Puasa, Tradisi, dan Kearifan Lokal
A Helmy Faishal Zaini ; Ketua Fraksi PKB DPR
|
JAWA POS, 22 Juni 2015
BULAN puasa telah tiba. Sebagaimana biasa,
gegap gempita menyambut kedatangan bulan sakral ini berlangsung dengan begitu
riuhnya, tak terkecuali dengan bermunculannya kembali budayabudaya lokal yang
arif (local genius) yang murni
hasil kreasi manusia-manusia Nusantara dalam rangka menyemarakkan bulan suci
tersebut.
Pierre Bourdieu (1988), budayawan Prancis,
pernah mengatakan bahwa sejatinya manusia hidup dan berinteraksi dengan symbol-simbol.
Dia lebih jauh mengatakan bahwa simbol itulah yang mendominasi seluruh
aktivitas yang dijalankan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Apa yang dikatakan Bourdieu tersebut sungguh
sangat menarik jika kita bumikan sebagai pisau analisis untuk mendiskusikan
perilaku keagamaan serta tradisi-tradisi lokal manusia Nusantara dalam
menyemarakkan bulan puasa. Sebab, tidak bisa dimungkiri bahwa banyak sekali
budaya arif yang bersifat lokal yang oleh umat muslim Nusantara dijadikan
medium serta instrumen untuk ’’berdakwah’’ di bulan suci ini. Jean Baudillard
(2001) menyebutnya sebagai sebuah kreativitas simbolis. Kreativitas simbolis
adalah sebuah kreasi yang diberi muatan nilainilai tertentu dengan tujuan agar
bisa dipahami sang komunikan (orang/khalayak yang diajak berkomunikasi).
Berbicara kreativitas simbolis tersebut, umat
muslim Indonesia adalah rajanya. Banyak sekali budaya lokal yang dimodifikasi
sedemikian rupa serta dimasuki nilai-nilai religiusitas sehingga laik dan
pantas dijadikan semacam ’’menu wajib’’ yang harus ada selama bulan puasa.
Pertama, budaya slametan dan megengan. Tradisi
megengan adalah tradisi berkirim doa kepada yang sudah meninggal dan
dilakukan pada malam hari sebelum melakukan Tarawih pertama. Biasanya tradisi
megengan ini diawali dengan tradisi nyekar, yakni berkunjung dan ziarah ke
makam keluarga dan leluhur yang lebih dulu dipanggil Allah SWT.
Pada tradisi megengan tersebut, sesungguhnya
umat Islam sedang membangun sebuah komunikasi simbolis. Pesan yang ingin
disampaikan ialah bahwa yang dianggap sudah meninggal selama ini sesungguhnya
bukan berarti ia tidak ada. Sebaliknya, yang sudah meninggal sejatinya hanya
berpindah tempat dan ia harus didoakan keselamatannya.
Kedua, selain tradisi megengan, masyarakat
muslim Nusantara memiliki tradisi unik yang genuine lainnya, yakni tradisi patrol. Patrol adalah tradisi
membangunkan masyarakat dengan cara bersalawat diiringi alat musik seadanya
dan dilakukan dengan rute mengelilingi kampung.
Memang tidak bisa dipukul rata bahwa tradisi
patrol selalu bernilai positif. Di beberapa daerah, patrol yang awalnya
dijadikan medium untuk membangunkan warga untuk makan sahur, oleh beberapa
oknum, dibelokkan dan didekonstruksi menjadi negatif. Misalnya, beberapa kali
tradisi patrol menyulut sentimen kelompok sehingga terjadi tawuran
kecil-kecilan. Namun, pada hemat saya, kejadian semacam itu adalah bagian
dinamika dari proses pembudayaan menuju masyarakat yang lebih beradab.
Penting untuk dicatat bahwa kreativitas adalah
hal yang utama. Sebab, saya percaya Einstein bahwa imagination more than knowledge. Imajinasi jauh lebih penting
dibandingkan sebuah pengetahuan. Nah, buah dari imajinasi adalah kreativitas
itu sendiri. Persoalannya kemudian adalah bagaimana mengarahkan
kreativitas-kreativitas tersebut menjadi sebuah adonan kebudayaan yang
bermanfaat, itu saja.
Ketiga, dan ini yang menurut saya masih minim,
adalah tradisi sahur bersama. Belum ada kajian serius yang menganalisis
mengapa sampai saat ini masih jarang kita jumpai kegiatan-kegiatan sahur
bersama tersebut. Tradisi sahur bersama masih kalah jauh dibandingkan
kegiatan buka bersama.
Padahal, saya sangat setuju dengan alasan
filosofis mengapa sahur bersama perlu digalakkan. Alasan tersebut bermuara pada
kesadaran bahwa sahur bersama berarti mengajak menjalankan puasa bersama. Hal
ini tentu saja lebih bernilai ibadah dibandingkan buka bersama yang pada
hakikatnya mengajak orang untuk membatalkan puasa.
Terlepas dari itu semua, yang terpenting,
dengan aneka kreativitas tradisi lokal umat Islam Nusantara yang begitu kaya
dan meruah tersebut, tugas kita bersama adalah bagaimana berupaya dengan
sungguh-sungguh dan terus-menerus mencoba memasukkan nilai-nilai religius edukatif
pada budaya-budaya tersebut. Sebab, pada tradisi-tradisi yang kaya tidak akan
ada artinya dan ia akan hanya berhenti sebagai sebuah tradisi jika kita tidak
dengan sungguh-sungguh selalu mencoba memodifikasi serta sembari terus
mencoba memasukkan nilai-nilai religius edukatif di dalamnya.
Lalu, jika ada yang bertanya-tanya nilai-nilai
apa yang terkandung dalam tradisi lokal tersebut? Maka, dengan tegas, pada
hemat saya setidaknya ada tiga nilai yang dominan. Pertama, nilai-nilai
dakwah dan syiar Islam yang dibalut dengan kreativitas akulturasi budaya.
Kedua, nilai-nilai silaturahmi yang produktif dan maslahah. Kemudian, nilai
kedua tersebut sangat mungkin melahirkan nilai ketiga, yakni nilai ekonomi
kreatif masyarakat.
Akhirnya, kita tahu, dalam tradisi NU, yang
demikian itulah yang sesungguhnya disebut ’’almukhafadhotu
alal qadimish sholih wal akhdu bil jadidil ashlah’’, yakni menjaga
tradisi serta mengembangkan inovasi. Wallahu
a’lam bis-sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar