AIIB, Indonesia dan Kemandirian Asia
PLE
Priatna ; Wakil Kepala Perwakilan RI di Beijing,
Tiongkok
|
KOMPAS, 06 Juli 2015
Menteri Keuangan RI
Bambang Brodjonegoro baru saja menandatangani akta keanggotaan Indonesia di
Bank Investasi Infrastruktur Asia di Beijing, Tiongkok, 29 Juni 2015. Upacara
peresmian Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) ini dihadiri 50 menteri
keuangan dan 7 deputi menteri keuangan dari belahan Asia, Eropa, Timur
Tengah, dan Afrika, kecuali Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, dan empat negara
lainnya.
”Indonesia telah
menjadi anggota pendiri AIIB. Bagi Indonesia, kehadiran AIIB, ADB (Bank
Pembangunan Asia), dan Bank Dunia adalah untuk saling melengkapi dalam
memenuhi kebutuhan pembangunan,” ujarBambang saat berbincang dengan penulis
dan wartawan Antara di Hotel Ritz-Carlton, Beijing, seusai peresmian.
Tidak ada tabu
Apa keistimewaan AIIB?
Menurut Menkeu,
melalui AIIB, Indonesia akan memanfaatkannya untuk membantu mendanai
proyek-proyek infrastruktur besar. Lebih dari itu, AIIB tidak tabu untuk
mendanai, misalnya, proyek PLTU menggunakan batubara, sementaraproyek serupa
tidak bisa lagi dimodali Bank Dunia. MelaluiAIIB, sektor swasta bisa masuk
memperoleh fasilitas pendanaan proyek infrastruktur.Ini yang tidak didapat
dari lembaga bank lain.
Ada dua hal menarik
dari pernyataan Menkeu ini untuk diperhatikan. Pertama, AIIB tidak tabu
terhadap proyek yang bersinggungan dengan agenda prasyarat green and clean technology dalam
penentuan proyeknya.
Kalau benar nantinya
AIIB bisa terbebas dari agenda politik, kondisionalitas non-ekonomis dan
hanya pada pertimbangan kalkulasi ekonomi, maka AIIB bisa berperan lebih
netral bagi negara berkembang.
Kedua, melalui AIIB,
kredit bisa disalurkan kepada pihak swasta untuk turut membiayai proyek
infrastruktur di negara berkembang (Pasal 2 Ayat 3 statuta Articles of Agreement 5th Chief
Negotiators’ Meeting AIIB). Sinergi kekuatan membangun prasarana dan
sarana semakin luas diberikan kepada pelaku usaha.
Joseph Stiglitz
menyambut baik kehadiran AIIB sebagai multilateralisme Asia, berikut
perputaran modal Asia. Bank Dunia terlalu dibebani ideologi, pasar bebas ala
konsensus Washington. Bahkan, dana yang ada pun disalurkan hanya melalui
lembaga bantuan AS.
Stiglitz, mantan Chief
Economist Bank Dunia, menjadi saksi seperti yang ditulisnya, kondisionalitas
tak hanya menjadi syarat umum meminjam uang dan mengembalikannya. Akan
tetapi, lebih dari itu, Bank Dunia menciptakan kondisi yang memaksa satu
pihak yaitu dengan mengubah pemberian utang sebagai cara, alat, atau
kebijakan tertentu (dengan kata lain untuk menekan).
Sejarah membuktikan
kondisionalitas politik menjadi agenda di balik bantuan. Indonesia pernah
menghentikan bantuan dari Belanda (Johannes Pronk) sebagai Ketua IGGI, membubarkannya
dan membentuk CGI.
Bebas agenda politik
Indonesia dannegara
ASEAN seyogianya bisa menjaga agar AIIB nanti bersikap netral, mandiri, dan
tidak menerapkan kondisionalitas politik. Tidak mengulangi gaya angkuh IMF
dan Bank Dunia, atau lembaga donor lainnya, sekalipun Tiongkok di
AIIBmemegang 30,34 persen saham dengan voting power 26,06 persen.
Kita mencatat
pengalaman buruk masa lalu,satu dua negara kuat, berhasil membuat Tiongkok
tidak berdaya menghentikan operasikondisionalitas itu. Walaupun di Bank
Dunia, Tiongkok menguasai 5,25 persen saham, di atas Jerman (4,56 persen),
Perancis (4,06 persen), dan Inggris (4,06 persen), dandi Bank Pembangunan
Asia, Tiongkok memiliki 6,5 persen saham.
AIIB yang didukung
Jerman, Perancis, Inggris, Belanda, Spanyol, dan Australia harus bisa
menjalankan bisnis lembaga bank sepenuhnya, berdasar kalkulasi ekonomi dan
tidak menerapkan agenda politik dalam pemberian fasilitas kreditnya. AIIB
harus dapat mengedepankan aspek ekonomi, konektivitas pembangunan infrastruktur
yang merata, dari kawasan ke kawasan dan negara ke negara.
Satu misi penting
Indonesia adalah merebut maksimum alokasi anggaran pendanaan AIIB terutama
bagi pembangunan infrastruktur. Indonesia dengan saham 33,607 dengan modal Rp
3,4 triliun dan voting power hanya
3 persen ini bisa mendapat suntikan maksimum modal berupa pinjaman berbunga
rendah dalam jangka panjang, di bawah standar komersial bunga London Interbank Offered Rate (LIBOR).
Alokasi pendanaan AIIB
harus jadi instrumen kesadaran politik dan kerja sama baru Utara-Selatan dan
Selatan-Selatan.Di tengah paradoks persaingan dan perseteruan politik
AS-Tiongkok atau ketegangan Tiongkok-Jepang, AIIB bisa menjadi instrumen
perekat, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas keamanan.
Dewan Gubernur, Dewan
Direktur, Presiden AIIB, Wakil Presiden, serta staf yang menjalankan
penentuan proyek dan pencairan dana AIIB harus benar transparan dan
akuntabel. Tidak seperti pengalaman di Bank Dunia menjadikan preferensi
kepentingan politik pribadi dalam mengelola dan menggelontorkan proyek (Rabia
Malik dan Randall W Stone, Private
Politics in World Bank Lending, 3 Februari, 2015).
Bukti netralitas
Selain Indonesia
diharapkan bisa menempati salah satu posisi penting itu, dibukanya kantor
regional AIIB diJakarta bisa menjadi bukti netralitas dan kemandirian dalam
sentralitas Asia yang lebih terbuka.
AIIB bukan semata
keberhasilan Tiongkok menggalang sentralitas Asia melalui multilateralisme
konektivitas infrastruktur. Indonesia, ASEAN, dan negara berkembang lainnya
juga turut membangun kemandirian, menghadapi suara sumbang terhadap IMF dan
Bank Dunia yang bermarkas di AS.
Oleh sebab itu,
pembangunan infrastruktur sebagai lingua
franca global ini mendapat sambutan. Inilah bahasa diplomasi yang memberi
harapan dan solusi alternatif di tengah ancaman konflik, anarki, dan
perseteruan politik yang merugikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar