Calon Tunggal di Pilkada Salah Siapa?
Ikrar Nusa Bhakti ;
Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Juli 2015
PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) serentak 2015 akan
digelar di 169 wilayah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota.
Dari 169 daerah tersebut, paling tidak ada 11 kabupaten/kota yang figur calon
petahana nya kuat, yaitu Serang, Bantul, Boyolali, Surabaya, Situbondo,
Banyuwangi, Pacitan, Kediri, Kutai Kartanegara, Jembrana, dan Denpasar.
Belakangan diduga bahwa akan ada paling tidak tiga daerah yang mungkin akan
terjadi penundaan pilkada akibat terlalu kuatnya calon petahana, yaitu di
Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, dan
Banyuwangi, sedangkan di Kota Surabaya, walaupun figur petahananya sangat
kuat, yaitu pasangan Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana, koalisi Majapahit
yang terdiri atas Partai Demokrat, Gerindra, PKB, Golkar, PKS, dan PAN masih
berupaya untuk memunculkan calon penantang Risma-Wisnu.
Meski jumlah daerah yang mungkin terjadi penundaan
jumlahnya amatlah kecil, ini akan tetap mengganggu jalannya demokrasi kita
dan proses penyerempakan pilkada di seluruh Indonesia pada 2027. Kita semua
tahu bahwa pilkada serentak di 169 daerah ialah langkah awal menuju pemilu
serentak di seluruh wilayah Indonesia, tahap kedua akan dilaksanakan pada
2017. Dekatnya jadwal pilkada serentak 2015 dan 2017 itu, wacana untuk
menunda pilkada di beberapa wilayah pun dihembuskan oleh partai atau kelompok
partai yang tidak mampu memilih pasangan bakal calon kepala daerah yang dapat
menantang dan mengalahkan pasangan petahana yang kuat.
Alasan politik di balik penundaan pilkada itu ialah jika
pilkada ditunda pada 2017, berarti calon petahana tidak akan memiliki posisi
dan karisma politik yang cukup kuat sehingga dapat dikalahkan pada kontestasi
politik tersebut. Cara perhitungan ini secara matematis politik belum tentu
menjadi kenyataan, karena rakyat tentunya sudah sangat pintar sehingga
mengetahui dengan pasti partai atau kelompok partai mana yang mengorbankan
kepentingan rakyat dan masa depan demokrasi hanya demi meraih kekuasaan lima
tahunan.
Rakyat juga tahu bahwa jika pilkada ditunda dan kepala
daerah dijabat seorang caretaker,
ia tidak memiliki otoritas untuk membuat kebijakan strategis pembangunan di
wilayah itu yang berarti kepentingan rakyat akan terganggu. Wacana penundaan
pilkada juga akan dinilai rakyat sebagai kebijakan pengecut dari partai atau
gabungan partai yang tidak berani maju dalam kontestasi politik yang sehat
dan demokratis. Pengusul atau pengusung penundaan pilkada akan dipandang
sebagai politikus yang pandangan politiknya amat cupet yang hanya
memperhitungkan kalah menang dalam kontestasi politik dan bukan berpikir
sebagai negarawan yang melihat ke depan masa depan demokrasi kita dan
kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Kita juga tahu wacana penundaan pilkada bukan kali ini
saja terjadi. Sebelumnya, kelompok partai yang tergabung di Koalisi Merah
Putih (KMP) juga melakukan berbagai cara agar pilkada ditunda karena ada
sempalan dua partai yang tidak dapat mengajukan calonnya di pilkada, yakni
Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Itu pula yang mendasari
KMP yang mengadakan pertemuan-pertemuan khusus antara komisi III DPR-RI, KPU,
Bawaslu, dan kementerian Dalam Negeri untuk memungkinkan Golkar dan PPP
mengajukan calon yang diajukan secara terpisah oleh pengurus partai yang
terpecah, asalkan nama yang mereka ajukan sama. Kutak-katik aturan pilkada
yang tidak sesuai dengan undang-undang ini mereka buat agar kepentingan
politik dari faksi Golkar dan PPP yang ada di KMP terjaga.
Namun, adalah kenyataan bahwa tidak sedikit bakal calon
kepala daerah dari Partai Golkar yang memilih untuk menjadi calon independen
atau mencari kendaraan politik dari partai lain, seperti PDIP, Gerindra, atau
PKS. Itu yang menjadikan persoalan pengajuan daftar pasangan calon kepala
daerah menjadi rumit dan bukan mustahil merugikan Partai Golkar. Tanpa ada
kearifan politik di kalangan para pengurus teras Partai Golkar, partai ini
akan mengalami kerugian politik yang amat dahsyat pada pilkada serentak 2015.
Itu juga akan mengurangi modal politik Golkar pada pemilu nasional serentak
pada 2019.
Kegagalan partai politik
Bila kita kaji lebih lanjut, upaya untuk menunda
pelaksanaan pilkada serentak pada 9 Desember 2015, baik secara keseluruhan di
semua daerah atau hanya di sebagian daerah pemilihan, menunjukkan betapa
sebagian partai politik di Indonesia tidak menjalankan peran dan fungsinya
secara baik. Ada beberapa butir penting yang patut dikemukakan di sini.
Pertama, partai-partai politik di Indonesia secara
keseluruhan ialah institusi yang belum melakukan reformasi politik di dalam
dirinya sendiri. Di kala kita sejak 1998 bicara mengenai desentralisasi dan
otonomi daerah di bidang pemerintahan, partai-partai politik justru
memperkuat konsep sentralisasi kekuasaan di tangan Dewan Pimpinan Pusat Partai.
Dalam menentukan para bakal calon kepala daerah juga sangat ditentukan oleh
DPP partai. Ini semakin diperkuat di dalam undang-undang politik yang terkait
dengan parpol dan pilkada. Para pembuat UU itu ialah pemerintah dan anggota
DPR yang berasal dari partai-partai politik. Partai Demokrat di era Anas Urbaningrum
sempat menerapkan wacana otonomi pengurus daerah dalam menentukan bakal calon
kepala daerah. Namun, sejak Anas digulingkan dan digantikan Susilo Bambang
Yudhoyono, penguatan posisi DPP dalam penentuan bakal calon kepala daerah
kembali terjadi.
Kedua, walaupun PDIP melakukan sekolah partai untuk
mempersiapkan para bakal calon kepala daerah yang berasal dari partainya,
secara keseluruhan semua partai belum melakukan pendidikan politik, rekrutmen
politik, dan kaderisasi politik yang baik. PKS mungkin ialah partai yang
masih melakukan kaderisasi politik secara berjenjang dengan baik. Namun,
dalam hal penentuan siapa menjadi bakal calon kepala daerah, semua partai
masih mengandalkan ‘politik keroyokan’ agar dukungannya semakin kuat
menghadapi satu atau gabungan parpol yang memiliki calon amat kuat untuk
memenangi pilkada.
Ketiga, para pengurus di sebagian besar parpol lebih
banyak mengajukan para bakal calon kepala daerahnya atas dasar
hitung-hitungan untung rugi finansial dan kalah menang politik, ketimbang
keberanian untuk maju terus pantang mundur, menang atau kalah. Padahal, kita
tahu bahwa seorang calon kepala daerah yang kuat, apakah petahana atau bukan,
dapat saja dikalahkan seorang calon underdog
seperti yang terjadi dalam kasus pilgub di Jawa Barat saat Ahmad Heryawan
mengalahkan Agum Gumelar, atau saat Ganjar Pranowo meluluhlantakkan kekuatan
petahana Bibit Waluyo pada Pilgub Jawa Tengah.
Keempat, sebagian besar pengurus partai atau bahkan bakal
calon kepala daerah tidak jarang lebih fokus pada persoalan finansial
ketimbang keseriusan untuk ikut kontestasi politik di pilkada. Maksudnya, ada
bakal calon yang memiliki massa pendukung cukup banyak, tetapi bersedia untuk
tidak maju pilkada karena ada calon kuat yang memberikan ‘mahar politik’ yang
jumlahnya sampai puluhan miliar rupiah. Sebaliknya, ada pula kelompok partai
atau calon yang bersedia maju sebagai ‘calon boneka’ untuk menantang calon
petahana yang kuat agar persyaratan dua calon kepala daerah terpenuhi.
Kelima, hingga saat ini, semua partai di Indonesia tidak
berusaha melakukan rekayasa politik melalui undang-undang ataupun peraturan
partai yang memungkinkan murahnya penyelenggaraan pemilu dalam bentuk apa
pun, apakah pemilu legislatif, pemilu presiden langsung, maupun pilkada. Uang
masih menjadi kendala atau bahkan alat dagang politik.
Reformasi total
Penguatan demokrasi di Indonesia akan terjadi bila
partai-partai politik dapat mereformasi diri mereka secara total.
Desentralisasi institusi partai ialah suatu keniscayaan bila kita
menginginkan hiruk pikuk politik di pusat partai tidak berdampak negatif pada
proses politik di daerah.
Pemerintah juga harus memberikan subsidi finansial yang
cukup agar partai-partai politik dapat melakukan fungsi dan perannya secara
baik dalam melakukan komunikasi politik, pendidikan politik, pengendalian
konfl ik, rekrutmen politik, kaderisasi, dan sebagainya. Itu juga akan
mengurangi politik uang secara signifi kan dalam pemilu nasional dan pilkada.
Dengan demikian, wacana untuk menunda pilkada karena hanya
ada calon tunggal tidak akan terulang kembali. Para pengurus di sebagian
besar parpol lebih banyak mengajukan para bakal calon kepala daerahnya atas
dasar hitung-hitungan untung rugi finansial dan kalah menang politik,
ketimbang keberanian untuk maju terus pantang mundur, menang atau kalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar