Kebijakan tax amnesty perlu dilakukan secara konsisten dan konsekuen
walaupun menghadapi banyak pro kontranya.
Sebagai penutup, saya juga bisa
memahami dan merasakan keadaan perekonomian keluarga atau kelompok masyarakat
yang beberapa bulan terakhir ini makin sulit dan terpuruk. Tetapi, untuk
kepentingan perjalanan sejarah bangsa ke depan, kita tidak perlu mengulangi
kesalahan kolektif seperti pada awal reformasi. Tidak gampang memilih
Presiden.
Setiap langkah dan aktivitas warga
yang mengarah pada kegaduhan politik dan gangguan stabilitas keamanan saat
ini dapat menjadi pemicu krisis ekonomi seperti pada 1998. Saya masih penuh
harap, saat ini negara masih membutuhkan Presiden Jokowi dan Wapres JK untuk
melakukan tugasnya dengan lebih percaya diri dan konsisten terhadap
konstitusi, Trisakti, dan Nawacita. Kesadaran kolektif dan soliditas kita
sebagai warga bangsa diperlukan ketika ekonomi bangsa sedang sulit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar