Limit Kamu Ada di Sini
Azrul
Ananda ; Dirut
Jawa Pos Koran
|
JAWA
POS, 08 Juli 2015
Pernahkah Anda –dalam hal apa pun–
mem-push diri sendiri hingga batas kemampuan? Lalu, berapa kali
mengulanginya?
***
John R. Mohn, ayah kedua saya yang
tinggal di Amerika Serikat, mungkin adalah orang yang paling berjasa dalam
membuka mata dan pikiran saya. Sekaligus menemukan cara untuk ’’unlock’’
potensi yang ada pada diri saya.
Ayah angkat saya saat SMA di
Kansas itu memang tidak punya anak laki-laki, jadi setiap hari menemani saya,
menunjukkan dan mengajari banyak hal.
Yang paling berguna buat saya
sekarang tentu bagaimana menjadi fotografer yang baik untuk koran sekolah
maupun koran lokal yang dia pimpin. Plus bagaimana menjadi lay-outer yang
baik, serta prinsip-prinsip dasar jurnalistik.
Selain itu, bagaimana menjadi
kicker yang baik dalam permainan American Football, serta mengajari bagaimana
menembak menggunakan pistol dan shot gun (wkwkwkwk), juga bagaimana memotong
kayu perapian memakai kapak (seperti dalam film The Avengers: Age of Ultron).
Dan lain sebagainya…
Karena saya tinggal di kota kecil
yang penduduknya tidak sampai 3.000 orang, dia pula teman terdekat saya
selama setahun menjadi peserta exchange student (pertukaran pelajar) di
Kansas itu.
Ketika kali pertama datang di
rumahnya, saya tidak tahu bahwa dia ternyata juga keluarga media. Mungkin
garis tangan saya harus selalu tinggal bersama keluarga media.
Dan karena kemampuan bahasa
Inggris saya belum jago, maka dia menjadikan saya fotografer di koran sekolah
(yang dia bantu didik dan kelola), plus membantu jadi fotografer di koran
yang dia pegang.
’’Kamera adalah alat yang baik
supaya kamu bisa bertemu dengan orang, dan orang berbicara dengan kamu,’’
katanya waktu itu.
Sebuah kamera Nikon FM-2 pun
selalu terkalung di leher saya selama bulan-bulan pertama SMA di Amerika…
Bagaimana hasil fotonya? Namanya
anak superkurus umur 16 tahun, dengan kamera berat yang full manual, dan
dengan mata yang minusnya terus mendekati angka 10, tentu saya bukanlah
fotografer terbaik.
Masalah utama saya menurut John:
Camera movement. Tangan tidak bisa tenang saat menge-klik. Ketajaman foto
tidak bisa optimal.
Skill saya dalam memproses film
dan mencetak foto di ruang gelap juga bukan yang terbaik.
Masalah utama saya menurut John:
Tidak sabaran.
Meski demikian, kata John, saya
ini termasuk yang tidak mau menyerah. Tidak pernah menghitung waktu. Tidak
mau berhenti sampai pekerjaan tuntas.
Dan itu, kata dia, akan membuat
saya lebih baik daripada fotografer sekolah lain saat itu.
’’Bakat kamu ada di sini,’’ kata
John sambil memosisikan tangannya sejajar dengan dada. ’’Orang lain ada yang
di sini,’’ tambahnya lagi sambil menempatkan tangan di atas kepala.
Walau level talenta saya tidak
setinggi yang lain, John bilang tidak perlu khawatir. Asal kita terus bekerja
di batas kemampuan, maka upaya kita itu akan terus membentur atap batas
kemampuan tersebut. Ketika terus dibentur-benturkan, atap batas kemampuan itu
pun terdorong ke atas terus-menerus.
John lantas menempatkan lagi
tangan kanannya sejajar dengan dada, lalu tangan kirinya memukul-mukul
telapak tangan kanan itu pelan-pelan ke atas.
***
John pun berbicara hal yang sama
kepada seluruh staf Ellinwood Eagles, koran sekolah saya yang juga punya
kewajiban mengerjakan buku tahunan sekolah.
Dia bilang, secara bakat, tim
jurnalistik saya waktu itu tidak sebaik tim tahun sebelumnya. Dan tim tahun
sebelumnya memang sangat berbakat, sampai akhirnya menjadi juara negara
bagian, dan menjadi salah satu yang terbaik di Amerika.
John blak-blakan di depan kami
semua. Dia bilang, Pemred kami waktu itu tidak sehebat tahun sebelumnya dalam
hal menulis dan meng-edit. Talenta staf yang lain juga dianggap pas-pasan.
’’Fotografernya saja belum fasih berbahasa Inggris,’’ tambahnya sambil
melirik ke saya.
Tapi, dia menegaskan, tidak
berarti tim ini tidak bisa berprestasi dan menghasilkan koran sekolah yang
baik.
Dengan tim tahun saya itu, John
benar-benar harus lebih sabar membina. Butuh waktu bagi tim itu untuk bisa
bekerja dengan baik, dan bisa kompak bekerja.
Alhasil, kami pun sering bekerja
sampai malam di ruang redaksi sekolah (rata-rata sampai pukul 9 malam). Demi
memastikan standar setiap terbitan sebaik-baiknya (sesuai harapan John
tentunya).
Kadang, kami pun harus bekerja
saat weekend, saat anak-anak lain santai libur. Bayangkan, ini sebuah koran
sekolah. Koran beneran saja belum tentu serajin ini!
’’Di kelas ini kita bisa banyak
belajar. Tapi, memenuhi deadline dan harus masuk bekerja pada akhir pekan
adalah yang terburuk,’’ komentar salah seorang rekan saya.
Walau sering mengomel, sering
saling mengomeli, dan sering diomeli John, semua kerja keras itu ternyata ada
hasilnya.
Kami mampu menjadi juara tingkat
regional, lalu meraih juara kedua tingkat negara bagian. Memang tidak sehebat
tim tahun sebelumnya. Tapi mengingat talenta dan potensi kami pada awal pembentukan,
kami sudah melangkah jauh.
Dalam buku tahunan, John
memberikan komentar yang merangkum tim kami dengan sangat pas:
’’Saya sering marah kepada tim
koran dan Yearbook, karena mereka tidak selalu bekerja memaksimalkan
potensinya. Di sisi lain, mereka tetap menghasilkan lebih banyak karya bila
dibandingkan tim-tim sebelumnya. Serta menjadi juara kedua di tingkat negara
bagian. Yearbook yang dihasilkan pun cukup bagus.’’
Lalu, ada komentar yang
benar-benar dia simpan sampai akhir: ’’Saya akan bilang bahwa saya bangga
pada mereka. Tapi, saya tak mau mereka mendengar ini sampai tahun ajaran ini
selesai.’’
***
Tulisan ini memang personal dan
contohnya diambil dari tim anak SMA. Tapi, saya rasa relevan untuk kita
semua. Ya, nggak?
Gara-gara John, saya paling sebal
melihat orang tidak mau berusaha. Gara-gara John, saya paling sebal melihat
orang mudah menyerah.
Ya, andai memaksa maksimal pun,
kita mungkin tetap tidak punya cukup bakat untuk jadi juara atau jadi yang
terbaik. Tapi, kita masih bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa, sesuatu
yang berkesan.
Kalau tidak, lalu hidup ini untuk
apa? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar