Pengarusutamaan Persaingan dan Revolusi Produksi
Muhammad Syarkawi Rauf ; Komisioner
Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI
|
KORAN SINDO, 13 Juni 2015
Permasalahan utama
perekonomian nasional dalam satu dekade terakhir terletak pada lambannya
proses transformasi ekonomi dari factor
driven ke productivity driven.
Pertumbuhan ekonomi
sangat tergantung pada kegiatan ekonomi yang bersifat ekstraktif dan
terkonsentrasi pada beberapa pelaku usaha tertentu saja yang disebut
oligopolis. Hal ini sejalan dengan pandangan dua profesor ekonomi, Daron
Acemoglu dari MIT dan James A. Robinson dari Universitas Harvard yang menulis
buku berjudul Why Nations Fail; The
Origin of Power, Prosperity and Poverty, dalam waktu singkat menjadi
rujukan di seluruh dunia.
Keduanya berkesimpulan
bahwa kemiskinan yang terjadi di negara miskin bukan karena faktor geografis
atau budaya, tetapi karena pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat.
Negara gagal karena institusi ekonominya bersifat ekstraktif yang hanya
menguntungkan segelintir pelaku usaha( oligopolis).
Institusi ekonomi di
negaranegara berkembang yang meliputi peraturan, kebijakan, kelembagaan,
norma dan lainnya tidak memberikan insentif bagi masyarakatnya untuk
berinvestasi dan berinovasi (Acemoglu dan Robinson, 2013). Institusi ekonomi
yang buruk tidak memberikan ruang bagi bekerjanya mekanisme persaingan.
Perangkap Pendapatan Menengah
Transformasi ekonomi
Indonesia dari lower middle income
group ke upper middle income group
mengalami hambatan karena Institusi ekonomi bersifat ekstraktif yang lebih
menghidupkan pemburu rente (rent seeker).
Pemburu rente lebih memilih berspekulasi mengambil margin harga tinggi
memanfaatkan situasi pasar yang tidak stabil.
Perilaku ini
menghambat hilirisasi di setiap komoditas ekspor. Institusi ekonomi bersifat
ekstraktif yang tercermin pada kebijakan pemerintah yang cenderung
menyuburkan kartel, yaitu perilaku persekongkolan dalam penetapan harga
(price fixing), pengaturan wilayah pemasaran (market allocation), membatasi
pasokan (output restriction), danpersekongkolan memenangkan tender (collusive bid rigging).
Akibatnya,
perekonomian nasional rentan mengalami middle
income trap, yaitu situasi suatu negara yang melayang-layang di tengah
sebagai negara berpendapatan menengah yang tidak bisa naik kelas menjadi
negara maju, tetapi lebih rentan turun kasta menjadi negara miskin. Suatu
negara disebut terjebak sebagai negara berpendapatan menengah jika negara
tersebut selama 28 tahun tidak bisa naik kelas menjadi negara maju.
Secara teknis,
negaranegara dapat diklasifikasi berdasarkan besaran pendapatan per kapita,
yaitu low income group dengan
pendapatan per kapita lebih kecil USD2.000, middle income group dengan pendapatan per kapita antara
USD2.000-11.750, high income group
dengan pendapatan lebih besar USD11.750 (ADB, 2013). Middle income group
diklasifikasi lagi menjadi lower middle
income dan upper middle income.
Lower middle income group merujuk pada kelompok negara dengan
pendapatan per kapita antara USD2.000-7.250 dan upper middle income group berpendapatan per kapita
USD7.250-11.750 (PPP - 2005). Artinya, dengan pendapatan per kapita hanya
sekitar USD3.918 pada tahun 2015, perekonomian Indonesia sudah terjebak
sebagai negara berpendapatan menengah.
Terhitung sejak tahun
1985 hingga saat ini, perekonomian Indonesia sudah sekitar 29 tahun naik
kelas dari poor income group
(pendapatan per kapita di bawah USD2.000) menjadi middle income group (pendapatan di atas USD2.000) tetapi tidak
sanggup naik kelas lagi menjadi high
income group. Jika hanya mengandalkan pertumbuhan 7-8 persen per tahun
hingga tahun 2030 maka pendapatan per kapita hanya akan mencapai USD5.918
pada 2019 dan USD12.500 pada 2030.
Jika mampu tumbuh
lebih tinggi lagi, yaitu 10 persen per tahun maka pendapatan per kapita
Indonesia akan mencapai USD16.618 pada 2030 (ADB, 2014). Artinya, pada saat
pemerintahan Jokowi-JK berakhir dalam lima tahun ke depan, perekonomian
Indonesia belum bisa naik kelas dari lower
middle income group ke upper middle
income group. Sesuai definisi ADB, pada saat yang sama perekonomian
Indonesia masih terjebak sebagai negara berpendapatan menengah.
Pengarusutamaan Persaingan
Singkatnya, pemerintah
membutuhkan upaya ekstra untuk menghindar dari Middle Income Trap pada tahun 2030. Syaratnya sederhana, mengubah
tata kelola pembangunan, termasuk disain ulang kebijakan makro dan mikro yang
bersifat sektoral sehingga mampu memberikan insentif untuk berinovasi.
Pilihan kebijakannya
tidak banyak, salah satunya adalah pengarusutamaan kebijakan persaingan ke
dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan publik mulai dari pemerintah pusat
hingga ke daerah. Sehingga produk kebijakan publik mampu memberikan insentif berinovasi,
meningkatkan efisiensi dan produktivitas sebagai basis pertumbuhan ekonomi
tinggi dalam jangka panjang.
Secara umum,
permasalahan utama emerging markets
adalah mewujudkan pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif dan
berkesinambungan. Pengalaman negara maju menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi
yang berkelanjutan hanya bisa dicapai jika ditopang oleh pertumbuhan
produktivitas (productivity driven).
Hal ini sejalan dengan Paul Krugman yang menyatakan bahwa: ”productivity isnt everything, but in the
long run it is almost everything“.
Sehingga satu-satunya
cara untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkesinambungan
adalah meningkatkan produktivitas melalui persaingan usaha yang sehat.
Percepatan proses transformasi ekonomi nasional menjadi kata kunci untuk
mencapai pertumbuhan tinggi dalam jangka panjang, yaitu dari perekonomian
berbasis komoditas primer (factor
driven economy) ke pertumbuhan ekonomi berbasis efisiensi (efficiency driven economy) dan inovasi
(innovation driven economy).
Pergeseran ini
sekaligus akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional menjadi tujuh
persen pada tahun 2017 dari saat ini sekitar 5-6 persen (year on year). Pertumbuhan ekonomi tujuh persen pada tahun 2017
dapat dicapai jika ditopang pertumbuhan Total
Factor Productivity (TFP) minimal 1,5 persen dari hanya 1,0 pada tahun
2013 dan 1,1 persen pada tahun 2014.
Singkatnya, pencapaian
target pertumbuhan yang tertuang dalam RPJMN 2015- 2019 membutuhkan perubahan
manajemen makro nasional. Langkah reformasi kebijakan yang dapat dilakukan
adalah pengarusutamaan kebijakan persaingan dengan memberikan porsi yang
besar bagi bekerjanya mekanisme pasar di atas prinsip demokrasi ekonomi
sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
Sehingga opsi
kebijakan bagi Jokowi-JK harus juga mencakup “Revolusi Produksi” dengan cara
mendorong pertumbuhan produktivitas melalui kebijakan persaingan. Jalur
transmisinya melalui tiga saluran, yaitu: (1) Persaingan mendorong efisiensi
penggunaan sumber daya. (2) Persaingan menghilangkan hambatan masuk dan
keluar pasar. (3) Persaingan memberikan insentif melakukan inovasi serta
penelitian dan pengembangan (R&D).
Artinya, program
pemerintah dalam jangka menengah tidak cukup dengan hanya mendorong “Revolusi
Mental” sebagaimana yang tertuang dalam Nawacita yang diperkenalkan oleh pemerintahan
sekarang. Perubahan harus mencakup dua aspek sekaligus, yaitu aspek character building (pembangunan jiwa)
dan juga nation building (pembangunan raga).
Pemerintah membutuhkan
revolusi kedua, yaitu “Revolusi Produksi” (supply-side revolution). Revolusi sisi produksi dapat dilakukan
dengan mendorong persaingan usaha sehat di semua sektor, baik di pasar input
maupun output.
Persaingan usaha sehat
meningkatkan daya saing nasional, mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi kemiskinan (making
competition work for the poor). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar