Human Error di Kabinet Kerja
Bambang
Soesatyo ; Sekretaris
Fraksi Partai Golkar; Anggota Komisi III DPR RI
|
KORAN
SINDO, 08 Juli 2015
Akhirnya, Presiden Joko Widodo
memang perlu menyoal loyalitas dan kapabilitas para menteri. Masyarakat akar
rumput sekalipun bisa merasakan pemerintahan sekarang ini belum efektif
kendati masa baktinya sudah masuk bulan kesembilan.
Begitu sering muncul permasalahan
akibat human error yang dilakukan
para menteri Kabinet Kerja. Masalah terakhir yang membuat Presiden Joko
Widodo (Jokowi) seperti kecolongan adalah protes komunitas pekerja terhadap
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46/ 2015 tentang Tata Cara Pencairan Dana
Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Ketenagakerjaan.
Karena protes itu, Presiden
memerintahkan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menyiapkan naskah revisi PP
No 46/2015 itu. Lucu, PP ini hanya berumur tiga hari. Kalau PP itu sudah direvisi,
para pekerja yang di-PHK atau tidak lagi bekerja bisa mencairkan JHT sebulan
setelah kehilangan pekerjaannya. Kalau PP itu hanya berumur tiga hari dan
harus direvisi, berarti terjadi dua human
error.
Pertama, di tingkat menteri teknis
dan manajemen BPJS. Para menteri berperilaku arogan dengan kewenangannya. PP
itu dirancang tanpa mendengarkan aspirasi pekerja. Mereka coba mengintervensi
kehidupan pekerja terlalu jauh dengan membatasi hak pekerja mencairkan dana
JHT. Padahal, dana JHT itu milik si pekerja. Kalau para menteri teknis mau
mendengarkan masukan pekerja tentang mekanisme pencairan dana jaminan hari
tua, perpres itu tidak akan bermasalah.
Masih berkait dengan PP No 46/2015
itu, human error kedua terjadi juga di Kantor Presiden dan dilakukan oleh
orang-orang kepercayaan Jokowi. Tanpa membaca dan mempelajari muatan PP itu,
mereka langsung menyodorkannya ke Presiden untuk ditandatangani. Jelas bahwa
menteri sekretaris kabinet atau menteri sekretaris negara patut
dipersalahkan. Mensekab dan mensesneg seharusnya tidak asal-asalan dalam
menyodorkan dokumen apa pun yang memerlukan tanda tangan Presiden.
Keduanya, atau salah satu dari
keduanya, wajib memperlajari muatan dokumen itu sebelum dibawa ke meja
Presiden untuk ditandatangani. Kalau dianggap perlu, mensesneg dan mensekab
bisa meminta pertimbangan dan masukan dari Dewan Pertimbangan Presiden atau
para ahli yang seharihari membantu Presiden. Prosedur ini rupanya tidak
dijalankan sehingga Presiden lagi-lagi dipermalukan.
Apakah itu sekadar human error
atau kesalahan yang sengaja diperbuat untuk menjerumuskan Presiden?
Bagaimanapun, kemungkinankemungkinan seperti itu patut diwaspadai Presiden.
Sudah barang tentu para menteri itu tidak perlu diingatkan lagi bahwa mereka
harus bijaksana dan wajib berhati-hati. Bijak dan kehati-hatian sudah melekat
pada jabatan mereka.
Kecerobohan mereka tidak bisa
ditoleransi karena rancangan kebijakan mereka menyentuh langsung kehidupan
puluhan juta rakyat. Karena itu, kecerobohan para menteri dalam kasus PP No
46/2015 itu tidak boleh disederhanakan. Presiden patut mempertanyakan
ketidakhati-hatian itu kepada para menteri. Dari situ, Presiden bisa mengukur
loyalitas dan kapabilitas menteri menteri bersangkutan.
Publik mempersepsikan kasus revisi
PP tersebut sebagai bukti bahwa manajemen pemerintahan Presiden Jokowi dan
Kantor Presiden masih amburadul, sekaligus menjadi indikasi terlalu banyaknya
orang yang tidak qualified dalam pemerintahan Jokowi. Karena tidak qualified itulah, Kabinet Kerja sarat human error.
Kebisingan di ruang publik akibat
kesalahan pada rancangan PP No 46/2015 seperti melanjutkan kebisingan
sebelumnya akibat human error yang juga dilakukan para menteri. Baru-baru ini
seorang menteri bertutur kepada pers bahwa ada menteri yang mengejek
Presiden.
Sebelumnya lagi, Menteri Hukum dan
HAM Yasonna H Laoly menjalankan agendanya sendiri dalam merespons sengketa
internal Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan human error pun terjadi pada
komunikasi antara Presiden dan Wapres.
Pertama, terjadi pada isu tentang
organisasi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Wapres
memerintahkan Menteri Pemuda dan Olahraga mencabut surat keputusan pembekuan
PSSI. Namun, Presiden Jokowi justru memerintahkan sebaliknya dan meminta
menpora mempertahankan pembekuan PSSI. Human error kedua terjadi pada isu
tentang revisi UU KPK. Wapres, Jaksa Agung, serta Menteri Hukum dan HAM
setuju UU KPK direvisi, tetapi Presiden menolak revisi dimaksud.
Menteri
Bermanuver
Kalau Presiden dan Wapres
akhir-akhir ini sudah bisa mencegah human
error di antara keduanya, para menteri tetap saja masih tidak peduli pada
pentingnya bersikap bijak dan berhati-hati. Contohnya pada kasus seorang
menteri yang bertutur kepada publik bahwa ada koleganya di kabinet yang
mengejek Presiden.
Dalam kapasitasnya sebagai
menteri, sikap dan penuturannya itu benar-benar konyol dan amatiran. Dia
menjadi contoh nyata tentang pejabat tinggi negara yang tidak mampu bersikap
arif dan bijaksana. Dia, yang seharusnya berkewajiban menjaga soliditas dan
citra kabinet, justru bertindak sebaliknya, merusak kekompakan anggota
kabinet dan mencoreng citra kabinet di mata publik.
Kalau benar ada menteri berani
mengejek Presiden, itu seharusnya menjadi rahasia kabinet. Siapa pun menteri
yang mengetahui ejekan itu cukup melapor ke Presiden untuk kemudian
diselesaikan sendiri oleh Presiden. Etika tak tertulis ini lazim diadopsi
para pejabat negara yang derajat kearifan dan kebijaksanaannya sudah teruji.
Tidak semua persoalan di internal kabinet harus diumbar ke ruang publik.
Sejumlah masalah atau kasus bisa
dilokalisasi sebagai rahasia kabinet. Apalagi kalau persoalannya personal dan
tidak mengganggu kepentingan umum. Kalau etika seperti itu ditaati, pejabat
negara biasanya bisa menahan diri untuk tidak menyulut kegaduhan yang tak
perlu. Dari kasus ”menteri mengejek Presiden” itu, Presiden minimal dirugikan
dari dua aspek.
Pertama, soliditas kabinetnya
justru dicabik-cabik oleh bawahannya ketika Presiden sedang gencar-gencarnya
mendorong para menteri bekerja ekstrakeras demi percepatan penyerapan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015. Kedua, ada motif lain di
balik tindakan mengungkap kasus itu kepada publik.
Motifnya adalah intrik politik
yang bertujuan menambah tekanan kepada Presiden agar segera melakukan
reshuffle kabinet. Menteri yang diduga mengejek Presiden itu tentu saja
menjadi salah satu target. Dipersepsikan bahwa karena mengejek Presiden,
menteri itu harus dikeluarkan dari kabinet. Keanehan Kabinet Kerja
benar-benar luar biasa sebab ada menteri yang bermanuver melakukan intrik
untuk memaksa Presiden segera merombak formasi kabinet.
Kalau ada menteri berani
memaksakan kehendak dan memiliki agenda sendiri, loyalitasnya memang harus
diragukan. Barangkali ini menjadi kasus pertama dalam sejarah pemerintahan di
Indonesia. Pada rezim pemerintahan terdahulu, publik tidak pernah menyaksikan
perilaku aneh para menteri. Karena itu, bukannya mengada- ada jika kepada
Presiden Jokowi disarankan untuk menyoal atau mempertanyakan lagi loyalitas
dan kapabilitas para menteri.
Saran ini bukan bagian dari arus
desakan reshuffle kabinet. Saran ini dikedepankan karena human error di
Kabinet Kerja sangat memprihatinkan dan juga memalukan. Kasus PP No 46/2015
hingga beras plastik mencerminkan rendahnya kapabilitas beberapa menteri. Selain
itu, Presiden juga harus berani memerangi loyalitas ganda yang diperlihatkan
beberapa menteri.
Kalau jabatan mereka menteri, bos
mereka hanya satu, Presiden. Dengan begitu, loyalitas para menteri kepada
ketua umum partainya harus diakhiri. Begitu konsekuensi logisnya dan begitu
juga etikanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar