Menakar Kinerja Kabinet
Kuntoro Mangkusubroto ;
Ketua Dewan Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB; Pendiri Institut
Deliverologi Indonesia (IDeA)
|
KOMPAS,
28 Juli 2015
Pemerintah ada untuk rakyat. Pemerintah bekerja untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Maka, jika berbicara tentang kinerja
pemerintah, di ujung titian sana, rakyatlah yang paling pantas dan berhak
menilai: sudah klopkah janji dengan realisasi?
Barangkali kita pernah mendengar sekolah menengah atas negeri
(SMAN) masuknya tanpa bayar. Namun, dari curhatan beberapa wali murid SMAN
yang saya dengar, antara lain dari Baturaden, Pekalongan, Lembang, ternyata
mereka harus merogoh rata-rata Rp 4 juta tanpa jelas peruntukannya sebagai
pungutan apa. Duit sebesar itu tentu bukan receh bagi masyarakat kecil. Belum
lagi beban ongkos logistik dan transportasi akibat masih buruknya
infrastruktur hingga membuat harga telur mencapai Rp 2.000 per butir atau
bahkan lebih.
Bagaimana pula saudara-saudara kita yang tinggal di pelosok desa
dan pulau terluar, terdepan, atau perbatasan negara? Pada segmen masyarakat
yang biasa bertransaksi dengan dollar, kita dengar keluhan tingginya nilai
tukar rupiah yang sudah mencapai Rp 13.300 (dua tahun lalu masih Rp 11.000)
per dollar AS. Pada segmen lain, koreksi angka pertumbuhan ekonomi menjadi
5,4 persen pada 2015-dari asumsi semula 5,7 persen dan bahkan di atas 7
persen jika sesuai janji kampanye-dinilai bukanlah pertanda baik dari kinerja
pemerintah. Hal-hal konkret inilah yang acap dirasakan, dan lalu ditautkan
oleh masyarakat sebagai (indikator) "kinerja pemerintah".
Pada sisi lain, agar di kemudian hari tak terjadi
kejutan/letupan yang akan merepotkan dirinya sendiri, dari waktu ke waktu
pemerintah dituntut bisa menakar dan mengukur kinerjanya secara tepercaya.
Sebagai orang yang pernah berada di dalam pemerintahan, saya menyadari betul
ada beberapa problem laten di pemerintahan biarpun rezim berganti-ganti.
Catatan ini semata-mata amatan dan pengalaman pribadi, dari kacamata mantan
"orang dalam" yang kini telah bebas serta menikmati kebebasan untuk
mengamati dan berbagi. Janji itu utang Pak Jokowi terpilih sebagai presiden.
Mengapa rakyat memilihnya? Karena dulu, saat kampanye, Pak Jokowi pernah
menyampaikan sekumpulan janji yang memikat hati sebagian besar rakyat.
Janjinya macam-macam, termasuk Nawacita. Siapa pun sosoknya, rakyat hanya
tahu Pak Jokowi telah menjanjikan sesuatu dan karena janji itu beliau dipilih
sebagai presiden.
Kelak, pada akhir 2019, janji itu ditagih rakyat. Kabinet Kerja,
oleh karena itu, harus mengusung dan mewujudkan program-program Pak Jokowi
selaku presiden. Bukan saja program yang termaktub dalam Nawacita, melainkan
juga yang lebih luas dan amat relevan, misalnya perdagangan, pembayaran
utang, hingga (potensi) konflik horizontal. Di atas itu semua, janji-janji
kampanye adalah tulang punggung utama program strategis pemerintah: utang
kepada jutaan rakyat yang mendudukkan Pak Jokowi sebagai presiden.
Konkret,
jelas, dan terukur
Kontrak Kinerja Presiden tak bisa bekerja sendiri. Untuk itulah
presiden memilih dan menunjuk sekumpulan putra terbaik bangsa bergabung
membantunya sebagai pemimpin kementerian/lembaga (K/L). K/L, bekerja sesuai
arahan presiden, dipimpin oleh menteri/setingkat menteri yang notabene
orang-orangnya presiden. Jadi, tanpa terkecuali, mereka wajib menjalankan
program strategis presiden. Selaku pemimpin, para menteri atau kepala lembaga
harus "menggembalakan" jajaran K/L-nya, mau ke mana, apa yang akan
dicapai, dengan cara apa, dan lain-lain. Alhasil, kinerja menteri menjadi
sebangun-sesisian dengan kinerja presiden karena merekalah pembawa misi yang
merefleksikan janji-janji presiden.
Para menteri adalah komandan kementerian. Status ini yang
membuat kita agak susah membedakan antara kinerja menteri dan kementerian.
Baik-buruknya kementerian, menterilah yang bertanggung jawab. Di sinilah arti
penting mengapa tatkala seseorang diminta presiden menjadi menteri, perlu ada
satu kesepakatan "kontrak kinerja" mengenai apa-apa saja yang harus
dicapainya dan kapan. Kontrak kinerja adalah suatu kesepakatan tempat
presiden menyatakan, "Saya ingin membawa bangsa ini ke arah sana.
Bantulah saya, wahai menteri, sesuai bidangmu, membawanya ke arah sana."
Yang dimaksud dengan "sana" adalah seperangkat tujuan yang jelas (eksplisit)
dan terukur (measurable).
Karena ini amanah, kapan pun presiden bisa menanyakan atau
menagih, "Wahai menteriku, apakah yang Anda lakukan sudah sesuai sasaran
yang saya maksud?" Jadi, bagi menteri, kejelasan dan keterukuran itu
sangat perlu. Kinerja pemimpin K/L perlu di-nyata-kan. Semisal, Mendikbud,
pagi-pagi perlu menyatakan secara jelas apa maksud dan bagaimana
mengejawantahkan "revolusi mental" dalam konteks dikbud? Apakah
cukup dengan memberikan modul tambahan kepada para guru guna menambah muatan
mata pelajaran tertentu? Berapa ribu guru yang perlu dilatih? Sampai kapan?
Mekanismenya seperti apa? Untuk Menteri ESDM: berapa barrel minyak yang perlu
dihasilkan? Apakah 1 juta barrel per hari? Kapan dan berapa pencapaian angka
"masuk akal"-nya?
Begitu kontrak kinerja ditandatangani dan di tangan, akan
menjadi jelas apa yang perlu dicapai. Para menteri tinggal menjabarkannya ke
dalam aksi-aksi konkret tahunan, bahkan dwibulanan, beserta cara-cara
mewujudkannya. Dengan demikian, bagi Menteri Pertanian, ia akan tahu persis
apa yang perlu dicapai terkait pengadaan beras, irigasi, benih, dan
sebagainya. Ini juga bisa menjawab, apakah pembagian traktor itu memang benar
merupakan bagian dari tugas kementeriannya? Ukuran-ukuran semacam ini harus
diterapkan ke semua menteri. Layaknya sebuah kontrak antara pemimpin dan anak
buahnya, kontrak kinerja jadi acuan dasar atau basis bagi dilakukannya
perubahan di tengah jalan. Sebaliknya, jikalau acuan dasarnya absen, andai
sewaktu-waktu diperlukan perubahan, perubahan itu hampir pasti akan menuai
kegaduhan debat kusir. Sebuah energi yang semestinya tak perlu dikeluarkan.
Semua butir kesepakatan dalam Kontrak Kinerja Menteri berangkat
dari visi-misi presiden. Apa pun nama visi-misinya, yang pasti, harus clear
dan dapat dijalankan (workable).
Perubahan-perubahan di dalam struktur kabinet pun harus mencerminkan
visi-misi presiden. Dilakukannya fisi dan fusi K/L ataupun transfusi sebuah
unit dari satu K/L ke K/L lain pun secara konsisten harus merefleksikan
visi-misi itu. Resonansi sinyal komunikasi yang buruk memancarkan
sinyal-sinyal yang justru tak membantu dalam menjelaskan kepada rakyat
mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Kurang solidnya para pembantu presiden
di lingkungan Istana juga termasuk. Kalaupun teresonansi, sinyal-sinyal itu
sulit diterima, menjelma noise, atau pesannya membingungkan.
Ada dan
bekerja
Komunikasi adalah pernyataan-pernyataan, adapun sinyal adalah
"komunikasi plus". Sinyal lebih kompleks karena di dalamnya terajut
relasi banyak aspek, antara lain: pernyataan, gambar, grafik, gestur, hingga
pernyataan lepas-yang seolah-olah tanpa konteks, tetapi bermakna-bagi rakyat.
Sinyal yang meleset akan merepotkan dan mendistorsi kepastian hingga
kepercayaan (trust). Kita perlu
lebih cermat jika harus menjaminkan ukuran kinerja semata-mata pada frekuensi
munculnya "aktivitas komunikasi" menteri (baca: popularitas) di
media massa. Betapa tidak, media massa cenderung bias. Biasnya itu bisa
akibat kepemilikan modal, lembaga konsultan yang diminta menilai, hingga
afiliasi politik pemiliknya.
Apabila ini semua telah dipertimbangkan dan kemudian dapat
ditangani secara baik, setidaknya modal untuk mengukur kinerja pemerintah itu
sudah ada, tinggal menunjuk unit yang mengawal evaluasi kinerja pemerintah.
Unit inilah yang kemudian melapor ke presiden agar, dari waktu ke waktu,
presiden bisa luwes dan yakin dalam melakukan perubahan-perubahan tanpa harus
keluar dari konteks teknis pemerintahan. Karena sistematis, presiden niscaya
terbantu dan konfiden ketika tiba saatnya melakukan pengambilan-pengambilan
keputusan.
Berangkat dari hal-hal di atas, sedikitnya terdapat empat butir
yang menurut hemat saya perlu dijalankan. Pertama, "ikat" para
pemimpin K/L dengan kontrak kinerja-terlepas akan ada kocok ulang atau tidak-agar
manakala di kemudian hari ada perubahan, semua pihak bisa memiliki acuan
sama. Kontrak kinerja dijabarkan menjadi program-program K/L dengan ukuran
jelas dan terukur. Penjabarannya, ada baiknya, per tahun. Sebagai permulaan,
milestone evaluasi paling dekat terpenting adalah Desember 2015. Pasalnya,
pada titik itu, bilamana ditemukan ketidaksesuaian atau penyimpangan, segera
dapat dilakukan pembenahan. Jadi, jabarkan dulu hingga Desember 2015; baru
menyusul yang sampai Desember 2016, Desember 2017, dan seterusnya.
Berdasarkan prioritas-prioritas inilah aspek perencanaan mengikutinya.
Kedua, tunjuk satu lembaga untuk mengawalnya. Namanya boleh apa
saja. Karena merupakan unit-independen-di- dalam-pemerintahan yang memberi
masukan kepada presiden, ia harus obyektif, pantang terbelit kepentingan apa
pun, baik politik maupun lainnya. Kerjanya bukan semata "kerja
konvensional" monitoring-evaluasi-melapor (kepada presiden), tetapi yang
jauh lebih penting adalah melakukan perbantuan (consulting), pembenahan, serta penguraian sumbatan terhadap K/L
bahkan daerah.
Ketiga, (pemimpin) K/L harus meningkatkan kemampuannya dalam
menyampaikan sinyal-sinyal positif lebih dari sekadar kebutuhan untuk
berkomunikasi. Contoh: bagaimana kita memberikan sinyal terkait sebuah produk
keputusan presiden yang keliru atau sinyal terkait peneraan nomenklatur
kelembagaan yang kurang tepat. Alih-alih problem teknis, hal ini sebetulnya
merupakan problem mendasar organisasi, yakni penguasaan komunikasi dan
psikologi massa. Keempat, perkuat sistem aduan rakyat yang sudah eksis itu,
yakni LAPOR! (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat), dalam hal
kecepatan respons dan tindak lanjutnya. Pengelola LAPOR! harus punya
kemampuan melakukan penguatan kepada K/L/ daerah agar terus memperbaiki
kinerja.
Kesemua empat butir itu memiliki arti penting bagi rakyat.
Rakyat menjadi melek bahwa pemerintahnya tak absen. Pemerintahnya ada dan
bekerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar