Pengungsi
dan Kemanusiaan Kita
Husni Mubarok ; Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi
(Pusad) Paramadina
|
KORAN TEMPO, 03 Juni 2015
Indonesia telah
menampung sekitar 1.800 pengungsi asal Rohingya dan Bangladesh. Presiden
Jokowi meminta Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan kementerian terkait
mengurus mereka dengan baik. Belakangan, bahkan muncul wacana pemerintah akan
menyediakan pendidikan bagi anak-anak para pengungsi selama mereka di Tanah
Air.
Sikap dan tindakan
pemerintah ini layak kita hargai karena mencerminkan prinsip kemanusiaan yang
kita anut dalam sila kedua Pancasila. Sayangnya, perlakuan bangsa kita tidak
konsisten terhadap pengungsi dari negeri sendiri.
Sementara warga
Rohingya dan Bangladesh mendapat perlakuan yang manusiawi, pengungsi yang
kini menetap di Transito, Nusa Tenggara Barat (NTB), masih dalam kondisi yang
mengenaskan. Terusir dari tempat tinggal mereka pada 2006, kelompok penganut
Ahmadi itu hidup seperti orang buangan. Selain di NTB, penganut Syiah asal
Sampang juga mendapat pengalaman dan perlakuan serupa sejak 2012. Singkatnya,
mereka menderita di negeri sendiri.
Mengapa perlakuan
bangsa kita terhadap kedua kolompok pengungsi tersebut berbeda? Penjelasan
psikolog sosial dari Universitas Indiana, Eliot Smith, ihwal mekanime
perubahan perilaku dari stereotipe menjadi diskriminasi (2014) mungkin dapat
menjelaskan fenomena ini. Menurut dia, stereotipe atau labelisasi dapat
menggiring orang untuk berprasangka buruk. Orang kemudian membenci sesamanya
akibat prasangka itu dan terdorong untuk melakukan tindakan diskriminatif.
Formulasi ala Smith
ini benar-benar dialami pengungsi Transito NTB (pengikut Ahmadiyah), tapi
tidak dirasakan pengungsi Rohingya. Perbedaan cara pandang ini berimplikasi
pada bagaimana bangsa kita melayani mereka. Pemerintah, organisasi swasta,
dan individu ambil bagian untuk membantu pengungsi Rohingya di Aceh.
Sementara itu, pemerintah telah menghentikan bantuan di Transito dan
Sidoarjo.
Perbedaan perlakuan
ini sesungguhnya mencerminkan apa yang oleh Amy Gutmann disebut politik
identitas.Atas nama identitas tertentu, seseorang atau sekelompok orang
membantu serta memperjuangkan bantuan untuk pengungsi Rohingya. Atas nama
identitas pula, beberapa pihak berupaya menghentikan bantuan pemerintah kepada
pengungsi di Trasito. Gutmann menilai model politik identitas ini menjauhkan
kehidupan sosial-politik dari keadilan.
Kita perlu mengubah
paradigma terhadap pengungsi di mana pun mereka berada. Alih-alih melihat
mereka dengan identitas kesukuan atau keyakinan tertentu, kita mesti
memandang mereka sebagai manusia, titik. Penderitaan mereka sama, sebagaimana
yang akan kita alami jika kita menjadi mereka. Perlakukan mereka sebagaimana
kita ingin diperlakukan bila mengalami hal serupa, demikian prinsip emas
agama-agama di dunia berbunyi.
Prinsip
kemanusiaan juga semestinya mendorong pemerintah menuntaskan semua masalah
pengungsi di negeri ini. Selain prinsip kemanusiaan, Presiden Jokowi berulang
kali menyebut kata non-diskriminasi di Nawa Cita. Kata yang sama juga kita
temukan beberapa kali di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2015-2019. Karena itu,, hampir tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak
segera mengambil langkah konkret terhadap pengungsi di mana pun mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar