Sabar
untuk Sulitnya Menerima Kekalahan
Dahlan Iskan ; Mantan
CEO Jawa Pos
|
JAWA POS, 01 Juni 2015
SAYA harus di New York
tanggal 29-30 Mei lalu. Imam Shamsi Ali minta saya berbicara di forum Islam
di Indonesia. Tempatnya di gedung PBB, New York. Imam besar masjid New York
asal Indonesia itu memang pemrakarsanya. Dubes Indonesia untuk PBB Desra
Percaya sebagai penyelenggaranya.
Saya berangkat dari Evansville, di
Negara Bagian Indiana, tempat saya belajar selama tiga bulan terakhir, naik mobil. Lebih
dari 1.500 km. Itu karena harus memutar lewat selatan. Mengunjungi
tempat-tempat yang terkait dengan yang saya pelajari. Kami, saya dan guru
saya, John Mohn, seorang wartawan senior di AS, bergantian pegang kemudi.
Sebelas negara bagian
harus saya lewati: Kentucky, Tennessee, Mississippi, Alabama, Georgia, South
Carolina, North Carolina, Virginia, Delaware, New Jersey, dan Pennsylvania.
Singgah di kota-kota besarnya, desa-desanya, dan pedalamannya: Memphis,
Tupelo, Birmingham, Atlanta, Augusta, Columbia, Charlotte, Greensboro,
Appomattox, Durham, Richmond, Dover, Lewes, Atlantic City, Ocean City, dan
Philadelphia. Juga mampir ke beberapa universitasnya.
Suatu saat, saya harus
isi bensin di sebuah permukiman. Saya lihat ada puluhan rumah bagus di
sekitar pompa bensin itu. ”Apakah ini sebuah desa?,” tanya saya. ”Di struktur
pemerintahan Amerika tidak dikenal kata desa (village),” ujar John. ”Paling
kecil adalah town (kota kecil),” tambahnya. Yakni, sebuah ”desa” yang
penduduknya kadang kurang dari 2.000 jiwa.
Tapi tempat saya
berhenti itu, Birdsnest, di Negara Bagian Virginia, ternyata sebuah
permukiman yang tidak terikat dengan satu bentuk administrasi pemerintahan
daerah. Bukan RT, bukan RW, bukan kelurahan, bukan kota. Sebutannya hanya ”un-incorporated community”. Alias
permukiman yang tidak terikat organisasi pemerintahan.
Warga di Birdsnest
tidak mau menjadi bagian kota mana pun. Mereka merasa tidak perlu punya
organisasi pemerintahan. Juga tidak punya ketua kelompok atau koordinator.
Mereka merasa bisa mengurus diri masing-masing. Memang pernah ada kantor pos
di situ, tapi sudah lama tutup. Mereka tidak merasa perlu ikut pilkada. Juga
merasa tidak perlu memiliki wakil di DPRD.
Ternyata banyak sekali
kelompok masyarakat di AS yang statusnya seperti itu. Mereka merasa di
situlah inti kebebasan dan inti kemerdekaan. Itulah filsafat demokrasi
terdalam yang dianut Amerika. Mereka berpendapat, kebebasan yang mendasarlah
yang bisa membuat AS menjadi negara superpower seperti sekarang.
Sebelum itu, saya
mengunjungi ”desa” Appomattox di pedalaman Virginia. Di situ saya melihat
lokasi penyerahan diri Jenderal Robert E. Lee, panglima perang tentara
wilayah selatan yang berjuang memisahkan diri dari USA. Setelah hampir 70
tahun tergabung ke dalam USA (hampir seumur kemerdekaan Indonesia sekarang),
tujuh negara bagian di selatan (South Carolina, Georgia, Alabama,
Mississippi, Louisiana, Texas, dan Florida) menyatakan memisahkan diri.
Negara-negara bagian di utara dan presiden USA menentang pemisahan diri itu.
Setelah empat tahun
perang sipil dan menelan korban hingga hampir 1 juta jiwa, akhirnya pihak
selatan menyerah di Appomattox itu. Kembali tergabung dalam USA. Angka 1 juta
itu, dilihat dari jumlah penduduk saat itu, setara dengan sekitar 5 persen.
Dari sini saya
belajar betapa mahalnya menegakkan konstitusi. Dan harus ditegakkan.
Pelajaran lain yang
juga mahal adalah: betapa sulit menerima kekalahan.
Tidak semua tentara
dan tokoh selatan menerima keputusan penyerahan diri Jenderal Robert Lee.
Gubernur Florida waktu itu, John Milton, menulis surat kepada anaknya. Dia
tidak bisa menerima kekalahan tersebut. Dia tidak mau berada di bawah
pemerintahan Presiden Abraham Lincoln yang menang lagi di pemilu berikutnya.
Setelah menandatangani surat itu, Milton langsung mengambil pistol.
Ditembakkan ke kepalanya sendiri.
Pemilik perkebunan
besar yang juga aktif di politik, Edmund Ruffin, melakukan hal yang sama.
Dialah orang pertama yang meletuskan senjata ke tentara utara yang akhirnya
menyebabkan perang itu terjadi. Ruffin kaget menerima kabar penyerahan diri
Jenderal Lee. Ruffin langsung mengarahkan moncong senjatanya ke dalam
mulutnya sendiri: dor.
Lebih dari itu, 10.000
orang dari wilayah selatan, yang tidak mau berada di bawah pemerintahan
Lincoln memilih meninggalkan Amerika. Mereka seperti gelombang besar pindah
ke Inggris, Kanada, Meksiko, dan negara lainnya.
Yang masih tinggal di
Amerika pun tak semuanya bisa menerima kekalahan itu. Mereka membentuk
kelompok-kelompok yang menempuh cara sendiri-sendiri. Banyak sekali
organisasi yang didirikan dengan rasa sentimen itu. Termasuk yang paling
keras adalah Ku Klux Klan.
Ketika Kota Columbia
terbakar habis pada akhir perang sipil tersebut, ada juga yang mengaitkan itu
sebagai langkah bumi hangus dari tentara selatan yang harus mundur dari
Columbia.
Di antara yang kecewa
itu, ada satu orang yang mengambil jalan sendiri. Lima hari setelah
penyerahan diri Jenderal Lee, dia datang ke gedung teater di Washington,
membawa pistol, menyelinap ke balkon dan….dor! Menembak Presiden Abraham
Lincoln yang baru dilantik kembali untuk masa jabatan kedua.
Malam itu Lincoln
memang lagi nonton. Penjaganya lagi keluar balkon untuk ambil kopi. Dalam
satu minggu itu, dua peristiwa besar terjadi: kemenangan dan kekalahan Lincoln.
Padahal, keesokan harinya, rencananya Lincoln menerima anaknya, tentara, yang
baru datang dari Appomattox. Sang anak ikut menyaksikan pertemuan antara
Jenderal Grant, panglima perang tentara pusat, dan Jenderal Lee, yang
diakhiri dengan penyerahan diri itu. Lincoln ingin mendengar jalan cerita
penyerahan diri tersebut.
Begitu mahal harga
sebuah konstitusi.
Konstitusi itu dibuat
di Philadelphia dengan proses yang juga sangat sulit. Dan sangat panjang: 12
tahun. Saat berkunjung ke gedung tempat bersidangnya para pendiri USA itu,
saya membayangkan siapa duduk di kursi sebelah mana dan membicarakan apa.
Saya juga membayangkan George Washington duduk di kursi ketua sidang di depan
sana itu.
Saya membayangkan
betapa sabarnya para pendiri negara itu. Itulah pelajaran berdemokrasi
berikutnya yang saya peroleh. Membangun demokrasi memerlukan kesabaran. Juga
memerlukan toleransi. Seperti juga kita, saat proklamasi kemerdekaan
dikumandangkan, USA belum punya undang-undang dasar atau konstitusi.
Para pendiri negara
itu harus berdiskusi merumuskan seperti apa konstitusi yang mereka inginkan.
Rupanya tarik ulur kepentingan sangat keras. Rapat untuk merumuskan
konstitusi itu sampai berlangsung 12 tahun.
Empat isu besarnya:
bagaimana cara memilih presiden, bagaimana cara menentukan wakil
negara-negara bagian di pemerintahan pusat (federal), bagaimana soal budak,
dan sistem perpajakan yang tidak mengurangi kekuatan negara bagian.
Kita, Indonesia,
pernah mengalami masa-masa seperti itu ketika untuk kali pertama ingin
memiliki konstitusi yang demokratis. Pemilu pertama kita di tahun 1955 sangat
sukses. Demokratis dan damai. Terbentuklah konstituante. MPR. Mereka mulai
bersidang untuk merumuskan UUD. Satu tahun belum selesai. Dua tahun belum
selesai. Tiga tahun belum selesai. Empat tahun belum selesai. Bung Karno
tidak sabar. Bung Karno ambil jalan pintas: mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959.
Konstituante dibubarkan. UUD 45 kembali diberlakukan.
Dalam perkembangan
berikutnya, berlakulah demokrasi terpimpin. Lalu, berganti dengan demokrasi
Pancasila di zaman Pak Harto.
Kondisinya
memang berbeda. USA terbentuk oleh bersatunya negara-negara bagian. Biarpun
belum punya pemerintahan pusat, pemerintahan di daerah (negara bagian) sudah
berjalan. Itulah sebabnya, banyak yang mendukung langkah Bung Karno. Tentu
banyak juga yang menyayangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar