Tafsir
Bung Karno
Sutia Budi ; Wakil Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta;
Anggota Fokal IMM
|
KORAN SINDO, 08 Juni 2015
Dalam konteks
perjalanan sejarah Indonesia, bulan Juni sering disebut sebagai Bulan Bung
Karno. Tanggal 1 Juni 1945 adalah hari lahir Pancasila, 6 Juni 1901 hari
kelahiran Bung Karno, dan 21 Juni 1970 Bung Karno kembali ke pangkuan Ilahi.
Buku-buku referensi
Soekarno muda amatlah kaya. Ia tumbuh menjadi seorang pembelajar yang hebat,
bergumul dengan banyak karya. Dalam lintasan sejarah, tampak jelas keseriusan
Bung Karno dalam menuntut ilmu, membaca dan membaca, berpikir keras,
merumuskan ideologi bangsa, dan mengobarkan ”api” revolusi. Betapa dalam
pengetahuannya, dan dari pergulatan pemikirannya itu memunculkan ”daya
dobraknya” yang luar biasa.
Soekarno muda berguru
langsung dengan HOS Tjokroaminoto (guru politik).
Lalu saat menginjak
usia baligh , berkisar tahun 1916 ketika berumur 15 tahun, Soekarno muda
bertemu dengan ”guru ngaji ”-nya, Kiai Haji Ahmad Dahlan, 48. Soekarno muda
pun terpukau dengan ceramah-ceramah kiai sang pencerah itu.
Dengan keyakinan besar
akan modernitas, tak mengherankan bila Bung Karno lebih merasa dekat dengan
gerakan reformis Islam pada masa itu. Mula-mula dengan SI, tapi kemudian
Muhammadiyah. Ia mengenal KH Ahmad Dahlan sejak umur 15 tahun ketika pendiri
Muhammadiyah itu berceramah di kalangan SI. ”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto,”
cerita Bung Karno, ”saya telah terpukau
dengan KH Ahmad Dahlan. Saya sudah menjadi anggota resmi Muhammadiyah dalam
tahun 1938.” Bahkan dalam uraiannya di depan Muktamar Muhammadiyah tahun
1962, ia berdoa agar bisa ”dikubur
dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan”-nya. (Goenawan Mohammad, 2010).
HOS Tjokroaminoto
(1883-1934) dan KH Ahmad Dahlan (1868-1923) tampaknya memberikan pengaruh
yang amat kuat terhadap pemikiran keislaman Bung Karno. Kemudian A Hassan dan
KH Mas Mansyur. Bung Karno bergumul hebat dengan para tokoh pergerakan masa
itu. Bahan bacaan ”pergerakan-”nya pun sulit ditandingi. Berbagai referensi,
pengalaman realitas bangsanya, dan perenungan-penghayatan itu
memunculkan-mengobarkan ”api” pergerakan untuk kemerdekaan Indonesia.
Beberapa bulan
menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945, Bung Karno mengurai-kampanyekan gagasan
emasnya yang bernama ”Pancasila”. Dasar negara merdeka (philosofische grondslag) yang akan menjadi ideologi bangsa,
fondasi, dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
Giat Wahyudi (2010)
lalu menuturkan, walaupun dalam pergulatan pemikirannya diwarnai ide-ide dari
pemikiran Barat, seperti nasionalisme, demokrasi dan sosialisme, spirit dan
ruh Bung Karno telah diterangi cahaya Api Islam. Tema sentral pemikiran Bung
Karno tentang Islam yang memberikan landasan bagi segenap aktivitasnya,
seperti semangat tauhid, Islam antipenindasan, Islam tidak mengenal
aristokrasi, egaliter, Islam sangat rasional-simpel dan elastis (selaras dengan
kemajuan zaman). Ide Pancasila yang dilontarkan pada 1 Juni 1945, menunjukkan
pengaruh dari unsur pemikirannya tentang Islam. Hal ini bisa kita jumpai
melalui pendekatan neo-Platonis, yakni berpikir adalah seni yang paling
indah, puncak keindahan berpikir adalah percaya kepada Tuhan.
Mari kita simak isi
pidatonya yang amat fenomenal itu (1 Juni 1945), Bung Karno mengatakan: ”Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5?
Setelah saya mengemukakan 4 prinsip; 1. Kebangsaan Indonesia 2.
Internasionalisme atau perikemanusiaan 3. Mufakat atau demokrasi, 4.
Kesejahteraan sosial. Prinsip kelima hendaknya; Menyusun Indonesia Merdeka
dengan Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja
bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya
bertuhan. Tuhannya sendiri.”
Awalnya sila ketuhanan
diletakkan pada nomor lima. Dalam ”kacamata” penulis, Bung Karno sepertinya
ingin mengatakan bahwa semua sila yang ada ”tidak ada artinya” jika tidak
berdasarkan ketuhanan, jika tidak diberi ”penutup” ketuhanan!
Atau yang paling
memungkinkan adalah ”ketuhanan menjadi
puncak pemikirannya”. Dalam pidato itu pun Bung Karno memeras lima sila
itu menjadi tiga, ”...Jadi yang asalnya
lima itu telah menjadi tiga; Sosio-nasionalisme, Sosio-democtratie, dan
Ketuhanan....” Lalu tiga menjadi satu, Bung Karno menyatakan secara
tegas, ”... Jikalau saya peras yang
lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu
perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Indonesia yang tulen,
yaitu perkataan gotong-royong. Negara Indonesia yang kita dirikan
haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong....”
Pekikan dahsyat itu disambut tepuk tangan riuh pada hadirin. Tentu, kolom
opini ini tidaklah cukup bila kita mengurai sila-sila Pancasila satu per
satu. Mungkin pada kesempatan lainnya.
Pemikiran Bung Karno
tentang Pancasila telah melalui proses yang panjang, renungan mendalam, dan
”penafsiran” terhadap teks-teks berbagai aliran pemikiran yang
mempengaruhinya. Pada saat yang sama, Bung Karno dihadapkan pada realitas
bangsa yang multikultural, multietnis, berbagai agama dan golongan.
Tafsir terhadap berbagai
teks dan penghayatan mendalam akan realitas dan budaya bangsa yang juga
dilakoninya itulah memunculkan gagasan cemerlang.
Bung Karno
mengerucutkan ide-ide besarnya itu menjadi dasar sebuah negara merdeka,
pijakan ideologi yang bisa menyatukan bangsa-bangsa yang ada di dalamnya.
Pancasila sakti lahir sebagai jawaban, sebagai ideologi yang bisa diterima
seluruh elemen bangsa. Dengan kedewasaan berpikir, Bung Karno berhasil
menafsir, ”mempertemukan” antara teks dan realitas.
Bung Karno adalah
seorang luas pengetahuannya, termasuk pengetahuan agamanya. Hemat penulis,
makna gotong-royong yang menjadi intisari Pancasila, juga tak lepas dari
”tafsir” Bung Karno terhadap ayat-ayat Alquran.
Allah SWT berfirman: ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.” (QS Al-Maidah: 2). Di samping itu, kesadaran bahwa
manusia itu ”tidak ada daya dan kekuatan,
kecuali atas kehendak-Nya, kecuali atas pertolongan-Nya” (laa haula wa laa quwwaata illaa billah),
tentunya kalimat ini telah menancap kuat di hati dan pikiran Bung Karno.
Usulan ”Pancasila”
sakti yang dipidatokan Bung Karno itu ditanggapi serius oleh sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan sehingga melahirkan Panitia Sembilan
untuk merumuskan ulang (menyempurnakan), yang terdiri atas Ir Soekarno, Drs
Mohammad Hatta, Mr Raden Achmad Soebardjo, Mr Prof Mohammad Yamin, SH, KH A
Wahid Hasjim, H Abdoel Kahar Moezakir, Raden Abikoesno Tjokrosoejoso, H Agus
Salim, dan Mr Alexander Andries Maramis.
Pada 22 Juni 1945
terjadi perdebatan, hingga melahirkan Piagam Jakarta. Namun pada 17 Agustus
1945 di sore hari timbul keberatan, di antaranya disampaikan AA Maramis dan
wakil-wakil dari Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan,
sehingga Bung Karno segera menghubungi Bung Hatta untuk mengadakan pertemuan
dengan golongan Islam, di antaranya: Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman
Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Setelah diskusi
mendalam, kalimat sila pertama diubah menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa” demi
menjaga kesatuan Indonesia. Sebagai anak bangsa, kita tentu amat bangga
menjadi Bangsa Indonesia yang memiliki Bung Karno, Bung Hatta, dan deretan
para Pahlawan Bangsa dari Sabang sampai Merauke. Kita amat kagum dengan para
”guru” Bung Karno, baik guru politiknya (HOS Tjokroaminoto), terlebih dengan
”guru ngaji”-nya (KH Ahmad Dahlan). Semoga Tuhan Yang Maha Bijaksana
menempatkannya di tempat yang mulia, tempat terbaik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar