Kebinekaan di Persimpangan Jalan
Ahmad
Fuad Fanani ;
Direktur Riset MAARIF
Institute for Culture and Humanity;
Dosen
FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KORAN SINDO, 02 Juli 2015
Dalam perjalanan
Indonesia pasca-Reformasi selama lebih dari 17 tahun, ada beberapa capaian
positif yang sudah dicapai oleh bangsa ini. Di antaranya stabilitas keamanan
nasional dan ekonomi yang terjaga, pendidikan yang semakin berkembang, dan
kenaikan prestasi bangsa ini di dunia internasional. Namun, banyak pekerjaan
rumah yang ditinggalkan dan belum tuntas diselesaikan oleh pemerintah.
Persoalan itu diantaranya pemerataan hasil pembangunan yang sering menjadi
problem serius antara pusat dan daerah, tingginya angka kemiskinan, belum meratanya
pendidikan, dan konflik horizontal yang terjadi di beberapa daerah.
Sektarianisme yang Menguat
Dalam komitmen
terhadap kebinekaan, pluralisme, toleransi, dan perlindungan terhadap
minoritas, beberapa persoalan serius hingga hari ini juga masih terjadi.
Penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, pengusiran terhadap jamaah Syiah,
dan diskriminasi terhadap agama-agama lokal adalah di antara persoalan-
persoalan krusial itu. Banyak kelompok dan orang yang menganut paham
keagamaan di luar mainstream
dipinggirkan dan dikucilkan dari masyarakat. Mereka dianggap sebagai bagian
dari orang yang keluar dari agama resmi yang diakui negara dan pantas untuk
mendapatkan hukuman yang setimpal.
Pelabelan sebagai yang
sesat dan menyesatkan ini kadang dijustifikasi dengan fatwa yang kurang
sensitif terhadap fakta historis, sosiologis, dan politik yang membentuk
bangsa ini.
Pengusiran dan
tindakan kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten adalah bukti
bagaimana diskriminasi terhadap kaum minoritas masih terjadi. Jamaah
Ahmadiyah yang tinggal di asrama Transito di Nusa Tenggara Barat (NTB) juga
difatwakan untuk tidak bisa mendapatkan zakat karena dianggap keluar dari
Islam. Padahal, jamaah Ahmadiyah menyatakan bahwa mereka bagian resmi dari
Islam dan Indonesia.
Pengusiran komunitas Syiah
di Sampang juga menambah potret buramnya toleransi pada sebagian masyarakat.
Syiah dianggap keluar dari Islam dan bukan bagian dari Islam. Banyak ulama
ortodoks yang mengatakan bahwa lebih baik menerima kelompok Islam yang sering
melalukan kekerasan dibandingkan menerima Syiah. Sebagian aparat kepolisian
dan negara pun, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Sidney Jones (2013),
tampak lebih senang bekerja sama dengan organisasi seperti Front Pembela
Islam (FPI) dibandingkan berdiri di atas semua golongan dan melindungi semua
warga. Hal ini tampak ketika ada pimpinan dari Polri yang mendatangi acara
FPI dan ada juga aparat negara yang menyatakan bahwa FPI bagian dari civil society yang patut diajak
bekerja sama.
Sektarianisme yang
jauh dari semangat kebinekaan ini juga terjadi dalam pendefinisian agama
”resmi” di Indonesia. Banyak agama-agama lokal yang tidak diakui
keberadaannya oleh pemerintah dan dipaksa untuk menyatakan memeluk agama lain
ketika mereka mengisi kolom agama di KTP-nya. Agama yang di luar enam yang
diakui (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu) dianggap sebagai
agama di luar mainstream. Dampak politiknya adalah mereka yang
menganut agama di luar agama ”resmi” negara, kesusahan untuk mendapat hak-hak
sosial, politik, dan ekonominya secara penuh. Mereka pun tidak bisa
mendapatkan libur resmi negara ketika memperingati hari rayanya, padahal
mereka samasama warga negara Indonesia.
Isu sektarianisme ini
juga tampak dari fenomena penolakan sekelompok umat Islam dan FPI di Jakarta
yang menolak pelantikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI
Jakarta. Mereka menyatakan bahwa Ahok tidak berhak menjadi gubernur karena ia
China dan nonmuslim. Padahal, secara konstitusional Ahok berhak dilantik menjadi
gubernur karena ia pasangan yang memenangkan pilkada langsung.
Berbagai fenomena
sektarianisme dan intoleransi di atas tentu bertentangan dengan prinsip
Bhinneka Tunggal Ika yang digagas dan dipraktikkan oleh the founding fathers and mothers bangsa ini. Mereka bisa
membuktikan bahwa keberagaman adalah fakta sejarah yang justru bisa
dimanfaatkan untuk membangun kerja sama dan saling mengisi kekurangan
masingmasing. Sayangnya, prinsip dan nilai-nilai itu sekarang ini telah
banyak dilupakan dan hanya dijadikan pajangan oleh masyarakat Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi slogan politik yang miskin internalisasi
dan implementasi dalam kehidupan keseharian.
Harapan Baru
Persoalan
sektarianisme dan praktik intoleransi yang masih jauh dari prinsip kebinekaan
itu adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah baru di
bawah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam beberapa
pernyataan dan visi misinya sebelum terpilih, Jokowi tampaknya mempunyai komitmen
yang kuat terhadap persoalan kebinekaan dan toleransi. Jokowi menyatakan bahwa
Islamnya adalah Islam yang rahmatan lil
rahmatan lil alamin yaitu Islam yang memberi rahmat dan kemanfaatan pada semuanya,
jadi tidak eksklusif pada kelompok tertentu.
Komitmen Jokowi
terhadap kebinekaan dan toleransi ini, tentu akan berhadapan dengan kenyataan
politik ketika dia menentukan arah kebijakan pemerintahan. Kita berharap
Jokowi tetap memegang teguh komitmennya dan berjuang serius untuk
membumikannya dalam kebijakan-kebijakan pemerintahannya. Dengan modal
komitmen yang dimiliki oleh Jokowi terhadap kebinekaan dan janjinya untuk
membuat perubahan mendasar di negeri ini, kebijakan politik prokebinekaan dan
toleransi seyogianya dijadikan kebijakan mendasar pemerintah Jokowi-JK.
Berkaitan dengan itu,
pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin yang berusaha memberi tempat
yang sama pada semua agama menarik untuk dicatat. Menteri agama mengatakan
bahwa dia menteri dari semua agama, termasuk kelompok minoritas, bukan hanya
menteri untuk agama tertentu (Antaranews,
16/09/2014). Pernyataan itu tentu seyogianya harus diapresiasi secara
positif. Pernyataan itu hendaknya tidak berhenti sebagai pernyataan politik
saja, namun ditindaklanjuti menjadi kebijakan yang bisa mengayomi semua umat
beragama.
Kementrian Agama saat
ini juga menyiapkan undang-undang tentang perlindungan umat beragama.
Undang-undang itu bertujuan untuk memberikan jaminan perlindungan pada umat
beragama, terutama pada dua hal: memeluk agama dan kemerdekaan untuk
menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Undang-undang itu
sangat penting diwujudkan karena semua warga negara Indonesia punya hak yang
sama untuk hidup aman dan dilindungi negara. Konstitusi Indonesia pun
menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Maka itu, RUU PUB ini
diharapkan bukan menjadi barang baru dengan kemasan lama. Namun, harus benar-benar
mencerminkan kebinekaan di Indonesia.
Kebinekaan dan
toleransi adalah modal besar bangsa ini yang selama ini tertutupi dan sengaja
dipinggirkan oleh kepentingan-kepentingan elite yang hanya mengejar
kekuasaan. Kebinekaan pada dasarnya bisa menjadi kekuatan untuk menghadapi
berbagai krisis dan persoalan yang mengancam persatuan bangsa (Ahmad Syafii Maarif, 2013). Alquran
pun telah menyatakan bahwa manusia itu pada dasarnya satu. Kita semua
semestinya menangkal segala bentuk sektarianisme dan segala macam kezaliman
atas nama apa pun. Sudah saatnya para pemimpin di negeri ini membuat
kebijakan dan program yang prokebinekaan dan toleransi, juga memilih para
pejabat publik yang mempunyai komitmen terhadap Bhinneka Tunggal Ika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar