Yogya-Magelang
Bre Redana ; Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 14 Juni 2015
Bolak-balik
Yogya-Magelang kali ini serasa berada dalam kereta Seni Ekspres—untuk
membandingkan dengan kereta jurusan Yogya-Solo bernama Prambanan Ekspres.
Peristiwa seni membludag di Yogya bulan Juni ini. Magnitude-nya mencapai bukan saja Jakarta tapi juga kota-kota di
Asia seperti Singapura, Hongkong, serta sejumlah kota di Eropa. Kalangan seni
rupa terdiri dari perupa, kolektor, pengamat, art dealer, gallerist, artpreneur, dari kota-kota dunia tumpah
ruah di Yogya.
Kalau di Yogya seluruh
acara dibingkai dalam Jogja Art Weeks
(JAW) dengan 100 lebih program, di Magelang ada Magelang Art Event di mana belasan galeri di kota ini secara
bersamaan menyelenggarakan pameran. Dalam dinamika seni rupa kontemporer
Indonesia, Magelang harus disebut, terutama karena adanya kolektor terkemuka
di kota itu, Oei Hong Djien atau biasa dipanggil OHD. Tak ada yang meragukan
sumbangan dia dalam mengorbitkan para perupa kontemporer Indonesia yang
kebanyakan tinggal di Yogya.
Angin kencang menerpa
OHD belakangan, karena dia dituduh mengoleksi sejumlah karya palsu. Ia
disuruh membuktikannya, semacam proses terbalik, bukan si penuduh yang
membuktikannya. Mungkin itulah yang membuat OHD cuma tertawa. Kalau yang
dalam posisi OHD adalah seniman Sutanto Mendut, pasti dia bilang luweh.
Di museumnya sekarang,
bekerja sama dengan Mizuma Art Gallery, Tokyo, ia menggelar pameran
menampilkan karya-karya perupa kontemporer seperti Nasirun, Made Wianta,
seniman penuh harapan Albert Yonathan, juga seniman China yang namanya
mendunia, A Wei Wei.
Episentrum kegiatan
seni rupa ini ART|JOG. Memasuki tahun penyelenggaraan kedelapan, makin jelas
bagaimana kegiatan yang dirintis oleh Heri Pemad tersebut menggerakkan
berbagai kegiatan kreatif di Yogya. Workshop seni rupa, film, video, sastra,
sampai kuliner, terselenggara mengambil kesempatan ramainya Yogya ketika
ART|JOG. Efek ikutannya adalah aktivitas ekonomi, hotel, penginapan,
restoran, warung, tempat makan lesehan, jasa travel, tukang pijat, dan
lain-lain.
Di Warung Bu Ageng
Butet Kartaredjasa, Anda akan ketemu nama-nama tersohor dari berbagai kota.
Di gudeg mercon di Kranggan yang buka pukul 22.00 Anda akan ketemu para
sosialita Jakarta serta fashion designer terkenal. Di kedai kopi Epic
mendadak ketemu Ketua Badan Ekonomi Kreatif yang selalu dandy, Triawan Munaf.
Melihat dia selalu jadi ingat Giant Step.
Yogya memiliki apa
yang sering disebut oleh para ahli urban: vibrant. Artinya kurang lebih
semacam energi, atau daya yang kuat menggerakkan kehidupan.
Dari mana vibrant
berasal? Pemikir terkemuka masalah urban, Richard Florida, menyebut banyak
faktor, antara lain terkonsentrasinya orang-orang berbakat dan produktif.
Gagasan-gagasan baru akan muncul dan produktivitas bakal meningkat ketika
kita berdekatan satu sama lain. Dengan kata lain, sosiabilitas alias
sesrawungan tetaplah merupakan aspek penting untuk menggerakkan kebudayaan.
Dalam studi urban,
bahkan ada penelitian, kota-kota kreatif umumnya ditandai dengan kedekatan
satu tempat dengan tempat lain yang bisa dicapai dengan jalan kaki. Sebagai
contoh, New York tetap menjadi pusat kreativitas, karena di situ jalan kaki
maksimal 30 menit Anda mencapai destinasi.
Oleh karenanya, tempat
di mana kita tinggal, tempat di mana kita bertumbuh, menjadi hal sangat
problematik. Untuk kota, Richard Florida bahkan menggantikan kata ganti where yang artinya di mana, menjadi who alias siapa. Who’s your city? tanya Florida. Seperti jodoh, kota adalah bagian
dari nasib kita. Makanya, sungguh tak habis pikir, bagaimana pemimpin bisa
sembarangan, menyebut Soekarno lahir di Blitar. Sebagai pembingkai nasib,
Blitar berbeda Bung, dengan Surabaya.
Saat berada di Yogya
atau Magelang saya sering ketemu orang, mengajak kerja sama berbagai proyek.
Nanti kita follow up setelah di
Jakarta, katanya. Kembali ke Jakarta, tak pernah ada kelanjutan. Ketemu lagi
pun tidak.
Gombal. Di kota yang
macet, sejatinya kebudayaan juga macet. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar