Lebaran di Ambang Krisis
Yudi Latif ;
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
14 Juli 2015
Menjelang Idul Fitri, cuaca
kebatinan yang terbit di relung jiwa bangsa ini semestinya memancarkan
optimisme kemenangan. Namun, berbagai tanda kelesuan perekonomian dan
kerentanan politik yang tak cepat tuntas membuat langit kejiwaan bangsa ini
diselimuti mendung pesimisme.
Saat gema takbir berkumandang,
kehidupan seperti roller coaster yang berjumpalitan antara optimisme dan
pesimisme. Antara fajar fitrah yang meneguhkan sikap hidup yang positif dan
kegelapan bumi yang menebar bayangan hidup yang negatif.
Dengan adanya prediksi akan
kemungkinan kembalinya megakrisis, yang kita perlukan untuk menyongsong
langit harapan bukanlah suatu optimisme yang buta, melainkan suatu optimisme
dengan mata terbuka (optimisme realistis).
Di satu sisi, kita harus tetap
menjaga sikap hidup yang positif karena pemikiran negatif tak akan membawa
kebaikan. Psikolog David D Burn mengingatkan bahwa depresi kejiwaan merupakan
hasil pemikiran yang salah. Ketika seseorang atau suatu bangsa depresi oleh
belenggu pesimisme, daya hidup dilumpuhkan oleh jeratan 4D-defeated (rasa
pecundang), defective (rasa cacat), deserted (rasa ditinggalkan), dan
deprived (rasa tercerabut)-yang dihayati sebagai kebenaran dan kenyataan
sejati.
Lebaran menghadirkan optimisme
yang lebar bahwa setiap krisis mengandung peluang pembelajaran dan
penyelesaian. Penyair Arab mengatakan, "Betapa banyak jalan keluar yang
datang setelah kepahitan dan betapa banyak kegembiraan datang setelah
kesusahan. Siapa yang berbaik sangka kepada Pemilik Arasy akan memetik
manisnya buah yang dipetik dari pohon berduri."
Di sisi lain, optimisme tersebut
haruslah bersifat realistis bahwa kegembiraan tidaklah datang dengan
sendirinya tanpa dijemput, tanpa diusahakan dengan pengorbanan. Dalam
gundukan sampah persoalan yang dihadapi bangsa saat ini, diperlukan
persenyawaan jutaan titik embun untuk bisa menjadi gelombang kesucian yang
bisa menyucikan najis kekotoran yang melumuri jiwa kenegaraan.
Dalam situasi demikian, kesucian
Idul Fitri bukanlah sesuatu yang harus diterima secara taken for granted.
Kita tidak cukup menjadi suci (secara pribadi), tetapi yang lebih penting
bagaimana kesucian itu bisa dipakai untuk menyucikan (negara). Seperti kata
Aristoteles, "Manusia baik belum tentu menjadi warga negara yang
baik." Manusia baik hanya bisa menjadi warga negara baik bilamana
negaranya juga baik. Sebab, di dalam negara yang buruk, manusia yang baik
bisa saja menjadi warga negara yang buruk.
Ibadah puasa dan bulan Ramadhan
mestinya menjadi momen mawas diri untuk bertobat (kembali) ke jalan fitrah
(kemurnian asal kita sebagai manusia dan bangsa). Gema takbir (pengagungan
Tuhan) mengajak kita keluar dari kesempitan ke kelapangan jiwa. Dalam
kebesaran Tuhan, setiap insan merupakan wujud ciptaannya yang paling sempurna
dengan kondisi awal yang sama-sama suci. Keyakinan akan keaslian yang suci
mengandaikan setiap orang memiliki sifat ketuhanan dengan lentera hanifnya
yang menuntun ke jalan benar.
Sebagai citra Tuhan, manusia
seyogianya memandang hidup secara positif dan optimistis. Setiap pribadi
tidak tercipta sia-sia, tetapi orang-orang istimewa dengan misi
kepahlawanannya sendiri-sendiri. Pertama-tama kita harus berprasangka baik
dengan desain penciptaan Tuhan karena Tuhan akan bereaksi sesuai prasangka
itu. Dalam hadis Qudsi disebutkan, "Aku sesuai sangkaan hamba-Ku
kepada-Ku, maka ia bebas berprasangka apa saja kepada-Ku."
Prasangka baik pada Tuhan akan
mengembangkan sikap positif pada hidup dan sesama. Bahwa pemikiran dan
tindakan baik tak akan berbuah keburukan, begitu juga pemikiran dan tindakan
buruk tak akan berbuah kebajikan. Dalam ungkapan James Allen, "Pemikiran
mulia akan melahirkan pribadi mulia, pemikiran negatif akan melahirkan
kemalangan."
Lebaran diharapkan membawa
optimisme yang lebar setelah manusia berhasil melewati ujian berpuasa. Bahwa
hidup bukanlah tanpa kesulitan dan ujian dan bahwa kemenangan hidup terletak
pada keberhasilan mengarungi ujian. Dalam sebuah hadis dikatakan,
"Ketahuilah bahwa pertolongan itu ada bersama dengan kesabaran dan jalan
keluar itu akan selalu beriringan dengan cobaan."
Prasangka baik akan melahirkan
optimisme. Dalam sikap optimistis, setiap momen adalah istimewa dan setiap hari
adalah lebaran. Timbullah hasrat untuk merebut hari ini, memberi makna bagi
hidup dan berbagai kebahagiaan dengan sesama.
Hanya dengan jiwa optimistis
manusia bisa mengemban misi kekhalifahan di muka bumi sebagai pemimpin yang
harus bertanggung jawab. Seperti sabda Nabi Muhammad, "Setiap kamu
pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya." Tanggung jawab kepemimpinan ini pada gilirannya tidak
hanya menuntut perhatian keluar, terlebih dahulu juga harus menengok ke
dalam, melakukan koreksi dan asah diri.
Orang yang sadar dirinya akan
memaha- mi Tuhannya. Orang yang memahami Tuhannya akan menyadari
kerendahhatian dan cinta kasih-Nya bahwa semakin besar bukan menjadi bahaya
bagi yang lain, malahan memberi ruang hidup bagi keragaman yang lain. Seperti
keluasan langit yang mampu memberi ruang bagi matahari, bulan, bintang, dan
semua yang terkait dengannya.
Orang yang memahami Tuhannya juga
akan menyadari keterbatasan dirinya. Adapun orang yang memahami keterbatasannya
akan giat belajar dan menghargai kehadiran orang lain dalam rangka menggosok
batu permata dirinya. Bahwa manusia senantiasa dalam proses menjadi dengan
memandang setiap momen sebagai kebaruan yang harus diisi dengan belajar dan
bekerja untuk menyempurnakan dirinya.
Dengan hati suci yang bertaut
dengan gelombang pertobatan kolektif, kita hadapi hadangan krisis dengan
kerja keras penuh tanggung jawab dan optimisme mata terbuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar