Rabu, 10 Juni 2015

Pengasuhan Anak

Pengasuhan Anak

Asrorun Ni'Am Sholeh   ;   Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
REPUBLIKA, 06 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Salah satu persoalan kon- temporer yang akan dibahas dalam Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI 7-10 Juni 2015 adalah terkait hadhanahatau pengasuhan anak. Isu ini menarik karena tingginya kasus rebutan hak asuh anak akibat perceraian orang tua.

Proses perceraian menyumbang gangguan psikis pada perkembangan anak karena di dalam persidangan biasanya masing-masing pihak mengajukan inventarisasi kebaikan pribadi seraya menonjolkan keburukan pihak lawan.

Ulama merasa terpanggil memberi sumbangan pemikiran mengatasi soal ini.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjadi lembaga negara berkepentingan karena terkait masa depan anak yang menjadi korban perceraian. Proses penentuan hak asuh melalui jalur hukum akan membawa efek traumatis pada mereka. Kondisi ini tidak kondusif bagi tumbuh kembang anak yang menjadi aset bangsa dan negara.

Untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan banyak faktor yang seluruhnya dibungkus dengan perspektif perlindungan anak. Beberapa faktor itu terkait aspek regulasi, pendidikan, dan agama. Tiga faktor ini saling menguatkan untuk melindungi anak dari dampak negatif perceraian orang tua.

Pertama, aspek regulasi. UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menjelaskan, perceraian harus memiliki alasan kuat. Pasal 39 ayat (2) berbunyi, "Untuk melakukan perceraian harus ada cu kup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri." Alasan perceraian pun diatur dalam enam poin, di antaranya, pasangan melakukan zina, divonis penjara lima tahun atau lebih, dan perselisihan yang tak mungkin rujuk. Yang terakhir, dalam bahasa fikih dikenal sebagai syiqaq. Aturan ini diperkuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Negara kita mengatur ketat perceraian yang akan berimbas pada anak. UU Perkawinan ini diundangkan dengan perspektif perlindungan terhadap anak.
Ada pula UU Perlindungan Anak yang spesifik menyebutkan anak harus diselamatkan dari prahara rumah tangga.

UU Perlindungan Anak menitikberatkan anak sebagai subjek yang harus dilindungi. Dalam Pasal 30 UU No 23 Tahun 2002, orang tua yang lalai terhadap pengasuhan anak bisa dicabut hak asuhnya. Pengadilan menjadi lembaga pemutus.

Dalam hal perceraian, pengadilan membuka peluang kepada anak untuk memilih ikut ayah atau ibu untuk melindungi hak asasi anak. Ada dua tambahan alasan perceraian yang tak terangkum dalam regulasi nasional, yakni suami melanggar taklik talak dan peralihan agama atau murtad.

Kita bisa melihat banyak syarat perceraian yang sejatinya melindungi pernikahan sebagai ikatan suci. Tentu, di dalam pernikahan itu ada anak yang menjadi keharusan dilindungi orang tua. Bahkan, ketika orang tua sudah bercerai, kewajiban menafkahi mereka tak gugur. Hal itu diatur dalam Pasal 32 UU Perlindungan Anak yang menyebutkan tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya membiayai kehidupan anak.

Dari aspek pendidikan, perspektif perlindungan anak hasil pernikahan dijadikan sebagai pencegah perceraian. Kita bisa melihat beberapa negara tetangga yang menerapkan pendidikan pranikah. Brunei, misalnya, mengharuskan pasangan yang akan menikah mengikuti kursus pranikah selama tiga bulan tanpa putus.
Materi kursus pranikah penting karena yang harus dibangun paradigma pernikahan sebagai lembaga sakral. Pernikahan bukan sekadar sarana absah penyaluran hasrat seksual semata. Pernikahan, lebih dari itu, berimplikasi pada terwujudnya status baru yang melahirkan hak dan tanggung jawab sebagai suami, kepala rumah tangga, dan orang tua bagi anak-anaknya.

Dalam kesempatan diskusi dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan urgensi revitalisasi kursus calon pengantin (suscatin) yang selama ini menjadi pendidikan pranikah bagi pasangan yang akan menikah. Selama ini, suscatin hanya ada secara aturan, tapi nyaris tak pernah berwujud. Relisasi ini menjadi penting karena tingginya angka perceraian 10 tahun terakhir. Kita berharap, pendidikan pranikah akan mengurangi angka perceraian dan mampu melindungi anak-anak.

Pada 1950-an, negara kita telah menjalankan program penasihatan pernikahan. Program ini berhasil menurunkan angka perceraian dari 60 persen menjadi 10 persen. Cara yang sama bisa kita lakukan agar mereka yang akan bercerai tidak melangsungkan niat mereka. Pemerintah pun bisa berperan memprakarsai pemilihan "Orang Tua Teladan" tingkat nasional yang fungsinya memberi figur kepada publik tentang keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.

Dari aspek agama pun perspektif perlindungan anak dalam hak asuh begitu tinggi. Agama memberi kontribusi yang besar tentang bagaimana seharusnya memperlakukan anak dalam keluarga yang terancam perceraian.

Dalam Islam, pengasuhan anak harus dilakukan oleh mereka yang satu agama. Hal ini tentu sangat penting guna menghindari ancaman konflik sosial jika orang tua yang mengasuh berbeda dengan agama anak. Dalam Pasal 33 UU Perlindungan Anak disebutkan, mereka yang ditunjuk untuk mengasuh anak, agamanya harus sesuai dengan agama yang dianut anak.

Banyak persoalan pernikahan pascaperceraian diakibatkan orang tua berbeda agama. Oleh sebab itu, aspek agama memegang peran penting terkait hak asuh itu agar di kemudian hari tidak menimbulkan konflik yang bisa saja meluas.
Dalam Ijtima' Ulama nanti, persoalan hadhanah ini beririsan dengan isu perlindungan anak yang juga menjadi konsen KPAI.

Peran ulama sangat dibutuhkan guna menyelamatkan generasi masa depan yang terabaikan akibat perceraian. Salah satu poin yang dibahas dalam Ijtima' Ulama itu selain hukum formal, penanganan hak asuh anak membutuhkan perspektif hukum Islam. Semua itu tentunya bermuara pada perspektif yang sama, yakni perlindungan terhadap anak-anak Indonesia.

Kita semua berharap, Ijtima' Ulama itu akan menghasilkan rekomendasi dan langkah strategis demi pemenuhan hak anak. Sudah tentu semua itu bertujuan untuk melindungi masa depan bangsa dan negara kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar