Komposisi Pimpinan KPK
Eddy OS Hiariej ;
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS,
28 Juli 2015
Saat ini Panitia Seleksi Komisi
Pemberantasan Korupsi tengah memilah, memilih, dan mempertimbangkan sejumlah
nama bakal calon pemimpin KPK yang telah lolos dari seleksi tahap sebelumnya.
Pansel KPK akan bekerja seakurat
mungkin untuk menentukan-paling tidak-delapan calon yang akan diajukan kepada
Presiden. Kemudian ditambah dua calon yang telah lolos seleksi sebelumnya,
Presiden akan mengajukan 10 calon pemimpin KPK kepada DPR untuk memilih lima
dari 10 calon tersebut sebagai pemimpin KPK definitif yang terdiri dari
seorang ketua dan empat wakil ketua.
Dari bakal calon yang telah lolos
seleksi, latar belakang mereka pun beraneka ragam. Ada akademisi, polisi,
jaksa, praktisi hukum, dan pekerja lembaga swadaya masyarakat. Bahkan ada
beberapa bakal calon yang juga berasal dari bagian internal KPK. Jika merujuk
dari latar belakang calon, tak ada persyaratan khusus untuk menjadi pemimpin
KPK.
Berdasarkan Pasal 29 Undang-
Undang KPK, persyaratan pemimpin KPK selain WNI, bertakwa kepada Tuhan,
berusia minimal 40 tahun dan maksimal 65 tahun, memiliki integritas moral,
berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian, serta
pengalaman sekurang- kurangnya 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi,
keuangan, dan perbankan.
Pertanyaan lebih lanjut,
bagaimanakah sebaiknya komposisi pimpinan KPK? Untuk menjawabnya, penting
dipahami bahwa tugas, fungsi, dan wewenang KPK merupakan subsistem dari
sistem peradilan pidana, khususnya dalam rangka mencegah dan memberantas
tindak pidana korupsi. Dalam sistem peradilan pidana yang berlaku universal
dikenal asas integrated criminal
justice system atau satu kesatuan sistem peradilan pidana yang terdiri
dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk memproses suatu perkara pidana.
Asas
diferensiasi fungsional
Selain integrated criminal justice system, juga dikenal asas
diferensiasi fungsional yang berarti meskipun ada satu kesatuan dalam sistem
peradilan pidana, aparat penegak hukum yang bekerja di dalamnya memiliki
tugas dan fungsi berbeda. Polisi sebagai penjaga pintu gerbang dalam sistem
peradilan pidana melaksanakan fungsi penyidikan, jaksa memegang tugas
penuntutan, dan hakim melakukan tugas mengadili. Advokat berfungsi sebagai
penyeimbang dalam melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa untuk menjamin
jalannya perkara pidana secara proporsional dan profesional.
Dalam konteks pemberantasan korupsi
di Indonesia, khususnya tindakan penyidikan dan penuntutan, tak ada kesamaan
pelaksanaan tugas dan fungsi berdasarkan asas diferensiasi fungsional. Jika
korupsi ditangani oleh polisi, asas diferensiasi fungsional berlaku mutlak
karena polisi hanya melaksanakan fungsi penyidikan, sedangkan fungsi
penuntutan tetap ada pada kejaksaan. Jika tak terdapat cukup bukti,
berdasarkan Pasal 109 KUHAP, polisi dapat menghentikan penyidikan.
Hal ini berbeda dengan penanganan
korupsi oleh kejaksaan yang mana asas diferensiasi fungsional tidak berlaku
sebab yang melaksanakan fungsi penyidikan dan penuntutan adalah kejaksaan.
Akan tetapi, sama seperti polisi, jika dalam proses hukum tak ditemukan cukup
bukti, perkara dapat dihentikan atau jaksa dapat menerbitkan surat ketetapan
penghentian penuntutan.
Lebih khusus lagi jika korupsi
ditangani oleh KPK. Selain tak mengenal asas diferensiasi fungsional karena
penyidikan dan penuntutan berada pada KPK, berdasarkan Pasal 40 UU a quo, KPK
tak berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan. Konsekuensinya, KPK
harus bertindak secermat mungkin dan ekstra hati-hati dalam dua hal. Pertama,
untuk menetapkan suatu peristiwa hukum adalah tindak pidana korupsi. Kedua,
untuk menetapkan siapa yang menjadi tersangka dari tindak pidana korupsi itu.
Kecermatan dan kehati-hatian dalam bekerja secara mutatis mutandis juga
berlaku bagi pimpinan KPK.
Oleh karena itu, untuk menjadi
pemimpin KPK tak hanya disyaratkan integritas moral semata, tetapi juga
memiliki kapasitas intelektualitas memadai dan profesional dalam melaksanakan
tugas. Berdasarkan latar belakang bakal calon yang telah diseleksi secara
teliti, penting kiranya Pansel KPK mempertimbangkan memasukkan mereka yang
berlatar belakang polisi dan jaksa masing-masing satu orang ke dalam
komposisi pemimpin KPK.
Adanya komposisi demikian tidaklah
dimaksud sebagai perwakilan institusi Polri dan Kejaksaan Agung, tetapi
semata-mata hanya pertimbangan profesionalitas pemimpin KPK yang bekerja
secara kolektif kolegial. Dasar argumentasi yuridis teoretiknya, pertama,
ketentuan Pasal 21 Ayat (4) UU KPK menyatakan bahwa pimpinan KPK adalah
penyidik dan penuntut umum. Artinya, pemimpin KPK tak hanya melaksanakan
tugas dan fungsi manajerial administrasi semata atau pengambil kebijakan,
tetapi juga dituntut melaksanakan fungsi yang bersifat teknis yuridis.
Kedua, Feeney dalam Managing of Criminal Justice
menyatakan bahwa profesionalisme aparat penegak hukum tak hanya berdasarkan
pengetahuan teoretik semata, tetapi juga pengalaman dan kinerjanya dalam
menangani suatu perkara yang telah dilakukan bertahun-tahun. Berdasarkan apa
yang dikatakan Feeney dan jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 21 Ayat (4)
UU a quo, untuk melaksanakan fungsi penyidikan dan penuntutan oleh pemimpin
KPK, keberadaan mereka yang memiliki latar belakang polisi dan jaksa dalam
komposisi pimpinan KPK menjadi relevan.
Ketiga, berdasarkan Pasal 6 UU a
quo, KPK harus melaksanakan fungsi supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam hal ini kepolisian dan
kejaksaan. Bagaimana mungkin melaksanakan fungsi supervisi jika tak memahami
fungsi penyidikan dan penuntutan dalam tataran teoretik ataupun praktis.
Dapatlah dibayangkan jika dalam komposisi pemimpin KPK yang juga melaksanakan
fungsi teknis yuridis, tak ada satu pun yang berlatar belakang polisi atau
jaksa.
Bagaimana mungkin bisa menilai
kinerja bawahannya yang melaksanakan penyidikan dan penuntutan, sementara tak
ada satu pun unsur pimpinan yang memahami teknis penyidikan dan penuntutan
dalam tataran praktis. Adanya kekhawatiran oleh sebagian orang bahwa masuknya
mereka yang berlatar belakan polisi dan jaksa akan dipengaruhi institusi
asalnya haruslah dinafikan. Lebih dari 10 tahun keberadaan KPK, kekhawatiran
ini tak terbukti dalam tataran empiris.
KPK pernah dipimpin seorang
berlatar belakang polisi dan dalam masa jabatannya mantan Kepala Polri
dijerat dengan tindak pidana korupsi. Demikian pula KPK pernah dipimpin
seorang berlatar belakang jaksa dan pada saat itu seorang jaksa yang tadinya
memiliki konduite kerja baik
diseret ke pengadilan tipikor dalam suatu operasi tangkap tangan. Sebagai
catatan akhir, ketika seseorang terpilih sebagai pemimpin KPK, dalam
melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya bersifat mandiri dan tak boleh
dipengaruhi atau terpengaruh siapa pun, termasuk institusi tempat ia berasal.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar