Pilkada Serentak dan Pajak
Chandra Budi ; Bekerja di Ditjen Pajak; Alumnus
Pascasarjana IPB
|
JAWA POS, 12 Juni 2015
SEJAK akhir Mei 2015,
ada kesepakatan bersama (memorandum of
understanding) antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Direktorat Jenderal
Pajak (Ditjen Pajak) mengenai syarat khusus bagi peserta pemilihan kepala
daerah (pilkada) serentak yang dimulai Desember 2015. Peserta pilkada
diwajibkan memperoleh surat keterangan tertib pajak atau yang lebih dikenal
dengan istilah tax clearance dari kantor pajak.
Selain itu, peserta
pilkada diwajibkan menyiapkan program kerja khusus dalam rangka mendorong
penerimaan pajak yang akan didokumentasikan KPU. Langkah tersebut sepatutnya
menjadi momentum untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Caranya, membuat tax
clearance itu sebagai konsumsi publik.
Tax Clearance
Awalnya, tax clearance
atau dalam istilah perpajakan dinamakan surat keterangan fiskal (SKF)
diperuntukkan bagi wajib pajak yang terdaftar di bursa (emiten) dan wajib
pajak nonbursa. Bagi wajib pajak emiten, SKF merupakan syarat untuk menjual
saham perusahaan di bursa efek atau menjual obligasi perusahaan melalui atau
tanpa bursa efek. Dengan kata lain, SKF untuk kepentingan ini lebih mengarah
ke perlindungan terhadap investor dari emiten. Misalnya, dikhawatirkan emiten
menggunakan uang investor untuk melunasi utang pajak mereka.
Bagi wajib pajak yang
tidak terdaftar di pasar bursa, SKF biasanya digunakan sebagai salah satu
syarat mengikuti penawaran dan atau lelang pengadaan barang dan atau jasa
pemerintah. Namun, sejak 2014, fungsi SKF diperluas sehingga dapat dimintakan
oleh semua wajib pajak untuk keperluan masing-masing.
Secara garis besar,
SKF hanya berisi informasi tentang kepatuhan formal semata, bukan kepatuhan
material. Artinya, sepanjang wajib pajak taat membayar dan melaporkan
pajak-pajak mereka, SKF pasti akan diberikan tanpa melihat apakah pajak yang
dibayarkan atau dilaporkan tersebut benar atau tidak.
Bahkan, walaupun
sedang dilakukan pemeriksaan sepanjang bukan penyidikan, hal tersebut tidak
akan menjadi penghalang bagi wajib pajak untuk mendapatkan SKF. Memang, wajib
pajak harus melunasi semua utang pajaknya untuk mendapatkan SKF. Tetapi,
sekali lagi, sepanjang ada persetujuan angsuran atas utang pajaknya, syarat
tersebut menjadi terlewati.
Tampaknya, peserta
pilkada akan mudah mendapatkan SKF. Walaupun, sebelumnya peserta pilkada
tersebut belum terdaftar sebagai wajib pajak. Sebab, tidak ada klausul yang
mengugurkan bahwa wajib pajak harus terdaftar dalam jangka waktu tertentu
sebelum mengajukan permohonan SKF. Nah, ketika peserta pilkada baru saja
mendapatkan NPWP sesaat sebelum mendaftar ikut pilkada serentak –walaupun
telah diyakini memenuhi syarat subjektif dan objektif–, mereka berhak
mendapatkan SKF.
Padahal, ada indikasi
peserta pilkada tersebut tidak patuh pajak. Belum lagi, status peserta
pilkada akan didominasi pengusaha dengan banyak perusahaan. Ketika
perusahaannya tidak patuh pajak, seharusnya pengusaha tersebut bertanggung
jawab. Artinya, SKF mereka seharusnya juga tidak disetujui kantor pajak.
Tetapi, sayangnya, kepatuhan material tersebut tidak disyaratkan untuk
memperoleh SKF. Karena itu, sepanjang peserta pilkada telah memenuhi syarat
formal, SKF pasti diberikan oleh kantor pajak.
Agar SKF bisa menjadi
alat untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, diperlukan strategi khusus
melalui publikasi SKF.
Publikasi
Di negara maju seperti
Amerika Serikat (AS), sudah sangat lumrah setiap kandidat yang ingin
mencalonkan diri untuk jabatan publik mengumumkan sendiri berapa pajak yang
telah dibayarkan. Selain untuk menarik simpati pemilih melalui fakta yang
ada, pengumuman tersebut berdampak pada peningkatan kepatuhan pajak.
Misalnya, dalam pemilihan presiden AS 2012, calon incumbent Presiden Obama
menantang pesaingnya dari Partai Republik Mitt Romney untuk sama-sama membuka
isi surat pemberitahuan (SPT) pajak yang dilaporkannya.
Obama kala itu
mengumumkan SPT-nya sendiri dengan menyebutkan penghasilannya selama 2011
yang mencapai USD 789.674 dengan pajak yang harus dibayar sebesar 20,5 persen
atau USD 162.074. Penghasilan Obama itu turun dari 2009 yang mencapai USD 5,5
juta karena royalti buku larisnya. Kondisi tersebut membuat Romney melakukan
hal serupa dan berhenti untuk ’’menyembunyikan’’ detail kekayaannya yang sangat
besar (Huff Post, 13/4/2012).
Di AS, publikasi isi
SPT dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Sebab, otoritas pajak di AS terikat
oleh aturan rahasia jabatan sebagaimana dalam undang-undang mereka. Demikian
juga di Indonesia, Ditjen Pajak terikat pasal tentang rahasia jabatan. Sesuai
dengan pasal 34 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), setiap
pegawai pajak diwajibkan merahasiakan data kewajiban perpajakan yang
disampaikan wajib pajak kepada mereka.
Tentu, dengan kultur
saat ini, sulit mengharapkan peserta pilkada akan mengumumkan sendiri isi SKF
mereka. Karena itu, cara lain adalah meminta peserta pilkada menyertakan
surat izin untuk memublikasikan SKF sehingga komisi pemilihan umum daerah
(KPUD) bisa mengumumkannya ke publik.
SKF yang telah
diumumkan KPUD merupakan alat kontrol efektif bagi masyarakat selaku pemilih.
Kalaupun mau menguji kebenarannya secara sederhana, masyarakat bisa
menggunakan data pembanding laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN)
yang dipublikasikan di situs Anti Corruption Clearing House (AACH) milik
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) –tentunya bagi peserta pilkada yang
sebelumnya masuk kategori pejabat negara.
Kalau ternyata
ditemukan ketidakwajaran, misalnya ditemukan objek pajak (tanah dan atau
bangunan) yang tidak ada dalam SKF namun tercantum dalam LHKPN, itu merupakan
sinyal ketidakberesan integritas sang calon pemimpin.
Selain itu,
pensyaratan SKF bagi calon kepala daerah diharapkan bisa memberikan efek
salju dalam peningkatan kepatuhan pajak. Kepala daerah yang telah
memublikasikan kewajiban pajaknya kepada publik akan memerintah jajaran di
bawahnya untuk melakukan hal yang sama. Dengan demikian, hal itu akhirnya
bisa menjadi gerakan bersama, dimulai dari pemimpin yang kemudian diikuti dan
dicontoh rakyat. Dengan sebagian besar masih menganut sistem patron-klien
yang kental, peran pemimpin masih diyakini mampu mengajak rakyatnya untuk
patuh pajak.
Sebaliknya, apabila
SKF hanya menjadi syarat semata tanpa dipublikasikan luas, dikhawatirkan
dampaknya terhadap pendorong kepatuhan pajak tidak signifikan. Sebab, SKF
hanya menjadi selembar kertas tanpa makna ketika check and balance tidak
dilakukan.
Toh, akhirnya, niat
baik untuk mendorong peran pemimpin daerah agar peka terhadap kontribusi
pajak hanya sebatas mimpi. Padahal, masih banyak daerah yang berharap pada
besarnya bagi hasil pajak pusat untuk aktivitas rutin dan pembangunan
daerahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar