Senin, 22 Juni 2015

Yogya-Magelang

Yogya-Magelang

Bre Redana  ;   Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
KOMPAS, 14 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bolak-balik Yogya-Magelang kali ini serasa berada dalam kereta Seni Ekspres—untuk membandingkan dengan kereta jurusan Yogya-Solo bernama Prambanan Ekspres. Peristiwa seni membludag di Yogya bulan Juni ini. Magnitude-nya mencapai bukan saja Jakarta tapi juga kota-kota di Asia seperti Singapura, Hongkong, serta sejumlah kota di Eropa. Kalangan seni rupa terdiri dari perupa, kolektor, pengamat, art dealer, gallerist, artpreneur, dari kota-kota dunia tumpah ruah di Yogya.

Kalau di Yogya seluruh acara dibingkai dalam Jogja Art Weeks (JAW) dengan 100 lebih program, di Magelang ada Magelang Art Event di mana belasan galeri di kota ini secara bersamaan menyelenggarakan pameran. Dalam dinamika seni rupa kontemporer Indonesia, Magelang harus disebut, terutama karena adanya kolektor terkemuka di kota itu, Oei Hong Djien atau biasa dipanggil OHD. Tak ada yang meragukan sumbangan dia dalam mengorbitkan para perupa kontemporer Indonesia yang kebanyakan tinggal di Yogya.

Angin kencang menerpa OHD belakangan, karena dia dituduh mengoleksi sejumlah karya palsu. Ia disuruh membuktikannya, semacam proses terbalik, bukan si penuduh yang membuktikannya. Mungkin itulah yang membuat OHD cuma tertawa. Kalau yang dalam posisi OHD adalah seniman Sutanto Mendut, pasti dia bilang luweh.

Di museumnya sekarang, bekerja sama dengan Mizuma Art Gallery, Tokyo, ia menggelar pameran menampilkan karya-karya perupa kontemporer seperti Nasirun, Made Wianta, seniman penuh harapan Albert Yonathan, juga seniman China yang namanya mendunia, A Wei Wei.
Episentrum kegiatan seni rupa ini ART|JOG. Memasuki tahun penyelenggaraan kedelapan, makin jelas bagaimana kegiatan yang dirintis oleh Heri Pemad tersebut menggerakkan berbagai kegiatan kreatif di Yogya. Workshop seni rupa, film, video, sastra, sampai kuliner, terselenggara mengambil kesempatan ramainya Yogya ketika ART|JOG. Efek ikutannya adalah aktivitas ekonomi, hotel, penginapan, restoran, warung, tempat makan lesehan, jasa travel, tukang pijat, dan lain-lain.

Di Warung Bu Ageng Butet Kartaredjasa, Anda akan ketemu nama-nama tersohor dari berbagai kota. Di gudeg mercon di Kranggan yang buka pukul 22.00 Anda akan ketemu para sosialita Jakarta serta fashion designer terkenal. Di kedai kopi Epic mendadak ketemu Ketua Badan Ekonomi Kreatif yang selalu dandy, Triawan Munaf. Melihat dia selalu jadi ingat Giant Step.

Yogya memiliki apa yang sering disebut oleh para ahli urban: vibrant. Artinya kurang lebih semacam energi, atau daya yang kuat menggerakkan kehidupan.

Dari mana vibrant berasal? Pemikir terkemuka masalah urban, Richard Florida, menyebut banyak faktor, antara lain terkonsentrasinya orang-orang berbakat dan produktif. Gagasan-gagasan baru akan muncul dan produktivitas bakal meningkat ketika kita berdekatan satu sama lain. Dengan kata lain, sosiabilitas alias sesrawungan tetaplah merupakan aspek penting untuk menggerakkan kebudayaan.

Dalam studi urban, bahkan ada penelitian, kota-kota kreatif umumnya ditandai dengan kedekatan satu tempat dengan tempat lain yang bisa dicapai dengan jalan kaki. Sebagai contoh, New York tetap menjadi pusat kreativitas, karena di situ jalan kaki maksimal 30 menit Anda mencapai destinasi.

Oleh karenanya, tempat di mana kita tinggal, tempat di mana kita bertumbuh, menjadi hal sangat problematik. Untuk kota, Richard Florida bahkan menggantikan kata ganti where yang artinya di mana, menjadi who alias siapa. Who’s your city? tanya Florida. Seperti jodoh, kota adalah bagian dari nasib kita. Makanya, sungguh tak habis pikir, bagaimana pemimpin bisa sembarangan, menyebut Soekarno lahir di Blitar. Sebagai pembingkai nasib, Blitar berbeda Bung, dengan Surabaya.

Saat berada di Yogya atau Magelang saya sering ketemu orang, mengajak kerja sama berbagai proyek. Nanti kita follow up setelah di Jakarta, katanya. Kembali ke Jakarta, tak pernah ada kelanjutan. Ketemu lagi pun tidak.

Gombal. Di kota yang macet, sejatinya kebudayaan juga macet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar