Intrik Panas Politik Reshuffle
Umbu
TW Pariangu ;
Dosen Fisipol Undana, Kupang
|
JAWA POS, 03 Juli 2015
PERNYATAAN seorang menteri yang menghina
Presiden Joko Widodo makin menyulut desakan dilakukannya reshuffle. Apalagi
posisinya persis di pusaran kementerian yang disorot keras karena kinerjanya
yang lemot. Menteri yang mengendalikan perekonomian dan perdagangan pun belum
mampu memerangi mafia perdagangan yang mengisap darah rakyat. Harga beras
belum stabil. Target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen ternyata hanya tercapai
4,7 persen hingga posisi Juni 2015, terendah jika dibandingkan dengan
Tiongkok, Thailand, dan India.
Seretnya kepercayaan publik terhadap
pemerintah disebabkan kuatnya warna kepentingan politik dalam pengambilan
kebijakan penting. Sebagai yang bukan veto player partai, presiden harus
berjibaku membagi-bagi piring nasi ke partai-partai pendukungnya untuk
mengamankan dukungan politik (Woodal, 1993). Karena sistem presidensial
meniscayakan presiden penanggung jawab tertinggi pemerintahan, dialah yang
akhirnya menadah ’’kotoran politik’’ tersebut.
’’Kotoran politik’’ itu termasuk melemahnya
loyalitas para menteri terhadap presiden. Beberapa menteri tampak lebih
memilih loyal pada kepentingan petinggi partainya daripada bersebadan visi-misi
dengan presiden.
Munculnya desakan dana aspirasi dan penambahan
dana bantuan parpol di tengah bencana gizi buruk anak di Indonesia Timur,
khususnya di Provinsi NTT, merupakan contoh politisi, baik yang di luar
maupun di internal pemerintahan, yang berusaha merusak logika dan prinsip
kerja pemerintah. Sudah pasti tujuannya adalah ingin menjebak dan menjatuhkan
harga diri pemerintah di mata publik.
Pesimistis
Dengan kian panasnya intrik politik
akhir-akhir ini, bagaimanapun, kita masih pesimistis terhadap rencana maupun
hasil reshuffle nanti. Pertama, presiden bukan ketua umum partai. Lenteng
Agung dan Teuku Umar tetap berpengaruh kuat mengalkulasi sumber daya kabinet.
Konon, sejumlah petinggi salah satu partai telah bertemu presiden di istana
dengan membawa ’’katebelece’’ terkait dengan menteri yang digusur. Kedua,
sebagaimana karakter politisi kita, parpol pendukung pemerintah di Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) akan matimatian mengamankan jatah kursi mereka di
kabinet.
Ketiga, PDIP sebagai pendukung utama presiden
pasti berkepentingan menambah jatah kadernya di kabinet. Sikap PDIP yang
kerap mengkritik pemerintah sejatinya mencerminkan bahwa mereka bukan hanya
tidak puas atas kinerja, tetapi juga alokasi kabinet yang dianggap masih
kurang.
Keempat, dengan model kepemimpinan yang
cenderung terikat politik balas budi, presiden sulit mengelak dari manuver
dan tekanan sekelilingnya, selain sekadar menjadi sa fety player alias
berkompromi dengan semua kekuatan politik untuk meminimalkan ekses politik
yang bakal terjadi. Namun, terlalu berisiko jika presiden hanya mematung pada
pilihan itu. Bisa-bisa baju dukungan publik terhadap presiden akan melorot
hingga ke mata kaki.
Presiden semestinya memahami kapasitas
pemimpin dan kepemimpinan, dua hal yang berbeda. Pemimpin terkait dengan
kualitas individu, sedangkan kepemimpinan menyangkut kualitas yang bersifat
menyeluruh dan organisatoris. Karena itu, kepemimpinan tidak hanya menyangkut
kemampuan membangun visi dan karakter individu untuk memimpin, tetapi juga kelihaian
membangun proses (Ulrich &
Smallwood, 2007: 1,3).
Presiden harus membangun komunikasi intensif
dengan partaipartai pendukung, terutama PDIP. Lenteng Agung dan Teuku Umar
harus menyingkirkan segala ’’katebelece’’ politik ke istana. Partai politik
pendukung pemerintah (KIH) jangan terus memelihara kesan adanya menteri
titipan di hadapan publik. Presiden memang bukan veto player. Tetapi, dia diberi mandat oleh konstitusi untuk
menjalankan amanat melayani rakyat Indonesia. Karena itu, sebagai politisi
yang berpegang pada konstitusi, dukungan sepenuhnya kepada otoritas presiden
tanpa kecuali harus diberikan.
Perlu Dicermati
Presiden juga wajib membuang nama-nama menteri
atau calon menteri pengganti yang tidak berkompeten. Dia harus melawan
serangan balik politik dari berbagai arah, siap tidak populer, dan bahkan
siap dimakzulkan karena mendudukkan orang benar di kabinet.
Hasil survei dari Kelompok Diskusi dan Kajian
Opini Publik Indonesia (Kedai KOPI) yang menyatakan 80,8 persen masyarakat
minta porsi pejabat profesional di Kabinet Kerja ditambah (28/6), rasanya,
perlu dipertimbangkan secara cermat oleh presiden. Usul ini tidak berarti
sepenuhnya membenarkan bahwa semua kalangan menteri yang berlatar belakang
parpol tidak berkinerja positif. Namun, berdasar pengalaman, terlalu banyak
tangan parpol di kabinet pun berpotensi mengganggu energi dan strategi taktis
pemerintah untuk mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang bersifat segera serta
berimplikasi luas.
Selain itu, yang tidak kalah penting, untuk
memperkuat bangunan komunikasi istana, perlu direkrut juru bicara presiden
agar informasi akurat untuk publik datang hanya dari satu pintu. Dengan
demikian, kegaduhan tidak terus menjadi ’’hobi’’ Kabinet Kerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar