Kamis, 04 Juni 2015

Pengungsi dan Kemanusiaan Kita

Pengungsi dan Kemanusiaan Kita

Husni Mubarok  ;   Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Paramadina
KORAN TEMPO, 03 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Indonesia telah menampung sekitar 1.800 pengungsi asal Rohingya dan Bangladesh. Presiden Jokowi meminta Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan kementerian terkait mengurus mereka dengan baik. Belakangan, bahkan muncul wacana pemerintah akan menyediakan pendidikan bagi anak-anak para pengungsi selama mereka di Tanah Air.

Sikap dan tindakan pemerintah ini layak kita hargai karena mencerminkan prinsip kemanusiaan yang kita anut dalam sila kedua Pancasila. Sayangnya, perlakuan bangsa kita tidak konsisten terhadap pengungsi dari negeri sendiri.

Sementara warga Rohingya dan Bangladesh mendapat perlakuan yang manusiawi, pengungsi yang kini menetap di Transito, Nusa Tenggara Barat (NTB), masih dalam kondisi yang mengenaskan. Terusir dari tempat tinggal mereka pada 2006, kelompok penganut Ahmadi itu hidup seperti orang buangan. Selain di NTB, penganut Syiah asal Sampang juga mendapat pengalaman dan perlakuan serupa sejak 2012. Singkatnya, mereka menderita di negeri sendiri.

Mengapa perlakuan bangsa kita terhadap kedua kolompok pengungsi tersebut berbeda? Penjelasan psikolog sosial dari Universitas Indiana, Eliot Smith, ihwal mekanime perubahan perilaku dari stereotipe menjadi diskriminasi (2014) mungkin dapat menjelaskan fenomena ini. Menurut dia, stereotipe atau labelisasi dapat menggiring orang untuk berprasangka buruk. Orang kemudian membenci sesamanya akibat prasangka itu dan terdorong untuk melakukan tindakan diskriminatif.

Formulasi ala Smith ini benar-benar dialami pengungsi Transito NTB (pengikut Ahmadiyah), tapi tidak dirasakan pengungsi Rohingya. Perbedaan cara pandang ini berimplikasi pada bagaimana bangsa kita melayani mereka. Pemerintah, organisasi swasta, dan individu ambil bagian untuk membantu pengungsi Rohingya di Aceh. Sementara itu, pemerintah telah menghentikan bantuan di Transito dan Sidoarjo.

Perbedaan perlakuan ini sesungguhnya mencerminkan apa yang oleh Amy Gutmann disebut politik identitas.Atas nama identitas tertentu, seseorang atau sekelompok orang membantu serta memperjuangkan bantuan untuk pengungsi Rohingya. Atas nama identitas pula, beberapa pihak berupaya menghentikan bantuan pemerintah kepada pengungsi di Trasito. Gutmann menilai model politik identitas ini menjauhkan kehidupan sosial-politik dari keadilan.

Kita perlu mengubah paradigma terhadap pengungsi di mana pun mereka berada. Alih-alih melihat mereka dengan identitas kesukuan atau keyakinan tertentu, kita mesti memandang mereka sebagai manusia, titik. Penderitaan mereka sama, sebagaimana yang akan kita alami jika kita menjadi mereka. Perlakukan mereka sebagaimana kita ingin diperlakukan bila mengalami hal serupa, demikian prinsip emas agama-agama di dunia berbunyi.

Prinsip kemanusiaan juga semestinya mendorong pemerintah menuntaskan semua masalah pengungsi di negeri ini. Selain prinsip kemanusiaan, Presiden Jokowi berulang kali menyebut kata non-diskriminasi di Nawa Cita. Kata yang sama juga kita temukan beberapa kali di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Karena itu,, hampir tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak segera mengambil langkah konkret terhadap pengungsi di mana pun mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar