Dunia Semakin Plural
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 10 Juli 2015
Selain handphone, saya selalu
ditemani komputer tablet yang memungkinkan saya mengakses internet di mana
pun dan kapan pun saya mau. Meski berada di mobil atau selagi pulang kampung,
saya dengan mudah membaca berita apa yang terjadi di dalam maupun luar negeri.
Bahkan dengan Youtube atau Google saya bisa memilih topik bahasan keilmuan
atau melihat figur selebritis sekedar untuk tahu. Yang sangat membantu tentu
saja saya bisa membaca e-book atau bahkan belanja e-book dengan mudah.
Tak perlu repot-repot ke toko
buku. Komputer tablet bisa berfungsi layaknya home portable library, toko buku, bioskop, dan alat komunikasi.
Akibat dari industri internet, dunia semakin terasa plural. Kadang terasa
sempit, lain kali terasa semakin warna-warni, banyak pilihan untuk dilihat
dan dikunjungi meskipun pada tataran dunia maya.
Meskipun maya, ledakan informasi
pengetahuan yang tersebar melalui internet sangat besar pengaruhnya dalam
kehidupan sosial, keilmuan, bisnis, dan dunia kerja. Setiap hari pengguna
Facebook, Twitter, dan media komunikasi lain berbasis internet selalu
bertambah. Foto dan catatan pribadi yang semula masuk wilayah privat,
sekarang justru disebarluaskan. Pola komunikasi via internet menimbulkan
sikap paradoksal.
Orang merasa dekat, bebas ngobrol
masalah-masalah pribadi, padahal secara fisik berjauhan. Obrolan di internet
terasa egaliter, tak ada sekat kelas sosial, merasa intim, tetapi bisa juga
egois karena yang terjadi bisa jadi menjadikan orang lain sebagai tempat
curhat layaknya keranjang sampah. Ada teman bercerita, melalui Facebook atau
Twitter dia bebas dan merasa lega setelah menulis mengeluarkan unek-uneknya
tanpa peduli respons pembacanya.
Bagi yang sering mengamati diskusi
dalam dunia maya, materi diskusi dan pikiran yang muncul bisa bebas sekali,
suatu hal yang tak mungkin terjadi dalam forum seminar atau ceramah. Misalnya
saja diskusi tentang agama atau politik, peserta bebas bicara apa saja,
bahkan ada yang membela pandangan orang- orang yang sinis atau antiagama.
Dinilainya agama itu menjadi sumber pertengkaran dan peperangan.
Dan masih banyak lagi
pikiran-pikiran yang akan membuat marah pembacanya. Namun karena yang hadir
adalah lontaran pemikirannya, bukan sosok orangnya, yang muncul hanya sebatas
perang argumen dan kata, bukan konflik fisik. Di situlah salah satu
keunggulan forum internet, orang bebas berpendapat tanpa terjadi benturan
fisik.
Di sisi lain orang juga dituntut
membangun argumen yang kuat, bukannya pengerahan massa untuk melawan mereka
yang berseberangan pemikirannya. Perjumpaan pikiran lewat dunia maya membuat
dunia terasa semakin sempit dan plural, ditambah lagi dengan perjumpaan
antarpenduduk bumi yang jumlahnya sekarang mencapai 6 miliar yang juga telah
mendorong mobilitas dan tukar-menukar antarwarga negara dan bangsa.
Di dunia kampus atau kota-kota
besar dunia akan mudah dijumpai masyarakat yang plural, berbaur komunitas
lintas agama, budaya, dan bahasa. Situasi ini bisa membuat seseorang semakin
kaya dan terbuka wawasannya, tetapi bisa juga sebaliknya merasa semakin
sumpek, bingung, dan tidak siap menghadapi pluralitas hidup, terutama jika
sudah menyangkut keragaman agama.
Beda agama lalu disikapi dengan
kecurigaan dan kebencian. Padahal pluralitas ini suatu keniscayaan yang kalau
disikapi dengan lapang dan pengetahuan justru menjadi sumber pengayaan hidup.
Bagi masyarakat Indonesia,
mestinya sudah siap dan terbiasa menghadapi pluralitas ini mengingat sejak
awal berdirinya republik ini sudah mencanangkan slogannya Bhinneka Tunggal
Ika. Yang diperlukan adalah kematangan pribadi dan keluasan ilmu sehingga
tidak hanyut dan bingung memasuki dunia yang kian plural. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar