Jumat, 12 Juni 2015

Polemik Rotasi Jabatan Panglima TNI

Polemik Rotasi Jabatan Panglima TNI

Anton Aliabbas  ;  Kini Studi Doktoral Bidang Pertahanan dan Keamanan
di Cranfield University, Inggris
KORAN TEMPO, 12 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Belakangan ini, wajah media massa diramaikan oleh pemberitaan seputar wacana pengisian jabatan Panglima TNI pengganti Jenderal Moeldoko, yang akan segera pensiun. Polemik penting-tidaknya posisi Panglima TNI diisi bergantian oleh perwira tinggi setiap matra mengemuka.

Sebagian pihak berpendapat regulasi yang mengatur TNI sudah membuka ruang tentang rotasi jabatan Panglima TNI. Dan, jika sesuai dengan pola "konvensi", pengganti Jenderal Moeldoko adalah Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Ade Supriyatna. Sedangkan sebagian lain berpendapat sebaliknya. Kelompok ini berargumen Pasal 13 ayat 4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang tidak mewajibkan Presiden Joko "Jokowi" Widodo memilih kandidat Panglima TNI dari matra tertentu. Dalih inilah yang setidaknya dipakai Presiden Jokowi dalam mengajukan nama Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai kandidat Panglima TNI ke DPR.

Pasal 13 (4) UU TNI berbunyi: "Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan".

Harus diakui, semangat dari keberadaan pasal ini adalah untuk menumbuhkan rasa kesetaraan dalam TNI. Sejak 1945 hingga 1999, posisi pucuk pimpinan TNI hampir selalu dikuasai TNI Angkatan Darat. Rasa setara ini sedikit-banyak mempengaruhi aspek kesatuan (unity) antarmatra di tubuh militer menjadi lebih baik.

Adalah Presiden Abdurrahman Wahid yang memulai tradisi Panglima TNI dipegang oleh non-jenderal TNI AD dengan menunjuk Laksamana Widodo A.S. pada Oktober 1999. Walaupun, sebenarnya, Presiden Sukarno pernah menunjuk Marsekal Omar Dhani sebagai Panglima Komando Siaga di era Konfrontasi dengan Malaysia. Posisi tersebut langsung berada di bawah kendali Sukarno, yang saat itu juga memegang posisi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Akan tetapi, polemik tentang penting-tidaknya posisi Panglima TNI dijabat bergiliran kerap berulang menjelang pergantian. Ada beberapa alasan penyebab kondisi tersebut. Pertama, ketentuan pasal 13 ayat 4 yang menggunakan frasa "dapat dijabat secara bergantian" menjadikan klausa ini tidak memberi garis tegas perihal rotasi.

Kedua, ketiadaan tolok ukur dalam penilaian kinerja Panglima TNI yang sedang menjabat. Ketiadaan indikator kerja ini menjadikan tidak ada penilaian obyektif mengenai perkembangan sektor pertahanan terkini.

Ketiga, absennya pemerintah dalam membuat kebijakan strategis pertahanan jangka pendek sebelum menunjuk kandidat Panglima TNI. Padahal kebijakan strategis ini berperan penting untuk membantu kinerja Panglima TNI dalam menyusun program kerja serta memudahkan DPR melakukan pengawasan. Lantas, bagaimana keluar dari rutinitas perdebatan ini?

Sejak awal, Presiden Jokowi tegas menyebutkan visi poros maritim  akan dijalankan selama kepemimpinannya. Visi ini diturunkan dalam kebijakan pemerintah yang tertuang pada Rencana Jangka Pendek dan Menengah Nasional (RJPMN) 2015-2019. Merujuk dokumen tersebut, setidaknya ada 3 sasaran terkait dengan pembentukan TNI profesional, yakni: (1) pemenuhan  kebutuhan alutsista; (2) meningkatkan kesejahteraan prajurit; dan (3) meningkatkan anggaran pertahanan hingga 1,5 persen dari PDB guna membangun TNI sebagai kekuatan maritim regional yang disegani di kawasan Asia Timur.

Meskipun demikian, kebijakan pemerintah ini tidak cukup untuk dijadikan dasar komprehensif dalam membangun kekuatan pertahanan yang adaptif terhadap perubahan lingkungan strategis dan ancaman. Mengadaptasi pendapat ahli manajemen pertahanan dari Cranfield University, Roger Darby (2015), setidaknya ada 3 isu lain yang juga harus diperhatikan.

Pertama, topik temporal yang menitikberatkan pada isu perubahan generasi signifikan yang terjadi di level prajurit TNI yang sudah mulai menerima nilai demokrasi.

Kedua, isu kultural yang menggarisbawahi adanya kemajemukan yang menjadi fondasi masyarakat Indonesia yang dapat berpotensi menyebabkan ancaman keamanan. Terakhir adalah isu dinamika ancaman. Dalam topik ini, adanya identifikasi dinamika risiko, tantangan, dan ancaman menjadi sebuah keharusan.

Setelah memperhatikan isu ini, langkah lain yang hendaknya dilakukan adalah melakukan kaji ulang pertahanan strategis. Kaji ulang ini memainkan peranan penting untuk mengukur kesesuaian dan kapabilitas kekuatan pertahanan dalam merespons dinamika lingkungan strategis.

Dokumen kaji ulang pertahanan strategis inilah yang kemudian digunakan Kementerian Pertahanan untuk membentuk cetak biru pertahanan strategis ke depan. Dalam konteks kontrol demokratik atas militer, keberadaan cetak biru ini akan memudahkan Presiden Jokowi membuat kriteria jabatan seorang Panglima TNI. Bukan hanya itu, cetak biru ini juga menjadi panduan sekaligus alat ukur kinerja Panglima TNI mendatang. Cetak biru pertahanan strategis ini tentunya bersifat dinamis mengikuti perkembangan dan perubahan lingkungan. Dengan adanya cetak biru pertahanan, perdebatan tentang ide rotasi jabatan Panglima TNI menjadi tidak relevan.

Sudah semestinya Jokowi memulai tradisi baru dalam meneruskan reformasi TNI. Arahan politik yang jelas dari seorang panglima tertinggi angkatan bersenjata pada sektor pertahanan sangat diperlukan. Sebab, pada akhirnya kepemimpinan politik yang menentukan arah pembangunan kekuatan pertahanan untuk mencapai tujuan dan kepentingan nasional. Tentunya tetap dalam koridor menempatkan profesionalisme, kualitas pendidikan, dan pelatihan prajurit yang baik sebagai kekuatan utama TNI pada masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar