Pertaruhan Politik PPP
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
KORAN
SINDO, 22 Juni 2015
Ada pendekatan berbeda yang dipraktikkan Partai Golkar dan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam mengurai konflik yang membelit
mereka jelang perhelatan pilkada serentak di penghujung tahun ini.
Partai Golkar berupaya menjajaki model konsensus parsial
dengan prosedur islah untuk menyelamatkan eksistensi mereka jelang dimulainya
tahapan pilkada serentak.”Gencatan senjata” ala Golkar merupakan islah semu
dan sekadar menyelamatkan tiket masuk ke gelanggang pertarungan di tengah
konflik internal yang kian membara! Sementara roadmap penyelesaian konflik
PPP masih gelap gulita, baik islah pura-pura maupun jalan keluar paripurna di
luar prosedur hukum yang sedang dijalani mereka saat ini.
Kegagalan Komunikasi
Politik
Ironis! Baik Golkar maupun PPP merupakan partai yang banyak
makan asam garam kehidupan politik nasional. Kedua partai yang lahir dari
rahim Orde Baru ini sesungguhnya diisi oleh banyak politisi berpengalaman dan
kenyang terlibat dalam urusan manajemen konflik. Konflik dalam partai politik
sesungguhnya wajar dan niscaya adanya.
Karena itu, hubungan antaraktor dan kelompok yang berseteru
harus dikanalisasi melalui beragam prosedur komunikasi yang mengubah kuadran
negatif menjadi positif. Politisi dituntut untuk mengembangkan model
komunikasi interaksional dan transaksional secara cermat, tepat, dan
proporsional.
Konflik yang selalu menghadirkan suasana penuh paradoks harus
diimbangi dengan kepiawaian membuka zona kesepakatan yang memungkinkan
terfasilitasinya pemahaman bersama untuk mengatasi deadlock. Yang ditempuh Golkar lebih maju dari PPP. Meskipun
islah semu Golkar dalam jangka menengah dan panjang belum menyelesaikan
masalah internal mereka, bertemunya para elite kubu Aburizal Bakrie dan kubu
Agung Laksono menjadi penanda bahwa manajemen konflik masih berjalan.
PPP hingga sekarang gagal mengembangkan komunikasi politik.
Pernyataan kedua kubu terus saling menegasikan eksistensi masing-masing
pihak. Kubu Djan Faridz berkali-kali mengumbar pernyataan hanya akan islah
dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, bukan dengan kubu Muhammad
Romahurmuziy.
Pun demikian basa-basi Romahurmuziy, yang hanya akan berislah
dengan Suryadharma Ali (SDA). Golkar punya cara lumayan untuk mengurai
kebuntuan dengan memajukan sosok Jusuf Kalla sebagai mediator, sementara PPP
tak kunjung bisa memaksimalkan figur jangkar di internalnya meski sekadar
untuk gencatan senjata. Inilah titik rawan PPP yang sekaligus menjadi
pertaruhan politik mereka dalam keikutsertaannya di pilkada serentak. Jika
merujuk ke Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), ada dua poin utama yang
mengatur calon kandidat yang akan diusung parpol.
Pertama, hanya pengurus parpol yang terdaftar di Kementrian Hukumdan
HAM yang bisa mengusung calon peserta pilkada. Apabila tengah menjalani
proses hukum, pengurus yang menang sesuai putusan pengadilan berkekuatan
hukum tetap dan terdaftar di Kemenhukham yang bisa mengikuti pilkada. Kedua,
kubu-kubu yang berseteru harus islah dan mendaftarkan kepengurusan ke
Kemenhukham sebelum tahap pendaftaran calon kepada daerah berakhir pada 28
Juli 2015.
Semua instrumen UU dan peraturan sesungguhnya telah jelas,
partai berkonflik harus mengatasi dulu persoalan internalnya untuk dapat
melenggang ke gelanggang pertarungan elektoral. Kegagalan komunikasi politik
dalam manajemen konflik bisa menyebabkan kerugian besar dan berdampak luas
bagi posisi politik mereka.
Siklus Perilaku
Komunikasi
alam perspektif teori informasi organisasi dari Karl Wieck
dalam The Social Psychology of Organizing (1979) dikenal dua strategi
komunikasi agar organisasi mampu mengurangi ketidakpastian terutama saat
konflik seperti dialami PPP dan Golkar. Dua hal tersebut adalah siklus
perilaku komunikasi dan aturan bersama.
Siklus perilaku membutuhkan prosedur aksi (act), interaksi atau respons (interact), dan penyesuaian (adjustment). Siklus komunikasi ini
memungkinkan politisi yang bertikai melakukan klarifikasi terhadap ihwal yang
belum jelas. Syarat utamanya adalah kemauan dan kemampuan untuk meletakkan
seluruh inisiatif penyelesaian konflik dalam kerangka interaksi yang sepadan
dan saling menyesuaikan untuk mengoptimalkan hasil koordinasi atau negosiasi.
Jelas, pernyataan Djan Faridz dan Romahurmuziy soal islah
tidak berkomitmen menghadirkan siklus komunikasi ini sehingga tak bisa
menghadirkan perubahan kuadran negatif ke positif meski sekadar temporer.
Bingkai islah, dalam perspektif Karl Wieck ini, juga harusnya menghadirkan
aturan bersama menyangkut empat hal.
Pertama, aturan durasi. Aturan ini mengacu pada pilihan
organisasi untuk melakukan komunikasi yang bisa diselesaikan dalam waktu
sesingkat mungkin. Ini yang ditempuh Golkar sekarang, menyelamatkan pilkada
serentak melalui kesepakatan bersama. Kedua, aturan personel. Adanya panduan
aturan bersama yang bisa mengikat bauran kepengurusan hasil islah. Ini memang
cukup rumit ketika dua kubu yang berseteru harus saling berbaur.
Putusan pengadilan maupun aturan eksternal sesungguhnya
hanyalah rujukan, tetapi optimal dan tidak bauran kepengurusan akan sangat
ditentukan oleh komunikasi intensif di antara para elite di internal partai
yang berkonflik. Ketiga, aturan keberhasilan. Biasanya menggunakan rujukan
proses komunikasi di masa lalu yang terbukti efektif dalam mengurangi
ketidakpastian informasi. PPP dan Golkar sebagai partai berpengalaman tentu
memiliki pengalaman tentang cara mengatasi konflik mereka pada masa lalu.
Keempat, aturan usaha dengan memastikan seluruh upaya dan
prosedur islah memfasilitasi kedua kubu untuk saling memahami dan
menyetujuinya. PPP kini dihadapkan pada tantangan nyata, mampukah mereka
keluar dari jebakan ego elite masing-masing? Jika tak mampu menghadirkan
kesepakatan bersama, PPP akan masuk di zona bahaya. PPP berpotensi
tertinggalgerbongpilkadaserentak tahun ini.
Jika pun ikut menempel ke gerbong partai lain, PPP hanya akan
menjadi pelengkap penderita akibat tak solidnya basis struktur partai dan
kecewanya basis konstituen mereka. Dalam jangka panjang pun bisa menghadirkan
situasi runyam. PPP akan kehilangan pamor dan powerdalam memosisikan partai
mereka sebagai ”rumah besar umat Islam”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar