Sabtu, 13 Juni 2015

Pilkada Serentak dan Pajak

Pilkada Serentak dan Pajak

Chandra Budi  ;  Bekerja di Ditjen Pajak; Alumnus Pascasarjana IPB
JAWA POS, 12 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEJAK akhir Mei 2015, ada kesepakatan bersama (memorandum of understanding) antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mengenai syarat khusus bagi peserta pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang dimulai Desember 2015. Peserta pilkada diwajibkan memperoleh surat keterangan tertib pajak atau yang lebih dikenal dengan istilah tax clearance dari kantor pajak.

Selain itu, peserta pilkada diwajibkan menyiapkan program kerja khusus dalam rangka mendorong penerimaan pajak yang akan didokumentasikan KPU. Langkah tersebut sepatutnya menjadi momentum untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Caranya, membuat tax clearance itu sebagai konsumsi publik.

Tax Clearance

Awalnya, tax clearance atau dalam istilah perpajakan dinamakan surat keterangan fiskal (SKF) diperuntukkan bagi wajib pajak yang terdaftar di bursa (emiten) dan wajib pajak nonbursa. Bagi wajib pajak emiten, SKF merupakan syarat untuk menjual saham perusahaan di bursa efek atau menjual obligasi perusahaan melalui atau tanpa bursa efek. Dengan kata lain, SKF untuk kepentingan ini lebih mengarah ke perlindungan terhadap investor dari emiten. Misalnya, dikhawatirkan emiten menggunakan uang investor untuk melunasi utang pajak mereka.

Bagi wajib pajak yang tidak terdaftar di pasar bursa, SKF biasanya digunakan sebagai salah satu syarat mengikuti penawaran dan atau lelang pengadaan barang dan atau jasa pemerintah. Namun, sejak 2014, fungsi SKF diperluas sehingga dapat dimintakan oleh semua wajib pajak untuk keperluan masing-masing.

Secara garis besar, SKF hanya berisi informasi tentang kepatuhan formal semata, bukan kepatuhan material. Artinya, sepanjang wajib pajak taat membayar dan melaporkan pajak-pajak mereka, SKF pasti akan diberikan tanpa melihat apakah pajak yang dibayarkan atau dilaporkan tersebut benar atau tidak.

Bahkan, walaupun sedang dilakukan pemeriksaan sepanjang bukan penyidikan, hal tersebut tidak akan menjadi penghalang bagi wajib pajak untuk mendapatkan SKF. Memang, wajib pajak harus melunasi semua utang pajaknya untuk mendapatkan SKF. Tetapi, sekali lagi, sepanjang ada persetujuan angsuran atas utang pajaknya, syarat tersebut menjadi terlewati.

Tampaknya, peserta pilkada akan mudah mendapatkan SKF. Walaupun, sebelumnya peserta pilkada tersebut belum terdaftar sebagai wajib pajak. Sebab, tidak ada klausul yang mengugurkan bahwa wajib pajak harus terdaftar dalam jangka waktu tertentu sebelum mengajukan permohonan SKF. Nah, ketika peserta pilkada baru saja mendapatkan NPWP sesaat sebelum mendaftar ikut pilkada serentak –walaupun telah diyakini memenuhi syarat subjektif dan objektif–, mereka berhak mendapatkan SKF.

Padahal, ada indikasi peserta pilkada tersebut tidak patuh pajak. Belum lagi, status peserta pilkada akan didominasi pengusaha dengan banyak perusahaan. Ketika perusahaannya tidak patuh pajak, seharusnya pengusaha tersebut bertanggung jawab. Artinya, SKF mereka seharusnya juga tidak disetujui kantor pajak. Tetapi, sayangnya, kepatuhan material tersebut tidak disyaratkan untuk memperoleh SKF. Karena itu, sepanjang peserta pilkada telah memenuhi syarat formal, SKF pasti diberikan oleh kantor pajak.

Agar SKF bisa menjadi alat untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, diperlukan strategi khusus melalui publikasi SKF.

Publikasi

Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), sudah sangat lumrah setiap kandidat yang ingin mencalonkan diri untuk jabatan publik mengumumkan sendiri berapa pajak yang telah dibayarkan. Selain untuk menarik simpati pemilih melalui fakta yang ada, pengumuman tersebut berdampak pada peningkatan kepatuhan pajak. Misalnya, dalam pemilihan presiden AS 2012, calon incumbent Presiden Obama menantang pesaingnya dari Partai Republik Mitt Romney untuk sama-sama membuka isi surat pemberitahuan (SPT) pajak yang dilaporkannya.

Obama kala itu mengumumkan SPT-nya sendiri dengan menyebutkan penghasilannya selama 2011 yang mencapai USD 789.674 dengan pajak yang harus dibayar sebesar 20,5 persen atau USD 162.074. Penghasilan Obama itu turun dari 2009 yang mencapai USD 5,5 juta karena royalti buku larisnya. Kondisi tersebut membuat Romney melakukan hal serupa dan berhenti untuk ’’menyembunyikan’’ detail kekayaannya yang sangat besar (Huff Post, 13/4/2012).

Di AS, publikasi isi SPT dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Sebab, otoritas pajak di AS terikat oleh aturan rahasia jabatan sebagaimana dalam undang-undang mereka. Demikian juga di Indonesia, Ditjen Pajak terikat pasal tentang rahasia jabatan. Sesuai dengan pasal 34 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), setiap pegawai pajak diwajibkan merahasiakan data kewajiban perpajakan yang disampaikan wajib pajak kepada mereka.

Tentu, dengan kultur saat ini, sulit mengharapkan peserta pilkada akan mengumumkan sendiri isi SKF mereka. Karena itu, cara lain adalah meminta peserta pilkada menyertakan surat izin untuk memublikasikan SKF sehingga komisi pemilihan umum daerah (KPUD) bisa mengumumkannya ke publik.

SKF yang telah diumumkan KPUD merupakan alat kontrol efektif bagi masyarakat selaku pemilih. Kalaupun mau menguji kebenarannya secara sederhana, masyarakat bisa menggunakan data pembanding laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) yang dipublikasikan di situs Anti Corruption Clearing House (AACH) milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) –tentunya bagi peserta pilkada yang sebelumnya masuk kategori pejabat negara.

Kalau ternyata ditemukan ketidakwajaran, misalnya ditemukan objek pajak (tanah dan atau bangunan) yang tidak ada dalam SKF namun tercantum dalam LHKPN, itu merupakan sinyal ketidakberesan integritas sang calon pemimpin.

Selain itu, pensyaratan SKF bagi calon kepala daerah diharapkan bisa memberikan efek salju dalam peningkatan kepatuhan pajak. Kepala daerah yang telah memublikasikan kewajiban pajaknya kepada publik akan memerintah jajaran di bawahnya untuk melakukan hal yang sama. Dengan demikian, hal itu akhirnya bisa menjadi gerakan bersama, dimulai dari pemimpin yang kemudian diikuti dan dicontoh rakyat. Dengan sebagian besar masih menganut sistem patron-klien yang kental, peran pemimpin masih diyakini mampu mengajak rakyatnya untuk patuh pajak.

Sebaliknya, apabila SKF hanya menjadi syarat semata tanpa dipublikasikan luas, dikhawatirkan dampaknya terhadap pendorong kepatuhan pajak tidak signifikan. Sebab, SKF hanya menjadi selembar kertas tanpa makna ketika check and balance tidak dilakukan.

Toh, akhirnya, niat baik untuk mendorong peran pemimpin daerah agar peka terhadap kontribusi pajak hanya sebatas mimpi. Padahal, masih banyak daerah yang berharap pada besarnya bagi hasil pajak pusat untuk aktivitas rutin dan pembangunan daerahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar