Fitrah Manusia Ber-Tuhan
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta
|
KOMPAS,
27 Juli 2015
Dalam sebuah forum
dialog lintas umat beragama, sebelum menyampaikan ceramah, saya mengajukan
dua pertanyaan untuk dijawab secara tertulis lalu dikumpulkan. Pertama,
perputaran bumi, matahari, dan planet di jagat semesta ini dikendalikan oleh
satu Tuhan atau banyak Tuhan? Kedua, Tuhan yang kita sembah itu sama atau
beda? Ketika jawaban tertulis dikumpulkan, jawaban pertama seragam. Bahwa
semesta ini diciptakan dan dikendalikan oleh satu Tuhan. Argumen paling
sederhana, ibarat pesawat terbang, jika banyak yang mengatur, pasti akan
bertabrakan. Jadi, peserta meyakini bahwa yang paling logis dan mudah
diterima nalar adalah hanya satu Tuhan yang paling berkuasa yang menguasai
dan mengatur semesta ini. Yang menarik adalah jawaban nomor dua. Peserta yang
jumlahnya sekitar 80 itu terbelah menjadi dua dan skor hampir seimbang. Bahwa
mereka menyembah Tuhan yang berbeda.
Dari jawaban di atas,
lalu saya majukan pertanyaan baru. Karena di ruang ini terdapat beragam
pemeluk agama dan meyakini Tuhan yang berbeda, bumi yang kita huni dan
matahari yang setia menyinari kita semua ini, pemeluk agama apa yang paling
berhak mengklaim sebagai penghuni paling sah dalam pandangan Tuhan? Andaikan
Tuhan menagih rekening matahari, ibarat PLN menagih uang listrik, kelompok
agama apa yang paling berhak mengumpulkan sebagai mandataris Tuhan? Saya
hanya sekadar melemparkan pertanyaan, tidak untuk dibahas pada forum itu.
Perdebatan abadi
Keyakinan dan
pencarian manusia terhadap Tuhan sudah berlangsung berabad-abad. Banyak teori
yang menjelaskan mengapa dalam diri manusia terdapat dorongan dan kebutuhan
bertuhan. Banyak juga filsuf dan saintis yang membangun teori bahwa keyakinan
tentang Tuhan itu palsu dan ilusi akibat dari kelemahan diri manusia
menghadapi teka-teki hidup yang tak terjawab. Namun, jika dikumpulkan dan
ditimbang, argumen dan keyakinan tentang Tuhan jauh lebih kuat. Dalam hal ini
faktor pewahyuan dan kenabian amat sangat berperan.
Jika muncul perdebatan
di kalangan saintis, penyelesaiannya lebih mudah mengingat obyek yang
diperdebatkan masih dalam wilayah empiris. Pembuktiannya bersifat induktif
dan positif. Di sini bukti (proof)
empiris yang dijadikan rujukan. Namun, keyakinan terhadap Tuhan yang
digunakan adalah argumentasi berdasarkan penalaran dan merujuk pada wibawa
kitab suci serta pengalaman beragama, mengingat obyek yang diperselisihkan
sifat abstrak, immateri. Yang namanya pengalaman beragama pun sulit
dibuktikan jika menggunakan pendekatan sains.
Misalnya pengakuan
Muhammad ketika bermeditasi di Gua Hira ditemui Malaikat Jibril. Di situ
kekuatan pribadi Muhammad yang dikenal sebagai orang yang tak pernah
berbohong dan kandungan berita yang disampaikan menjadi bahan para sahabat
untuk membangun argumentasi, apakah mau percaya atau menolak. Namun, jika
orang minta bukti empiris, lalu ramai-ramai mengajak Muhammad ke Gua Hira
untuk berjumpa Malaikat Jibril, tentu tidak bisa diulangi lagi. Itu
pengalaman beragama yang sangat privat. Begitu juga pengalaman isra-mikraj.
Namun, akan berbeda dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad dan para sahabat dari
Mekkah ke Madinah, pembuktiannya bersifat historis dan disaksikan banyak
orang.
Meskipun abstrak, tak
terbantahkan bahwa keyakinan pada Tuhan dan ajaran-Nya sangat besar
pengaruhnya pada kehidupan seseorang dan komunitasnya. Banyak peradaban agung
lahir dari keyakinan dan gerakan keagamaan. Monumen-monumen besar dengan arsitektur
yang indah, juga dilahirkan dari keyakinan dan dorongan keagamaan. Seperti
Candi Borobudur, gereja-gereja tua di Eropa, dan bangunan masjid di Timur
Tengah, semua memiliki nilai arsitektur sangat tinggi sebagai persembahan
pada Tuhan atau lebih tepat sarana menyembah Tuhan.
Namun, di sisi lain,
tak terbilang lagi jumlahnya, peperangan dan tindak kekerasan meletus juga
karena motivasi keagamaan. Ini bermula dari adanya keyakinan setiap agama
memiliki jalan keselamatan (salvation)
yang dijanjikan Tuhan, terutama keselamatan di akhirat. Keyakinan dan konsep
keselamatan ini lalu berkembang pada penilaian bahwa di luar agamanya tidak
ada jalan keselamatan. Artinya, orang yang berbeda agama berarti kafir,
semuanya calon penghuni neraka. Sikap terhadap orang kafir ini ada tiga
pilihan. Satu, mereka diajak dengan baik-baik agar ikut menjadi umat seiman
dan seagama. Kedua, dibiarkan dan dihargai pilihan keyakinan agamanya dengan
tetap menjaga persahabatan sesama manusia. Ketiga, diperangi karena orang kafir
berarti melawan Tuhan yang mereka sembah yang berarti juga posisinya sebagai
lawan mereka.
Konflik dan perang
dengan motif keagamaan selalu mengandung logika paradoksal. Menawarkan
kedamaian dan keselamatan dengan cara ancaman dan kekerasan. Meneriakkan misi
Tuhan yang Maha Pengasih sambil mengintimidasi dan membunuh. Melakukan
kekejaman dan pembunuhan, tetapi dianggap tindakan suci (holy war). Jika
tidak ada cara pandang dan pendekatan baru, maka perbedaan pemahaman dan
keyakinan agama akan selalu memicu konflik dan kekerasan. Tidak mengagetkan
jika muncul sekelompok masyarakat ingin menemukan Tuhan di luar doktrin dan
komunitas agama. God and spirituality
without religion. Untuk apa beragama kalau agama bukannya menjadi
kekuatan perdamaian dan peradaban.
Produk kultural dan ideologi
Meyakini dan
mengikatkan diri sebagai komunitas umat beriman (the community of believers) sangat berbeda sifat dan implikasinya
dari ikatan seseorang sebagai warga negara (citizen). Kewarganegaraan (citizenship)
ditandai dengan kartu tanda penduduk dan paspor sehingga seseorang terikat
wilayah dan hukum positif di mana dia tinggal. Adapun komunitas umat beragama
menganggap hukum Tuhan di atas hukum positif dan tidak mengenal batas
wilayah. Mereka merasa sebagai anggota Kerajaan Langit meskipun realitasnya
lahir, tumbuh, dan tinggal di bumi. Mereka ada yang terobsesi membangun
kejayaan langit, tetapi kadang dengan membuat kerusakan di muka bumi.
Namun, ada juga yang
berpandangan bahwa misi agama itu untuk membangun kemakmuran dan kedamaian di
muka bumi. Keselamatan akhirat itu reproduksi dan akibat dari prestasi
membangun proyek kemanusiaan selama hidupnya. Oleh karena itu, pilihan dan
praktik keberagamaan seseorang merupakan pilihan dan perjuangan moral. Sebuah
tindakan moral meniscayakan dua syarat. Pertama, seseorang beragama
berdasarkan pilihan bebas, bukan produk ancaman dan intimidasi. Kedua, moral
itu muncul dalam konteks hubungan sesama manusia. Seseorang dikatakan
bermoral baik jika berhasil membangun hubungan yang baik sesama manusia.
Dalam konteks ini, ajaran Islam sangat jelas dan tegas bahwa ukuran dan ujian
keimanan itu selalu dikaitkan dengan perbuatan baik terhadap sesamanya. Oleh
karena itu, menyebarkan agama dengan ancaman justru merusak prinsip ajaran
Islam. Kesalehan dan ketulusan tak akan muncul dari situasi terpaksa.
Jika nalar sepakat
hanya ada satu Tuhan, tetapi mengapa terdapat ragam agama? Terdapat
pandangan, naluri, dan kebutuhan beragama itu mirip naluri dan dorongan
manusia untuk berbicara guna mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Maka,
bahasa yang akan digunakan adalah bahasa yang dia kenal dan familiar sejak
kecil. Berbahasa tidak hanya mengucapkan kata-kata, sesungguhnya bahasa juga
berfungsi dalam ranah pemikiran dan tindakan. Meminjam frasa Heidegger,
language is the house of being. Sementara itu, setiap orang adalah anak
kandung bahasa dan budaya yang membesarkannya yang pada urutannya keterikatan
pada identitas budayanya berkembang menjadi sikap ideologis.
Oleh karena itu,
pluralitas bahasa, sebagaimana agama, tak terelakkan. Pada tataran metabahasa
dikatakan, There is only One Language,
but everyone speaks with a language. Ungkapan serupa juga bisa
diberlakukan pada ranah agama: There is
only One True Religion but every believer tends to only embrace a religion.
Saya sangat sadar,
menyikapi perbedaan bahasa dan agama tentu berbeda. Di sini saya hanya
menganalogikan keragaman keduanya karena dorongan intrinsik yang muncul dari
dalam, lalu seseorang terlahir disambut oleh budaya yang berbeda. Dalam
bahasa tak ada janji-janji keselamatan hidup sebagaimana agama.
Peran institusi negara
Mengingat subyek yang
bertuhan dan beragama itu manusia yang sama-sama tinggal di bumi yang sama
dengan matahari yang juga sama, pilihan keyakinan dan tawaran keselamatan
hidup yang melampaui batas dunia hendaknya jangan menghancurkan tata
kehidupan di bumi. Yang mesti diusahakan adalah terjadinya kesesuaian
(taufik) antara kehendak Langit dan kreasi manusia di bumi. Tuhan yang
diyakini sebagai sumber kasih mesti diwujudkan dalam kehidupan sosial yang
diikat dengan tali kasih (silaturahim). Sikap keberagamaan hendaknya
mendatangkan rahmat bagi semesta.
Sesungguhnya fitrah
manusia untuk bertuhan seiring dengan fitrah manusia untuk hidup merdeka,
damai, dan teratur. Oleh karena itu, sejarah mencatat, proses panjang
bagaimana manusia membangun perserikatan dan lembaga sosial sejak yang
primitif sampai modern bernama negara untuk menjaga kedamaian dan
kemerdekaan. Zaman dahulu ikatan suku dan agama sangat kuat, terlebih lagi
ketika bergabung sentimen suku dan agama, maka kekuatannya kian solid
sehingga mendorong jadi kekuatan misionaris-ekspansionis untuk memperluas
pengaruh agama, militer, dan ekonomi.
Gejolak politik dan
kekerasan yang terjadi di Timur Tengah akhir-akhir ini sulit dipisahkan
antara sentimen keagamaan, perebutan sumber ekonomi, dan ekspansi militer.
Ketiganya berjalin berkelindan dengan implikasi wajah agama jadi muram dan
seram.
Di zaman modern,
konstruksi negara cenderung lebih rasional dan warganya semakin plural.
Kehadiran negara diperlukan untuk melindungi warganya, apa pun asal-usul
etnis dan agamanya. Jadi, jika agama menjanjikan pada pemeluknya keselamatan
di akhirat, negara memiliki tugas menjanjikan keselamatan warganya di dunia.
Cukup menarik direnungkan, hubungan agama dan negara di Indonesia memiliki
cita-cita sangat ideal, yaitu mempertemukan agenda agama dan negara
sebagaimana tertera dalam Pancasila. Negara memberi wadah dan fasilitas bagi
penyebaran agama, agama menjadi sumber kekuatan moral dalam kehidupan
bernegara.
Sejak dulu di bumi
Indonesia yang satu tumbuh beragam agama. Mereka mungkin sekali meyakini
Tuhan Yang Esa, sebagai pencipta dan pengatur semesta, tetapi mengambil jalan
yang berbeda-beda sehingga muncul pluralitas agama dan aliran kepercayaan.
Adalah tugas negara untuk melindungi keselamatan warganya tanpa membedakan
keyakinan agamanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar